“Agamanya apa, Mbah?” petugas sensus bertanya pada kakungku suatu hari.
“Kejawen,” kakungku menjawab.
Petugas sensus menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Waduh, di kolom sensus tidak ada, Mbah! Kalau Islam saja bagaimana, sesuai dengan data Kartu Keluarga?” petugas menawarkan pilihan.
“Jangan Islam, jangan… karena saya nggak pernah sembahyang,” egah kakungku
“Sudah, tidak apa-apa, Mbah! Yang penting Islam dulu, sembahyangnya nanti,” petugas sensus akhirnya mencentang kolom agama di formulir pendataannya.
Keluargaku memang kolot, memegang erat budaya Jawa, tulen, dan menempatkan tradisi di atas segalanya. Lihatlah mbakyuku, dilamar pemuda tiga kali, ditolak oleh emakku. Dengan alasan tidak sesuai, hitungan neton pasaran kurang tepat, arahnya ngalor-ngulon (utara-barat), kalau diteruskan hanya dua kemungkinan: tidak akan bertahan lama atau salah satu keluarga bisa sakit bahkan meninggal. Jadilah mbakyuku menikah pada usia 35-an.
Pun ketika mbakyuku mengandung anak pertama, selametan tiga bulanan, tujuh bulanan, lengkap dengan kulup dan lauk pauk sesuai adat primbon Jawa. Saat melahirkan, selamatan digelar sepasaran, dijenang abangi sebelum memberi nama, harus mencari air dari tujuh sumber berbeda untuk dijampi-jampi, persis proses kelahiranku untuk melahirkan makhluk bernama “Ahmad Mulyono”, setengah Arab, setengah Jawa. Sebuah nama tahun 2000-an, di zaman milenial yang terdengar norak, kampungan, katrok, ndeso, dan tidak berbau metropolis sama sekali.
Sebagai anak hanya pasrah menerima. Kalau bisa memilih, mungkin aku akan bangga dengan nama Erik, Deddy, Johny, David, atau apalah yang penting gaul dan stylish. Ketika perkenalan jika ada pertanyaan, “Siapa namamu?” cepat kujawab “Ahmad,” sebelum diteruskan, “Lengkapnya?” dan terpaksa aku bilang “Mulyono.” Setelah itu pasti yang kuajak berkenalan merasa geli, cekikikan, bahkan terang-terangan mengejek, “Oalah…Mul…Mul…”
“Mul” kini lebih popular bagi mereka. Sewaktu kecil, jika aku mandi di sungai pulangnya sudah dipastikan kena semprot emakkuku, “Dibilang jangan mandi di sungai, sungai itu ada penunggunya, bisa kesambet, kerasukan jin dedemit penunggu kali! Cilaka kamu nanti!” Juga ketika rekreasi SMP ke Yogyakarta, emak menyuruhku telentang di depan pintu, melangkahiku tiga kali, “Demi keselamatanmu!”
Kini, aku sudah madrasah aliyah, berkat usaha keras bapakku. Bapakku yang sebenarnya nyantri dan kurang menyetujui perilaku kolot tradisi keluarga emakku. Namun begitulah, Allah Maha Adil, cinta kedua orang tuaku saling membumbui, pedas dan manis, kopi dan gula, atau pensil dengan penghapusnya. Emak yang kolot dipertemukan dengan bapak yang pernah mengenyam pesantren. Di situlah aku belajar, bahwa cinta bukan mencari kesempurnaan, tapi saling melengkapi kekurangan.
Bermula ketika liburan semester, aku pulang dari pesantren. Sesampai di depan pintu, segera kuketuk dan mengucap salam, “Assalamualaikum.” Terdengar jawaban dari dalam rumah, “Waalaikumsalam,” emakku sayang tergopoh membukakan pintu.
Pintu telah terbuka. Emak tersenyum melihat kedatanganku. Anaknya Mulyono, sang buah hati pulang. Aku pun terharu, nampak senyuman emak seolah berbicara, “Aku rindu kamu, Nak. Emak selalu khawatir. Bila kamu jauh, siapa yang merawatmu.”
Aku terdiam sejenak melihat wajah emakku. Emak yang kolot tapi menyayangiku lebih dari nyawanya sendiri. Aku mencium tangan emak, kusayang pipinya yang telah nampak ukiran guratan usia senja, aku peluk untuk meluapkan rindu yang telah tertahan enam bulan. Tiba-tiba entah sengaja atau tidak, mungkin perekat kakinya perlu diinjeksi, seekor cicak jatuh di kepalaku. Pluk! Hiii…
Demi melihat hal tersebut, emak dengan sigap menarik tanganku. Segera mengajak ke dalam. Pintu ditutup. Aku dihentakkan di kursi ruang tamu oleh emak. Aku terbengong mengikuti saja.
“Mul, kamu harus diruwat. Kamu tahu kan cicak yang jatuh tadi,” emak coba menjelaskan sesuatu.
“Tapi itu hanya cicak mak! Tidak berarti apa-apa, mungkin ingin bunuh diri karena cintanya ditolak,” aku mencoba berkelakar.
“Jangan melucu! Ini bukan guyonan, ini firasat, sebuah pertanda. Pertanda kesialan dan kamu akan celaka,” bentak makku.
“Tapi mak, bisa saja perekat spatulae di kaki cicak itu sedang habis, jadi jatuh,” aku mencoba berargumen.
“Jangan sok pinter, jangan menggurui makmu! Kamu akan celaka, tertimpa musibah! Dan cicak itu sebagai pertanda.”
“Mak, itu thiyarah namanya. Bisa mengurangi iman itu mak, syirik!”
“Kamu itu dibilangi ko ngeyel. Pinter dikit kebarat-baratan, alim dikit kearab-araban. La, Jawamu di mana, Mul?”
Takjub aku mendengar kata-kata Mak. Persis sama yang diungkapkan budayawan kelahiran Jombang. Dari mana Mak mendapat kata-kata itu. Misteri.
Mendengar sedikit kegaduhan, bapakku muncul dari kamar mandi, “Ealah kamu pulang to Mul? Ada apa ini kok ramai?”
Segera aku bangkit dan menyalami bapak. “Ini lo, Pak. Emak anggap aku kejatuahn cicak berarti kesialan akan menimpaku.”
Bapak tersenyum kecil, “Mitos itu, Mul! Takhayul! Apa gunanya kamu nyantri kalau percaya hal begituan.”
Emakku segera mendebat, “Bapak anak sama saja! Ya sudah kalau nggak percaya.” Semarahnya emak, beliau segera akan mereda tensinya. “Makan dulu sana, Mul! Itu ada pete dan ikan asin.”
Segera aku menuruti emak. Selesai makan, ketika mencuci piring, tanpa sadar tanganku yang masih bercampur sabun membuat pegangan tangan pada piring menjadi licin, dan prang! Piring pun jatuh dan pecah.
Emak segera mendekat, “Jangan bilang emak tidak memperingatkanmu!” Mitos satu, tanpa sadar hati kecilku menggumam.
Dua hari berlalu. Mitos cicak lepas perlahan dari pikiranku. Hujan yang deras tadi malam, membuat rumah kami bocor. Tak ayal, perabotan rumah basah. Air masuk menggenang sampai kamar.
“Mul! Sini bantu bapak,” bapak memanggilku dari luar.
Aku segera menghampiri, “Dibantu apa pak?”
“Itu bersihkan talang atap rumah, periksa juga apa ada genting yang bocor. Kalau ada turunkan dan ganti, biar tidak bocor lagi rumah kita.”
“Inggih, pak!” cekatan aku naik dengan tangga. Membersihkan talang, memeriksa genting kalau ada yang pecah kemudian menggantinya. Terlalu asik mengganti genting bocor, tiba-tiba, prakk! gluduk! Kayu dudukan genting tak kuat menahan badanku. Aku jatuh terjerembab. Bapak segera berlari mendekatiku, “Mana yang sakit Mul?”
Aku meringis kesakitan. Kuperiksa tangan, kepala, muka, badan tidak terluka. Ketika aku mencoba berdiri, sontak aku menjerit. Rupanya kakiku terkilir. Bapak memapahku ke dalam rumah. Emak mengurut kakiku dengan balsam, diselingi omelannya.
“Inilah kalau tidak percaya pertanda. Kamu harus diruwat Mul atau kamu akan tertimpa musibah lagi. Sudahlah, manut mak-e.”
“Ini karena aku kurang hati-hati mak!” aku menolak halus.
Bapakku menambahkan, “Iya, mak! Mul kurang hati-hati. Husnuzan saja sama Allah.”
Emak sedikit emosi, “Aku ya paham agama pak ne! Tapi kita ini hidup di tanah Jawa. Bukan di Arab. Di situ tanah dipijak, di situ pula adat dijunjung!” Filosofis sekali emakku. Jangan heran, beliau dulu juara cerdas-cermat se-kecamatan, bahkan khatam Quran lebih awal dibanding teman seusianya.
“Anak nurun bapak, sama kelakuan! Tadinya aku pengen bikin kopi untuk kalian berdua, sekarang nggak jadi, buat sendiri saja!” Emak memberikan maklumat dan sanksi tegasnya kepada kami.
Mitos kedua, hatiku membisiki. Selang tiga hari berlalu, emak memanggilku, “Mul! Belikan gula dan minyak goreng ya. Pakai motor saja, biar cepat lagian kakimu belum sembuh.”
Aku tertatih mengiyakan permintaan emak. Di perjalanan pulang, sekelompok anak bermain sepak bola di pelataran. Bolanya tak sengaja mengarah padaku. Aku kaget tanpa bisa mengontrol laju sepeda motorku. Dan bruak! Aku menabrak pagar pembatas rumah. Tubuhku terpental jatuh di aspal. Badanku terluka memar agak parah. Beberapa orang sekitar menolong dan membawaku pulang ke rumah. Mitos ketiga..
Akhirnya, aku dibawa ke dokter terdekat. Emak hanya bisa menangis melihatku berbaring dengan perban dan infus di tangan. Sambil terisak emak mengadu pada bapak, “Kalian berdua memang keras kepala. Lihatlah sekarang! Hanya kurang dari sebulan, Mul telah mengalami pelbagai kesialan. Kalau saja kalian menurutiku, tentu hal ini tidak akan terjadi!”
Imanku mulai goyah. Rupanya getaran ini juga dirasakan bapakku. Dengan waskitanya bapak mengelusku sambil berkata, “Ana Abdullah, sesungguhnya aku hamba Allah. Segala sesuatu atas kehendak Allah, tiada kekuatan, tiada mendatangkan kebaikan, dan tiada menghilangkan keburukan kecuali Allah, Innallaha ‘ala kulli syaiin qadiir.” Kusambut dengan kemantapan iman kembali. Bapak dan aku saling menatap, sembari mengucap, Lahawla walaa quwwata illa billahil aliyil adzim.
Tanpa sepengetahuanku dan bapak, emak benar-benar nekat untuk meruwatku sendirian. Atas petunjuk tokoh tua di desa kami, emak mengadakan sesajen larung. Yaitu dengan menghanyutkan sesajen di sungai terdekat. Tiba di tepi sungai emak komat-kamit merapalkan mantra.
“Allahhuma, Genderuwa, olehne Dhanyang ngela dasar ing bumi, bumi tuwa buyute Dhanyang desa…..; Dhanyang desa…. ingsun ewangana muji; apa sun puji?Lupute lara, lupute panca bala, lupute bilahi kabeh; ingsun urip, warasna sebab berkate kiyai Dhanyang. Culingkam culingkem tunggak papak kala mingkem, kem kebingkem saking kersane Allah. Wong kepingin mlaku utowo mblayu, slamet kala yo slamet”.
Sambil menghanyutkan sesajen yang disiapkan, mak mencoba menggiringnya ke tengah sungai. Naas! emak terpeleset saat pijakannya pada batu yang licin dan berlumut. Mak tercebur ke dalam sungai. Kepalanya timbul tenggelam masuk ke sungai. Arus mulai menyeretnya. Di tengah keputusaaan, emak menggapai-gapai tangannya. Berusaha kepala untuk tetap di permukaan, sambil teriak minta tolong, “Tolong…tolooong… Ya Allah… tooolong… tolooong…,” beberapa kali teriakan emak berusaha agar mendapatkan pertolongan. Beruntung, pemancing yang mendengarnya berusaha menolong emak. Kampung desa heboh. Beramai-ramai menuju sungai melihat kejadian tersebut. Aku dan bapak yang mendengar kabar, berlari dengan ketakutan dan cemas. Menerobos tepian, menuju orang-orang yang telah ramai berkumpul di sungai untuk mencari emak.
Alhamdulillah, dengan izin Allah, emak berhasil ditolong. Tubuhnya lemas, napasnya tersengal-sengal, terbatuk sambil mengeluarkan air. Bapak memeluk erat tubuh emak yang masih lunglai. Air mataku deras mengalir. Aku belum siap untuk kehilangan emak. Ketika siuman, emak menatap kami berdua, lirih namun kami tetap bisa jelas mendengarnya, “Ya Allah, tidak ada kecelakaan kecuali kecelakaan yang Engkau tentukan, dan tidak ada kebaikan kecuali kebaikanMu, serta tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.”
Emak kembali ditebalkan imannya, setelah tipis karena mitos cicak. Kami bertiga berpelukan erat, tak henti mengucap syukur. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan emak sekaligus dengan ketauhidannya.