Puasa, seperti halnya puasa wajib di bulan Ramadan, tak hanya monopoli umat Islam. Umat-umat terdahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk menjalankan ibadah puasa di bulan suci. Hanya, sering perjalanan waktu, praktik puasa pada umat terdahulu itu mengalami perubahan.
Dalam Islam, perintah puasa turun pada bulan Sya’ban tahun ke-2 Hijriah. Ayat yang dengan jelas memberikan informasi tentang perintah puasa adalah surat Al-Baqarah ayat 183. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ كَما كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian semua berpuasa, sebagaimana (diwajibkan) atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa.”
Selain soal perintah berpuasa, ayat itu juga berisi “dokumen historis” yang menginformasikan bahwa kewajiban puasa memiliki sejarah panjang, yang mempengaruhi turunnya syariat di zaman itu. Selain menyebutkan sisi historis, ayat itu juga memuat tujuan puasa itu sendiri.
Dari tiga poin yang terkandung di dalam ayat ini, hal yang selalu bikin penasaran adalah sisi historisnya. Siapa sih yang diwajibkan berpuasa sebelumnya? Lalu bagaimana cara mereka berpuasa?
Dalam Tafsir Mafatihul Ghaib atau biasa dikenal dengan At-Tafsir Al-Kabir karya Fakhruddin Ar-razy, disebutkan bahwa potongan ayat “kamaa kutiba” punya dua problematika. Problematika pertama terletak pada ta’alluq huruf kaf. Sedangkan, problematika kedua adalah posisi ayat ini dalam kajian gramatikal Al-Quran.
Sebagaimana kita ketahui, setiap huruf jer selalu punya ta’alluq (benang merah) dengan kata sebelumnya. Huruf kaf dalam kajian nahu punya fungsi penyerupaan/analogis/tasybih. Ar-Razy menyebutkan ada dua pendapat soal penyerupaan dalam ayat tersebut.
Pendapat pertama menyatakan bahwa huruf kaf punya ta’alluq ke lafaz “kutiba” (diwajibkan). Artinya, yang diserupakan di sini adalah diwajibkannya puasa Ramadan itu sebagaimana umat terdahulu juga diwajibkan melakukan puasa.
مَا أَخْلَى اللَّهُ أُمَّةً مِنْ إِيجَابِهَا عَلَيْهِمْ لَا يَفْرِضُهَا عَلَيْكُمْ وَحْدَكُمْ وَفَائِدَةُ هَذَا الْكَلَامِ أَنَّ الصَّوْمَ عِبَادَةٌ شَاقَّةٌ، وَالشَّيْءُ الشَّاقُّ إِذَا عَمَّ سَهُلَ تحمله.
Artinya: “Allah tidak mensyariatkan suatu kewajiban pada suatu umat, tidak mewajibkannya pula pada kalian sendiri. Faedah statemen ini adalah bahwa puasa itu ibadah yang berat, dan sesuatu yang berat, bila digeneralisasi akan menjadi ringan dibawa.”
Pendapat kedua menyatakan bahwa huruf kaf ber-ta’alluq pada waktu dan pakem puasa. Ini adalah pendapat yang lemah. Sebab, yang namanya penyerupaan pasti hanya akan memiliki poin persamaan pada beberapa hal saja, tidak mungkin semuanya.
Beberapa mufasir yang mendukung pendapat ini berpendapat, bahwa orang Yahudi dan Nasrani juga diperintah puasa di bulan Ramadan. Namun, dalam praktiknya mereka melakukan tahrif atau perusakan syariat secara masif. Orang Yahudi mengganti kewajiban puasa Ramadan dengan puasa 1 hari selama 1 tahun, yakni pada hari tenggelamnya Fir’aun. Ini pun sebuah kebohongan, karena nyatanya syariatnya adalah saat hari Asyura’ (tanggal 10 Muharram).
Umat Kristiani pun disyariatkan untuk berpuasa di bulan Ramadan, namun mereka juga melakukan tahrif dengan mengubah jadwal puasa secara kolektif. Umat Nasrani beralasan, puasa di bulan Ramadan ini sangat panas.
Dan memang benar, Ramadan sendiri berasal dari kata ramadha-yarmadhu yang artinya panas. Hingga akhirnya mereka mengganti puasanya secara kolektif di musim dingin dan menambahkan 10 hari sebagai bentuk permintaan maaf pada Tuhan. Sehingga total menjadi 40 hari. Setelah ada pergantian kepemimpinan, raja selanjutnya minta ditambah 7 hari menjadi 47 hari. Dan pada raja berikutnya digenapkan menjadi 50 hari.
Ada pula yang berpendapat bahwa umat Yahudi dan Nasrani berpuasa Ramadan, kemudian ditambah 1 hari sebelum Ramadan, dan 1 hari setelah Ramadan. Sehingga ini menjadi dasar diharamkannya puasa dia Ayyam Asy-Syak (akhir bulan Sya’ban). Selain itu ada pula yang berpendapat, bahwa sisi penyerupaan antara puasa umat Islam saat ini dengan umat terdahulu adalah sama-sama dilarang makan, minum, dan berhubungan suami istri setelah bangun tidur. Berbeda dengan umat Rasulullah yang boleh berhubungan suami istri di malam bulan Ramadan sebagaimana tertulis dalam surat Al-Baqarah ayat 187:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيامِ الرَّفَثُ إِلى نِسائِكُمْ…..الأية
Artinya: “Aku halalkan bagi kalian menggauli istri-istri kalian di malam bulan Ramadan.”
Ayat itu adalah nasakh dari hukum sebelumnya, yang melarang berhubungan suami istri selama bulan Ramadan.
Ibnu Al-Jauzy dalam Tafsir nya Zaad Al-Masir Fi ‘Ilm Tafsir mmempunyai pendapat yang mirip dengan Ar-Razy. Ibnu Al-Jauzy menyatakan bahwa kesamaan puasa sebelum dan sesudah syariat puasa Ramadan ada dua pendapat.
Pendapat petama menyatakan sama dengan apa yang dikatakan Ar-Razy, yakni sama dalam perihal diwajibkannya puasa. Sedangkan, pendapat kedua menyatakan bahwa yang mirip di sini adalah jumlah hari puasa. Ada dua pendapat dalam kesamaan jumlah hari ini. Pendapat pertama berkata, umat terdahulu mempunyai syariat puasa 3 hari di setiap bulan. Ma’mar bin Qotadah berkata:
كان الله قد كتب على الناس قبل رمضان ثلاثة أيام من كل شهر، فعلى هذا القول تكون الآية منسوخة بقوله تعالى: شَهْرُ رَمَضانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ.
Artinya: “Allah mewajibkan (puasa) kepada manusia sebelum (ada syariat) puasa Ramadan, tiga hari tiap bulannya. Oleh sebab qaul ini, syariat tadi terhapus dengan Firman Allah: Bulan Ramadan yang kami turunkan di dalamnya Al-Quran…”
Sedangkan, pendapat kedua menyatakan bahwa ummat terdahulu juga melaksanakan puasa di bulan Ramadan secara utuh. Ibnu Abbas berpendapat, bahwa umat Nasrani mengawali puasa Ramadannya sehari, kemudian ditambah lagi sehari, kemudian ditambah sehari lagi di akhir, kemudian ditambah lagi. Hingga akhirnya total tambahannya menjadi 20 hari. Sebanyak 10 hari di awal bulan dan 10 di akhir bulan.
As-Sudiy menceritakan, guru-gurunya pernah berkata: umat Nasrani merasa keberatan menjalankan puasa di musim panas maupun dingin. Sehingga mereka mengubah syariat puasa menjadi di antara musim dingin dan musim panas, sembari memberi pembelaan:
نزيد عشرين يوماً نكفر بها ما صنعنا، فعلى هذا تكون الآية محكمة غير منسوخة
Artinya: “Kami menambah (puasanya) 20 hari sebagai penutup (kesalahan) yang kami perbuat. Oleh sebab itu, ayat tersebut muhakkam, tidak mansukh.”
Wallahu A’lam.