Merenungkan Perdebatan Soal Tambang

234 kali dibaca

Membaca berbagai opini yang berpolemik tentang tambang yang ditulis oleh kalangan intelektual baik di koran atau media sosial, seperti tulisan Gus Ulil, Airlangga Pribadi, dan lain-lain, membuat kita perlu merenung kembali apakah sebenarnya argumen para intelektual itu cukup menjawab masalah atau hanya membuat masalah semakin bermasalah? Apakah argumen mereka berhasil keluar dari tempurung atau masih ada di pusaran yang itu-itu juga, pusaran teori-teori semata?

Saya sendiri sampai detik ini pesimis akan dampak signifikan dari buah pemikiran hasil perdebatan itu. Saya merasa argumen-argumen yang pro tambang terlalu dibuat-buat, juga yang kontra seakan terasa mencari-cari celah saja. Keduanya hanya mau asyik berpolemik, seperti “berbalas-balas pantun”, saling menunjukkan kelemahan dan kelebihan masing-masing dalam bidangnya alih-alih menyentuh persoalan yang nyata. Saya memahami sedikit topik-topik mereka, tapi serasa saling berapologi daripada mau memecahkan masalah yang tengah terjadi.

Advertisements

Saya memang terlalu berpikir realis. Dan bagi saya keduanya tidak memberi dampak yang berarti bagi kenyataan yang kini sedang berlangsung. Alih-alih hanya serupa alat dari masing-masing “kekuasaan” yang memiliki ideologinya sendiri. Walaupun terdengar “memihak”, nyatanya bagi saya sendiri, keduanya tidak “memihak” pada kenyataaan dan kesejahteraan rakyat yang sebenarnya, tidak berpijak pada konteks-konteks konkret. Hanya berbicara boleh atau tidak, harusnya begini atau begitu, tetapi kekuasaan tetap tuli dan bisu.

Saya sangat menghormati para intelektual yang berdebat soal tambang itu. Jelas, reputasi mereka di kalangan pengikutnya masing-masing sangat besar dan penting. Alangkah sembrono dan mungkin sok tahu ketika orang seperti saya, yang santri mbeling yang penulis amatir ini, turut campur perdebatan yang “tinggi” itu. Para intelektual itu tentu para pendekar gagasan, terlihat dari tulisan yang rapi dan detail walaupun agak terkesan “pamer” teori. Secara akademik mungkin sudah tidak perlu diragukan. Tapi perdebatan itu pula terasa agak “janggal”, sebab tidak ada kenyataan yang dibicarakan. Tidak ada data dan fakta yang dibahas, hanya mengawang-awang tertiup angin kemudian.

Memang perang wacana seperti itu penting, sangat penting, tapi kalau pemerintah tidak menyediakan “kuping” untuk mendengarnya, untuk apa terlalu kekeh berpendapat? Pemerintah mestinya membaca fakta dan fenomena, kemudian mengikuti pandangan intelektual yang “otentik” lalu mengambil dan melaksakan kebijakan yang adil untuk seluruh rakyat.

Persoalannya, bagaimana mau adil ketika pemerintahan sekarang menurut berita-berita sudah berlaku tidak adil? Seperti potongan sajak Rendra; katanya; saya punya maksud baik, tapi kita bertanya; maksud baik saudara untuk siapa?

Ketika pemerintah tidak memahami gagasan yang “tinggi-tinggi” itu, lalu bagaimana mau mengaplikasikannya pada kenyataan? Atau pertanyaan yang lebih tepat, apakah pemerintah membaca gagasan dan perdebatan para intelektual itu? Kemungkinan besar, tidak. Kritik para guru besar saja diabaikan, pandangan bangsa-bangsa lewat media internasional saja tak digubris, bagaimana mau peduli dengan para intelektual yang asyik berdebat di awang-awang itu?

Fakta serta kebenaran wacana itu belum tiba di landasan, masih terbang entah ke mana mengikuti arah pilot yang bertamasya dari satu teori ke teori lain yang mempesona mereka. Lalu, bagaimana nasib rakyat yang tanahnya digusur jadi tambang-tambang itu? Tidak ada suara jerit hewan yang terluka digemakan oleh para intelektual itu. Masing-masing bertarung bagai pendekar mengeluarkan jurus-jurus dahsyatnya, dan lupa arena mereka bertarung telah porak poranda oleh alat-alat berat yang dikendalikan tangan besi kekuasaan.

Pemerintah mestinya dapat mengambil keputusan yang tepat dan maslahat bagi rakyat lewat arahan para intelektual yang jujur itu. Tapi rupanya intelektual “kurang jujur” dan lebih memilih berpendapat sesuai “kepentingan” kelompoknya. Sehingga pada akhirnya, semua keputusan tidak bergantung dari argumen-argumen yang diperdebatkan itu. Pada akhirnya argumen itu ditelan oleh kehampaan.

Pemerintah toh hanya menjalankan kepentingannya yang biasanya bukan kepentingan yang dimaksudkan untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi kepentingan pribadi-pribadi pemilik tambang. Dan bagi kelompok yang kebagian tambang, tentu saja harus membangun argumen yang “setuju” daripada menolak. Sebaliknya, yang tidak kebagian akan menolaknya. Tapi tentu ini bukan soal kebagian atau tidak kebagian. Ini soal ideologi masing-masing intelektual itu sendiri plus kepentingan tertentu.

Agak aneh berpandangan bahwa pemerintah negara kita dapat melaksakan hal-hal ideal semacam yang diterangkan pihak pro-tambang (yang tentu saja pasti ada maksud baiknya, walaupun itu masih sebatas maksud baik dan belum jadi kenyataan, maka sulit kita terima sekarang), sedangkan korupsi dibiarkan menjamur tanpa bisa dibendung, juga tidak adanya integritas pada para pemangku kebijakan.

Lantas, maksud baik itu bisakah dilaksanakan ketika tidak ada “teladan” sama sekali dari pemerintah? Apakah dengan kekuataan spiritual dan gerakan agama tidak hanya menjadi semacam “lencana politik” (meminjam istilah Rendra) sehingga akhirnya nanti hanya menyisakan kekecewaan?

Barangkali kita harus merenungkan kembali apa sebenarnya yang terjadi, apa sebenarnya yang dikehendaki, apa sebenarnya yang benar, apa sebenarnya yang baik, dan seterusnya, secara lebih jujur tanpa tedeng teori dan kepentingan. Sebab hidup di era demokrasi yang nyaris mati ini, demokrasi yang tak khilaf-khilaf ini (kata Mohamad Hatta), demokrasi yang seperti keledai selalu jatuh di lubang yang sama ini, kita sulit membedakan lagi antara fakta dan fiksi, antara apa yang mesti diikuti (didukung) dan yang mesti tidak diikuti. Sebab kedunya bercampur, sebab semuanya samar-samar dan nyaris ganjil.

Membaca berbagai berita tentang korupsi yang gila-gilaan lebih mirip dunia fiksi seperti dalam film-film Hollywod, daripada kenyataan hidup yang mestinya memiliki aturan yang jelas. Kenyataan sebagai negara beradab yang mayoritas beragama Islam yang mana mestinya figur-figurnya adalah para tokoh yang pantas diteladani menjadi dipertanyakan. Apalagi sebagai negara demokrasi, mestinya ada aturan jelas soal itu, atau mungkin aturan ada tapi yang melaksanakan tidak ada atau tidak mampu?

Mendengar berita-berita tentang pemangku kebijakan yang banyak bohong membuat negeri ini seperti negeri dongeng. Maka, tidak heran ketika Indonesia kemudian disama-samakan dengan Konoha di dalam serial komik Naruto, negeri yang isinya hanya pertarungan dan pertarungan tanpa adanya semacam Bhineka Tunggal Ika.

Di hadapan cermin seperti itu kita sulit lagi menerka, siapakah kita yang sebenarnya sebagai bangsa? Kita seperti kehilangan identitas. Kita yang berdiri di luar cermin atau di dalam cermin, kita tidak tahu. Kita kebingungan menghadapi realitas sekarang, begitu juga realitas tambang.
Sebabnya antara lain saya kira karena ketidakpercayaan pada pemerintah di satu sisi, karena kaum intelektual tertentu ada di dalam kubu tertentu seolah “membela” kelompok tertentu, sehingga pandangannya condong ke sana. Di sisi lain, intelektual kontra argumennya dengan mencari-cari celah dengan “masuk ke dalam semacam wacana identitas” untuk menyesuaikan frekuensi sambil menyisipkan teori “kiri”. Apa yang tidak pernah dikehendaki pemerintah kita, yaitu hal-hal yang berbau kiri. Padahal, dalam negara demokrasi mestinya ada partai kiri sebagai penyeimbang. Mungkin karena ketakutan pada sejarah kelam masa lalu, pada komunisme yang dihabisi tahun 1965.

Baik yang pro tambang atau kontra tambang, keduanya seolah saling curiga, seakan yang pro tambang itu pro kepentingan pemerintah (dalam negeri) dan yang kontra tambang itu pro luar negeri. Agak aneh cara pikir dikotomis seperti ini. Kita akhirnya bingung, sebenarnya kepentingan siapa yang tengah dipertentangkan? Sebenarnya apa yang tengah dibicarakan?

Misalnya, berbicara fikih dan berbicara teori kritis, keduanya hanyalah argumen-argumen yang “apologis” dan tidak solutif. Memang solusi adalah tugas pemangku kebijakan, dan intelektual hanya menawarkan gagasan. Tapi karena tidak ada partai kiri sebagai penyeimbang, akhirnya gagasan “kiri” itu tidak “bergema”.

Kalau dua intelektual mengambil gagasan yang berbeda, dan yang satu pro pemerintah, tentu pemerintah akan lebih memilih menerima pembelanya daripada yang kontra pada kekuasaan. Ini tidak baik bagi kelangsungan demokrasi. Sebab nanti bisa timbul lagi “perebutan kekuasaan”, dan yang punya atau dekat dengan kekuasaan akan “memukul” dan menekan yang tidak pro kekuasaan. Mestinya kedua intelektual itu tetap bersuara di luar apa yang dikerjakan pemerintah, tetapi lebih jujur dan tulus. Lebih dekat kepada kenyataan yang dihadapi rakyat dan kepentingan demokrasi, bukan semata-mata teori.

Maksud saya, kita perlu berpikir adil, artinya tidak perlu bersuara untuk pemerintah, tapi bersuara secara tepat berdasarkan konteks yang lengkap, data yang jelas. Keduanya saling merespons, tapi hanya menggunakan perangkat keilmuan yang teoretis itu, tidak menggunakan fakta dan data yang jelas. Hampir tidak ada kutipan berita yang dijadikan pijakan teori mereka. Argumen mereka hanya berpijak di teori saja. Berargumen di atas teori tanpa berpijak pada kenyataan agaknya tidak membawa kita ke titik persoalan dan pemecahan persoalan.

Kita akhirnya hidup di antara fakta dan fiksi, berpusar-pusar terus di dalam badai kebingungan. Kita lebih sulit mencari fakta daripada menemukan fiksi sekarang ini. Hampir berita-berita yang berkelindan itu terasa seperti fiksi daripada fakta. Dan opini para intelektual semacam pembenaran atas fiksi-fiksi itu, bukan kebenaran yang berdasarkan fakta-fakta. Pemerintah seperti tidak peduli apakah yang dibuatnya itu fiksi atau fakta, yang sedang dibangunnya itu kenyataan atau mimpi-mimpi kosong, pemerintah tidak tahu tengah membuat cerita dongeng atau membangun kenyataan yang beradab.

Dalam tulisan yang ngalor-ngidul ini, saya hanya ingin mengajak kita kembali merenungkan hidup di negara bernama Indonesia ini, mau di bawa ke mana? Dengan merenungkan kembali kita akan menemukan kejujuran, mana orang yang mesti kita bela, mana yang mesti kita kritik, apa yang mesti kita lakukan, apa yang mesti kita tidak lakukan. Kita kekurangan partisipasi rakyat secara kompak. Akhirnya, hanya suara-suara udara yang bersenandung.

Kita perlu diam untuk merenung sekali lagi, untuk jujur, sembari melihat waktu berjalan membuktikan sendiri kenyataan apa yang berlaku untuk kita nanti. Apakah para pemangku kebijakan akan menyesal, apakah para intelektual pro-kekuasaan akan menyesal seperti yang sudah-sudah? Apakah para intelektual yang kontra tambang dapat berbuat seperti mana telah mereka tuliskan? Mari kita lihat bersama.

Lagi-lagi hakim terbaik tetaplah waktu. Kita bangsa yang percaya pada Tuhan, dan Tuhan tidak menunda hal-hal yang keliru untuk mendapat ganjarannya di surga atau neraka. Dunia akan menuju pada kebenarannya, alam akan mencari keseimbangannya, alam tidak bisa dikendalikan oleh hasrat kekuasaan dan kebohongan ataupun oleh ideologi-ideologi dan narasi-narasi semata yang dipaksakan atau diwacanakan terus menerus. Begitulah saya kira hukum alam akan bekerja menuliskan kebenaran dan fakta-fakta. Wassalam.

Multi-Page

One Reply to “Merenungkan Perdebatan Soal Tambang”

Tinggalkan Balasan