Merenung itu Penting

766 kali dibaca

Saya akan membuka catatan ini dengan kisah monumental Leo Tolstoy. Suatu ketika, ia menegur seorang opsir karena memukul seorang perajut yang lepas dari barisan.

Dalam beberapa literatur, penggalan kisah itu digambarkan begini: Ia berseru, “Tidak malukah kau memperlakukan sesama manusia seperti itu? Apa kau belum pernah baca kitab suci?!”

Advertisements

Tetapi opsir tersebut diceritakan tak kalah garang. Ia menggertak dengan enteng kepada si bangsawan, ”Apakah kau belum pernah baca buku petunjuk disiplin pasukan?!”

Dalam dua sikap yang digambarkan kisah ini, sekurang-kurangnya saya dua kali tertegun. Tetapi anehnya, di tengah arus yang membenturkan sikap Tolstoy sebagai “ketidaktahudirian” serta opsir dengan “kepatuhan”, saya malah menyepakati pilihan sikap Tolstoy. Saya jadi ingat catatan kecil mengenai Eric From.

Kebahagiaan, begitu catatan From, akan tercipta ketika kita mencapai kebebasan batin. Dalam penggalan kisah Tolstoy dan sang opsir, kiranya Tolstoy menempatkan sisi kebebasan batin dalam mencapai “Final Destination” yang digambarkan From.

Kebebasan untuk tidak “tertindas” akhirnya, bagi kacamata Tolstoy, akan mampu mencapai kebahagiaan sejati. Meski, dalam kasus ini, harus melanggar “peraturan” yang ditetapkan.

Telaah Kecil

Saya menyukai analisis spontan Tolstoy dalam beberapa bagian. Saya merasa, Tolstoy dalam kasus ini memperluas Value-change, yang menjadikan ia sebagai seorang clercs dadakan.

Seseorang yang kerap menitikberatkan kebijakan religius cum sosialik terhadap persoalan sekitar, persoalan yang menjadikan manusia sebagai objek individu yang persuatif. Telaah Tolstoy, menghasilkan dua telaah bagi saya yang salah satunya seperti membangkitkan hasrat imajiner terhadap kebebasan itu sendiri.

Meski saya tak ingin menyandingkan kisah Tolstoy dan sang opsir dengan kisah Gandhi ketika seseorang bertanya tentang Tuhan dan agama dalam catatan Louis Fischer, tetapi saya dapat menyimpulkan bahwa akar dari kisah Tolstoy dan opsir tadi mengarah pada kebebasan batin yang dikemukakan Eric From. Dan, bagi saya, ini tak terkecuali sekalipun dalam kebebasan memilih dalam hiruk pikuk pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah serentak, misalnya.

Manusia harus dibiarkan merenung untuk mengikuti kehendak objektif dalam menentukan pilihan. Tanpa ada determine dari legitimasi-legitimasi yang memberatkan suara kebebasan. Sebabnya, manusia selalu memimpikan kredibilitas kebahagiaan yang hingga kini terus tercerabut dari akarnya, yaitu kemanusiaan.

Manusia perlu merenung. Setiap produk renungan, akan menghasilkan dua sudut pandang jamak seperti Tolstoy juga opsir yang tadi saya gambarkan. Tetapi, jika renungan tersebut berusaha untuk mengetengahi setiap persoalan, maka pandangan dan sikap yang hadir sebagai produk melampaui dua sekat tadi.

Sudut pandang yang tidak dipakai Tolstoy dan sang opsir. Dan saya rasa, sudut pandang objektif murni akan hadir ketika setiap manusia mencapai final destination From. Di tengah gemuruh pilihan politik, misalnya, produk renungan, meski saya tidak tahu apakah masih ada atau tidak, akan berangsur-angsur surut. Hasilnya, pilihan tidak lahir dari kehendak murni manusia.

Lantas apa yang perlu kita lakukan sehingga menjadi manusia seutuhnya? Saya rasa, di tengah dominasi dan legitimasi yang terus mendesak-desak, kita perlu membuat gerakan imajinatif-alternatif yang tak terlalu ekstrem seperti gerakan “pembangkangan lunak” golput Arif Budiman di masa lulu. Saya rasa, harus ada pembaharuan. Terutama oleh khalayak anak muda. Apa itu? Mari kita renungkan bersama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan