Mispersepsi Metodologi Pendidikan

57 views

Seseorang yang menjadi pembimbing dalam hidup tentulah orang yang memiliki keluasan pengetahuan dan pula pengalaman. Orang yang memiliki kapabilitas seperti itu bisa disebut sebagai guru. Istilah ini memiliki dua arti jika dibaca dalam terminologi Jawa: guru itu berarti digugu dan ditiru.

Digugu, berarti perkataannya harus bisa dijadikan panutan dan dapat dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban tersebut baik yang berupa alasan-alasan maupun bukti-bukti yang logis dalam penyampaian sesuatu. Karena itu, seorang guru harus mempunyai kewibawaan juga wawasan yang cukup tinggi. Sebab, apa pun yang diucapkannya akan dianggap benar oleh khalayak umum.

Advertisements

Ditiru, berarti sosok seorang guru harus bisa ditiru baik tingkah lakunya maupun segala hal yang diucapkannya (pengetahuannya). Semangatnya dan budi pekertinya harus bisa dijadikan teladan. Tak hanya kata-katanya, perilaku dan sikapnya juga harus bisa ditiru.

Dengan demikian, menjadi seorang guru tidaklah semata pada proses transfer knowledge, akan tetapi transfer uswah hasanah dan spritualisasi iman. Bertambahnya ilmu pengetahuan dari proses belajar seorang murid tidak jauh dari peran guru dalam seni mengajar dan memahamkan pada setiap murid. Peran akal dan IQ murid mendukung proses dalam bertambahnya pengetahuan yang ia dengar, lihat, dan pikirkan. Tapi, pembentukan karakter yang sholeh menjadi tugas yang lebih krusial atas peran guru dalam mendidik muridnya.

Dalam konteks ini, peran mawas diri dan ngerteni dari murid, akan menjadi dasar proses pembentukan karakter yang akan dibangun. Seorang murid akan terbentuk pribadinya apabila ia mampu menyadari dan mengelola emosi dirinya, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespons dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri.

Dalam proses penyadaran diri atas hal yang transenden menjadi nilai yang luhur, seorang guru akan dimintai pertanggungjawaban atas murid jika sang muris justru semakin jauh pada dari sang Kholiq. Di sini, juga, tazkiyatun nafs menjadi hal penting dalam proses penyucian jiwa atau nafsu dari berbagai noda dan kotoran dosa.

Dengan kata lain, murid akan mengarungi hal kerohanian dalam proses bimbingan guru, setiap halangan akan menerpa, jatuh bangun murid akan datang bertubi tubi. Guru dengan ilmu dan pengalamannya akan terus membimbing hingga pada wilayah haqqul yaqin.

Dalam hal ini, Kiai Mujib dalam salah satu nasihatnya pernah menggarisbawahi aspek kemulian seorang guru. Seorang Guru selalu memberikan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Oleh karena itu, guru mempunyai kedudukan tinggi dalam agama Islam. Hal ini dijelaskan oleh Allah maupun Rasul-Nya. Firman Allah Swt:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah, 11).

Kemulian ini akan berbanding lurus dengan seberapa banyak dan tinggi ilmu dari seorang guru. Akan tetapi, yang menjadi prioritas adalah apa kontribusi seorang guru atas setiap perkembangan muridnya. Sebab, nilai-nilai pendidikan akan tertuang apabila guru tidak hanya berlabelkan “soleh”, tapi lebih dari itu, yakni “muslih.”

Lalu, bagaimana memahami perkataan Kiai Mujib yang menegaskan bahwa “Kesalahan seorang guru itu lebih utama dari benarnya murid.”

Penulis dalam konteks intrepretasi alam pikiran Kiai Mujib mencoba menganalogikan dengan apa yang telah dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri rahimahullah:

العَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ كَالسَّالِكِ عَلَى غَيْرِ طَرِيْقٍ وَالعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ مَا يُفْسِدُ اَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ فَاطْلُبُوْا العِلْمَ طَلَبًا لاَ تَضُرُّوْا بِالعِبَادَةِ وَاطْلُبُوْا العِبَادَةَ طَلَبًا لاَ تَضُرُّوْا بِالعِلْمِ فَإِنَّ قَومًا طَلَبُوْا العِبَادَةَ وَتَرَكُوْا العِلْمَ

“Orang yang beramal tanpa ilmu seperti orang yang berjalan bukan pada jalan yang sebenarnya. Orang yang beramal tanpa ilmu hanya membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan kebaikan. Tuntutlah ilmu dengan sungguh-sungguh, namun jangan sampai meninggalkan ibadah. Gemarlah pula beribadah, namun jangan sampai meninggalkan ilmu. Karena ada segolongan orang yang rajin ibadah, namun meninggalkan belajar.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah karya Ibnul Qayyim, 1: 299-300).

Sebuah perbuatan kebajikan akan sia-sia apabila ia tidak berlandaskan dalil kebenarannya. Apa yang dilakukan oleh orang dungu berlandaskan semangat dalam ketaatan menurut persepsinya adalah sebuah kebaikan, padahal ia pada hakikatnya menambah kerusakan di muka bumi ini. Dalam hal ini sesuai dengan perkataan Umar bin ‘Abdul ‘Aziz:

مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

“Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh.” (Majmu’ Al Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2: 282).

Analisis penulis atas pemahaman pengajaran Kiai Mujib dalam hal ini jelas ada kebahayaan besar atas murid yang yang merasa benar dengan argumentasinya dan berani menyalahkan suatu argumen dari orang lain. Pemahaman atas kesalahan guru itu lebih utama dari pada benarnya murid menjadi sebuah argumentasi yang secara konseptual berlandaskan dari hadits Rasulullah:

وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَهُ سَمِعَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ : إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَحَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang hakim bersungguh-sungguh dalam memutuskan suatu perkara dan keputusan itu sesuai dengan kebenaran berarti telah mendapatkan dua pahala, dan jika keliru maka dia mendapatkan satu pahala.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Hadist di atas sudah familiar di kalangan teman-teman santri yang mana ijtihad dari hakim bernilai kebajikan di mata Allah, sebab ia telah berusaha menjawab sebuah permasalahan hukum kontemporer dengan dasar dalih syariat. Benar dan salah memiliki nilai tersendiri, sama dengan murid yang sekolah mencari ilmu itu sudah mendapatkan pahala, apalagi ia paham dan bertambahnya keilmuan yang ia pelajari.

Guru akan mengantarkan murid untuk bersungguh sungguh belajar bukan untuk memahamkan dan menjadikan murid pintar, akan tetapi hanya mengimplementasikan hadist nabi berikut:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).

Maka, apabila guru memaksa kemampuan anak didiknya “sama”, maka ia seperti perumpamaan perlombaan hewan. Ada suatu kisah, suatu saat diadakan lomba berenang. Pesertanya bebas, hewan apa pun bisa mengikuti. Gajah, burung, kera, dan ikan ikut perlombaan itu. Hasil akhir semua hewan tenggelam dan mati kecuali ikan.

Alhasil, pemahaman dari perkataan Kiai Mujib bisa memberikan makna yang tinggi apabila kita lihat dari aspek yang lebih luas. Kebenaran menjadi nilai yang tinggi sebab الحق من ربك , sampai mana kapasitas seseorang bisa memahami atas al haq tersebut.

Guru berdasarkan kemampuannya akan mampu memilah dan memilih mana yang benar dan salah. Kebenaran murid masih berpotensi salah dan dosa, sebab ia mendalihkan kebenaran tanpa dasar ilmu. Kesalahan murid menjadi dosa, sebab kesalahan dan kebodohan diperoleh lantaran enggan menambah ilmunya. Dan, kebenaran guru berpotensi berpahala sebab ia telah belajar (tolabbul ilmi) dan juga benarnya apa ia katakan. Kesalahan guru berpahala sebab ia telah berusaha mendasarkan pendapatnya dengan ilmu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan