Kemenyan! Aroma itu yang tiba-tiba terhirup hidung, dan membuat bulu kuduk saya berdiri sembari mempercepat langkah. Dengan mulut yang terkunci rapat, serta jantung yang berdetak tak karuan, saya tergopoh meninggalkan lokasi yang baru saja saya lewati. Ya, Gunung Arjuna adalah salah satu gunung paling mistis yang pernah saya daki.
***
Saya yakin bahwa siapa pun yang berada pada posisi saya saat itu akan merasakan hal serupa; ngeri dan kepingin lari. Lantas, pertanyaannya adalah mengapa?
Tentu saja karena asosiasi yang tercipta di sana. Gabungan antara aroma kemenyan, imej Gunung Arjuna, serta informasi yang tertanam dalam kepala, yang membuat otak saya mengirim sinyal-sinyal yang memaksa jantung saya berdegup lebih cepat. Kemenyan dalam hal ini terasosiasikan dengan misteri atau hal-hal mistik, roh-roh halus, upacara tua, situs angker, atau ritual-ritual seram lainnya.
Hal ini tidak terjadi begitu saja tentunya. Ada proses budaya yang memengaruhinya. Informasi yang kita dapatkan, entah dari media masa atau cerita orang, memengaruhi cara pandang kita terhadap sesuatu. Kemenyan salah satu korbannya.
Film-film horor Indonesia sangat rajin mengkonstruksi suasana seram dengan kemenyan. Hal ini pada akhirnya membuat saya, dan mungkin juga hampir kebanyakan orang menganggap bahwa kemenyan adalah sesuatu yang lekat dengan misteri. Hal inilah yang membuat antusiasme kita dalam mengeksplorasi kemenyan terhenti. Padahal, produk yang berasal dari getah pohon styrax benzoin ini memiliki beragam manfaat dan merupakan salah satu komoditas perdanganan yang cukup tua.
Kemenyan adalah aroma wewangian berbentuk kristal yang digunakan dalam dupa dan parfum. Sejak ratusan tahun yang lalu, kemenyan telah menjadi komoditas perdagangan global melalui Jalur Sutra. Kemenyan menjadi salah satu komoditas primadona yang harganya setara atau bahkan lebih mahal dari emas. Para pedagang memburu kemenyan karena permintaan yang tinggi. Para raja, bangsawan, dan pemuka agama menggunakan kemenyan untuk berbagai keperluan, seperti pengharum ruangan, obat, campuran kosmetik, hingga keperluan spiritual.
Sebuah catatan dari dinasti Sung (AD 960-1279) menyebutkan bahwa kemenyan, yang berasal dari Sumatra dan Kamboja, telah diperdagangkan lebih dari 1000 tahun di Asia Tenggara. Catatan lain bahkan menyebutkan bahwa perdagangan kemenyan sudah berlangsung jauh sebelum itu. Sumatra Utara dan Mesir Kuno telah mengadakan kontak dan memperdagangkan kemenyan serta kapur barus. Bangsa Mesir Kuno mendatangkan kemenyan untuk berbagai fungsi, seperti pengobatan dan kebutuhan spiritual dan kapur barus sebagai bahan pengawet mumi.
Di Indonesia, daerah penghasil kemenyan adalah Tapanuli dan sedikit wilayah di Sumatra Barat. Tercatat ada 20 jenis pohon kemenyan di dunia. Namun yang tumbuh di Sumatra Utara adalah durame (styrax benzoine) dan kemenyan Toba (styrax sumatrana). Tanaman yang mampu hidup lebih dari 100 tahun ini merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Tapanuli. Terdapat sebuah cerita rakyat yang mengisahkan muasal dari pohon kemennyan. Menurut cerita tersebut, kemenyan merupakan perwujudan seorang gadis cantik namun miskin yang lari ke hutan untuk menghindari perkawinan yang tidak ia inginkan. Konon, rambutnya yang tergerai panjang berubah menjadi reranting sedangkan tangisnya berubah menjadi getah yang disadap petani, dan mengkristal menjadi bahan baku kemenyan itu sendiri.
Dalam dunia medis modern, kemenyan yang juga biasa disebut dengan benzoin, digunakan sebagai obat atau campuran obat itu sendiri. Kedokteran gigi misalnya, menggunakan kemenyan sebagai obat gusi bengkak dan luka herpes di mulut. Obat-obat farmasi seperti ekspektoran untuk penyakit bronkitis dan disinfektan pada luka juga menggunakan kemenyan sebagai bahan bakunya. Beberapa orang bahkan menerapkannya langsung ke kulit untuk membunuh kuman, mengurangi pembengkakan, dan menghentikan pendarahan pada luka kecil. Kemenyan digunakan untuk mengatasi borok kulit, luka tirah baring, dan kulit pecah-pecah dengan cara mengoleskannya langsung kepada bagian yang bermasalah. Kombinasi kemenyan dengan herbal lain seperti aloe, storax, dan balsam tolu, yang dikenal sebagai “senyawa benzoin tincuture”, juga berfungsi sebagai pelindung kulit yang cukup efektif.
Lebih jauh lagi, kemenyan lekat dengan berbagai kebudayaan di dunia. Orang Arab menggunakan kemenyan sebagai pengharum ruangan dan aroma terapi. Bahkan, diyakini bahwa aroma kemenyan juga digunakan untuk meningkatkan konsentrasi karena efeknya yang menenangkan. Maka tidak heran, dalam beberapa majelis keagamaan, pembakaran kemenyan juga dilakukan sebelum acara dimulai. Dalam tradisi Kristen, kemenyan juga menempati posisi yang cukup penting. Terdapat cerita bahwa salah satu hadiah yang dibawa oleh “orang Majus dari Timur”, selain mur dan emas, adalah kemenyan yang menyimbolkan bahwa Yesus akan menjadi imam agung. Hal serupa juga melekat pada tradisi agama-agama ardhi.
Bagi orang Jawa sendiri, pembakaran kemenyan bukanlah simbol undangan kepada makhluk gaib. Kemenyan yang dibakar dan mengepulkan asap berbau khas sebenarnya mengandung makna talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos.
Bila diartikan secara bebas, ungkapan tersebut bermakna hajat, ritual, atau acara apa pun hendaknya selalu untuk meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bara api dari pembakaran kemenyan dimaknai dengan urubing cahya kumara (serupa api yang membara). Ini adalah perlambang semangat dan harapan di hati manusia untuk mewujudkan cita-cita yang diinginkan. Sementara asap yang membubung tinggi adalah perlambang doa yang terus naik ke hadapan Tuhan.
Dengan demikian, kemenyan memiliki cerita yang teramat panjang yang tidak dimonopoli oleh kebudayaan atau kepercayaan tertentu. Fungsi kemenyan yang beragam, memungkinkannya meresap pada sendi-sendi bermacam kebudayaan. Kemenyan yang kaya akan faedah, juga telah dimanfaatkan untuk keperluan dunia medis. Sehingga, tidak ada alasan bagi kita, eh saya, untuk memiliki ketakutan dan asosiasi liar yang negatif terhadap kemenyan.
***
Suatu hari pada 2017, samar-samar dari sebuah pondok tua, tercium aroma kemenyan yang dibakar. Ingatan saya melesat pada kengerian Gunung Arjuna beberapa waktu silam. Lantas, saya tersenyum dan bergumam, ”Ah, mungkin sedang ada yang melakukan pengobatan.”