Moderasi Beragama: Melindungi (Tafsir) Agama atau Umat Beragama?

216 kali dibaca

Indonesia, meski tidak secara langsung menyatakan diri sebagai negara sekuler atau negara agama, namun agama memilki posisi yang begitu penting dalam ruang publik (Suedy, 2021). Beragama menjadi jati diri warga negara secara keseluruhan. Maka tak heran, bilamana negara hadir dengan menyuguhkan regulasi yang tak sedikit jumlahnya mengenai agama.

Belakangan, pemerintah mencanangkan suatu program yang bertujuan untuk menghalau arus radikalisme dan menciptakan masyarakat yang toleran. Tak lain, program tersebut ialah Moderasi Beragama. Program tersebut diyakini dapat memecahkan problem mengakar atas maraknya kasus intoleran di Indonesia. Bahkan, program tersebut terdaftar dalam RPJMN 2020-2024 serta dikuatkan dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.

Advertisements

Terlepas dari tujuan mulia pemerintah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang toleran, Moderasi Beragama turut menuai kontroversi. Berbagai kalangan turut merespon hal hangat ini, mengingat terdapat indikasi bahwa melalui program ini negara berusaha mencampuri urusan agama dan keyakinan masyarakat.

Di satu sisi, istilah moderat yang lekat dengan terminologi Barat pun turut menuai pro kontra.Terlebih pada ranah pesantren yang memiliki akar kebudayaan Indonesia.

Forum Komunikasi Pesantren Muadalah (FKPM) yang terdiri dari berbagai pesantren tradisional dan modern melalui Deklarasi Tegalsari pun menganggap konsep Moderasi Beragama merupakan pemaksaan konsep Barat yang dipaksakan masuk dalam ranah pesantren (pesantrenmuadalah.id, 2019). Selain itu, pada tahun 2022 juga terdapat taggar yang trending di media sosial twitter dengan mengangkat #tolakmoderasiberagama.

Buku yang berangkat dari perspektif lintas iman ini menyisakan sedikitnya tiga argumen utama dalam merespon program Moderasi Beragama.

Pertama, pembedahan secara linguistik mengenai terminologi ‘moderat dan ‘moderasi beragama’. Asumsi dari proses memoderatkan umat beragama ialah melakukan dikotomi antara yang moderat dan tidak moderat, ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Tentu hal ini malah berimplikasi pada semakin lebarnya jurang dikotomi tersebut. Sehingga memunculkan tipologi yang secara tidak sadar akan menancap dalam benak umat beragama dan negara untuk saling menuduh dan menilai satu sama lain.

Kedua, terdapat indikasi bahwa negara terlalu mengintervensi umat beragama, sehingga negara muncul sebagai aktor polisi agama bagi warganya. Sebab, negara ingin menciptakan (tafsir) agama resmi (moderat) yang dibalut dengan karakterstik yang diamini negara. Tentu hal ini merupakan upaya politik penjinakan tafsir keagamaan yang dilakukan oleh negara. Penafsiran atas agama harus dilakukan pada perspektif moderat dengan upaya melawan penafsiran radikal dan ekstrem.

Pada akhirnya, negara melakukan tindak represif yang jauh dari kata demokratis dalam melakukan ‘religion making’.

Ketiga, Moderasi Beragama berada di atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Sesungguhnya proses internalisasi nilai Moderasi Beragama harus didukung dengan nilai Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagaimana ratifikasi yang dilakukan oleh negara terhadap berbagai regulasi. Namun yang terjadi tidak demikian, negara seakan abai dengan KBB dan hal ini akan berimplikasi pada tidak dipatuhinya prinsip-prinsip demokrasi di mana kebebasan beragama warga negara dikontrol oleh negara melalui Moderasi Beragama.

Melindungi (Tafsir) Agama atau Umat Beragama?

Dalam buku Moderasi Beragama yang diluncurkan oleh Badan Diklat Kementerian Agama RI (2019), disebutkan bahwa konflik bernapaskan agama berasal dari maraknya tafsir keagamaan yang radikal dan ekstrem. Maka, hematnya, keperluan untuk memunculkan tafsir moderat menjadi urgen. Hal tersebut tentu beririsan dengan gagasan Masdar Hilmy (2022) yang menganggap bahwa moderatisme secara makna masih menjadi perdebatan dan perebutan. Hal tersebu bergantung pada siapa dan dalam konteks apa hal itu dikemukakan.

Negara dalam hal ini melakukan pembatasan atas tafsir-tafsir yang berkeliaran. Tafsir yang tidak memiliki nuansa moderat akan berhadapan langsung dengan negara. Sehingga negara secara tidak langsung akan melakukan penyeragaman pemikiran keagamaan. Bahkan, tak diragukan lagi negara akan menghukum penafsiran-penafsiran yang tidak bernuansa moderat.

Di sisi yang lain, dalam lanskap KBB, titik berat berada bukan pada ranah tafsir keagamaan melainkan pada subyek individu umat beragama. Mengingat pasal 18 (1) ICCPR yang berbunyi “kebebasan setiap orang untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan sesuai pilihannya sendiri”.

Tak lain, tujuan KBB ialah menjamin serta menghapus segala bentuk pemaksaan atas pilihan hati nurani seseorang untuk memeluk keyakinannya masing-masing. Tidak akan memfokuskan pada tafsir keagamaan apa yang dianut entah radikal, moderat, liberal atau lainnya melainkan pada dimensi kemanusiaan umat beragama atau berkeyakinan.

Tentu jika negara melakukan pendisiplinan keagamaan suatu individu akan secara tegas mencederai nurani seseorang. Bagaimanapun juga, pendisiplinan tafsir keagamaan oleh negara akan sangat mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang berusaha dibangun oleh negeri ini.

Data Buku:
Judul Buku: Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama: Suatu TInjauan Kritis
Penulis: Trisno S. Sutanto, Suhadi Cholil, Woro Wahyuningtyas, Danial Sutami Putra
Editor: Zainal Abidin Bagir dan Jimmi M.I. Sormin
Penerbit: PT Gramedia
Tahun Terbit: 2022
Tebal: 196 Halaman
ISBN: 9786230032202

Multi-Page

One Reply to “Moderasi Beragama: Melindungi (Tafsir) Agama atau Umat Beragama?”

Tinggalkan Balasan