Moderasi Beragama sebagai Keniscayaan Berpancasila

12 views

Moderasi beragama adalah konsep yang berusaha menciptakan keseimbangan dalam menjalankan ajaran agama dengan tetap menjaga harmoni sosial. Istilah moderasi beragama sering kali dihubungkan dengan ide tentang menjaga titik tengah antara radikalisme dan liberalisme dalam beragama.

Di Indonesia, moderasi beragama menjadi salah satu agenda penting yang digagas oleh Kementerian Agama, guna merespons dinamika keberagaman agama yang ada di tengah masyarakat. Kementerian Agama memandang bahwa sikap moderat dalam beragama dapat menjadi kunci bagi terwujudnya kehidupan sosial yang harmonis dan damai di tengah pluralitas bangsa.

Advertisements

Teologi Moderasi

Dalam pandangan teologi Islam, moderasi beragama sejalan dengan ajaran wasathiyah, atau jalan tengah, yang menjadi salah satu ciri penting dalam Islam. Seperti yang dijelaskan oleh Yusuf al-Qaradawi (1995), Islam mengajarkan umatnya untuk tidak terjebak pada ekstremisme dalam bentuk apapun, baik dalam cara beribadah, bersosialisasi, maupun dalam hal interaksi dengan penganut agama lain.

Dengan demikian, moderasi beragama bukan berarti mengabaikan ajaran agama, tetapi menekankan perlunya memahami agama secara kontekstual, dengan mempertimbangkan realitas sosial yang ada.

Pendekatan ini menjadi semakin relevan dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman agama, suku, dan budaya. Moderasi beragama menjadi landasan penting untuk menjaga kesatuan bangsa tanpa mengorbankan identitas keagamaan. Dalam kerangka ini, moderasi beragama tidak hanya soal menjaga keseimbangan antara doktrin agama dan konteks sosial, tetapi juga soal menghindari pemahaman agama yang kaku dan literal, yang sering kali menjadi sumber konflik.

Pendekatan moderat ini juga didukung oleh teori pluralisme agama yang dikemukakan oleh John Hick (1989), yang menekankan bahwa semua agama pada dasarnya adalah jalan menuju satu tujuan yang sama, yaitu pencapaian kebenaran ilahi.

Dalam teologi Islam sendiri, konsep moderasi beragama juga diperkuat oleh ide tentang maqasid al-shariah, yaitu tujuan-tujuan syariat yang di antaranya meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Konsep ini mengajarkan bahwa hukum-hukum agama tidak boleh diterapkan secara kaku, melainkan harus dipahami dalam konteks yang lebih luas untuk mencapai kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, moderasi beragama dalam Islam bukan sekadar teori, tetapi juga memiliki landasan praktis yang kuat dalam ajaran Islam itu sendiri.

Kementerian Agama Republik Indonesia telah merumuskan beberapa indikator penting untuk mengukur moderasi beragama di tengah masyarakat. Indikator pertama adalah komitmen kebangsaan, yaitu penerimaan terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsensus nasional yang mengikat seluruh warga negara.

Dalam hal ini, moderasi beragama mengajarkan bahwa agama dan negara bukanlah dua entitas yang saling bertentangan, melainkan bisa berjalan seiring untuk mencapai tujuan bersama. Komitmen kebangsaan juga menuntut adanya sikap cinta tanah air yang tidak hanya diwujudkan dalam bentuk patriotisme, tetapi juga dalam menjaga kesatuan dan persatuan di tengah perbedaan agama.

Indikator kedua adalah penolakan terhadap kekerasan. Moderasi beragama tidak menoleransi kekerasan dalam bentuk apapun, baik kekerasan fisik maupun verbal. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang mengajarkan perdamaian dan menolak penggunaan kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan. Dalam Al-Qur’an, disebutkan bahwa “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256), yang menegaskan bahwa setiap orang berhak memilih keyakinan agama tanpa ada tekanan atau kekerasan.

Dalam konteks ini, teori non-violence yang dikemukakan oleh Mahatma Gandhi juga relevan, di mana kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan, dan perdamaian hanya dapat dicapai melalui dialog dan kesepahaman.

Indikator ketiga adalah toleransi, yaitu sikap menghargai perbedaan keyakinan dan pandangan orang lain. Toleransi tidak berarti menyamakan semua agama atau keyakinan, tetapi menghormati hak setiap individu untuk menjalankan keyakinannya tanpa adanya diskriminasi atau intimidasi.

Dalam pandangan Amartya Sen (2006), toleransi merupakan fondasi dari masyarakat yang demokratis, di mana setiap orang diberikan kebebasan untuk mengekspresikan keyakinannya dalam batas-batas yang tidak merugikan orang lain. Moderasi beragama mengajarkan bahwa perbedaan keyakinan bukanlah alasan untuk bermusuhan, melainkan peluang untuk saling belajar dan memperkaya diri.

Indikator keempat adalah keterbukaan terhadap kebudayaan lokal. Moderasi beragama menekankan pentingnya menghargai kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Dalam sejarah Indonesia, agama dan budaya sering kali saling melengkapi. Misalnya, masuknya Islam ke Nusantara yang disebarkan melalui pendekatan budaya dan tradisi lokal. Dalam hal ini, Clifford Geertz (1973) dalam bukunya “The Interpretation of Cultures” menyatakan bahwa agama adalah sistem makna yang melekat dalam budaya masyarakat, dan oleh karena itu, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Moderasi beragama mengajarkan bahwa adaptasi terhadap kebudayaan lokal adalah salah satu cara untuk memperkuat identitas nasional tanpa mengabaikan identitas keagamaan.

Kata kunci dari moderasi beragama, seperti toleransi, inklusivitas, dialog, dan keadilan, mencerminkan pentingnya pendekatan yang seimbang dalam menjalankan ajaran agama di tengah keragaman.

Konsep-konsep ini tidak hanya relevan dalam konteks keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan sosial secara lebih luas. Menurut Karen Armstrong (2006), agama yang moderat adalah agama yang mendorong umatnya untuk terus berusaha mencapai kedamaian dan keadilan sosial, yang merupakan esensi dari ajaran agama itu sendiri.

Realitas Kebhinekaan

Kebhinekaan adalah kenyataan sosial yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku, dan berbagai agama, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan dan kesatuan di tengah keragaman tersebut. Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi salah satu cara untuk menjaga keharmonisan sosial dan mencegah terjadinya konflik yang disebabkan oleh perbedaan agama.

Indonesia adalah contoh nyata dari pluralitas agama yang hidup berdampingan. Sejak zaman pra-kolonial, wilayah Nusantara telah menjadi tempat pertemuan berbagai peradaban, agama, dan budaya. Islam, Hindu, Buddha, dan Kristen berkembang secara bersamaan, tanpa menyingkirkan satu sama lain. Dalam sejarah, hal ini dapat dilihat dari berbagai kerajaan di Nusantara yang menjadikan agama sebagai bagian dari identitas mereka, namun tetap menghormati agama lain.

Sebagai contoh, Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu mampu hidup berdampingan dengan kerajaan-kerajaan Islam di sekitarnya. Hal ini menandakan bahwa sejak dahulu, kebhinekaan sudah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Namun, kebhinekaan juga memiliki tantangan tersendiri. Munculnya radikalisme agama dan intoleransi menjadi ancaman nyata bagi keutuhan bangsa. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama, ditambah dengan ketidakmampuan untuk menerima perbedaan, dapat mengancam stabilitas sosial.

Teori “clash of civilizations” yang dikemukakan oleh Samuel Huntington (1996) relevan dalam konteks ini, di mana konflik yang muncul sering kali disebabkan oleh benturan antara peradaban yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, moderasi beragama bertindak sebagai penangkal terhadap konflik semacam ini dengan mengajarkan pentingnya menghargai perbedaan dan membangun dialog antar agama.

Selain itu, teori multikulturalisme yang dikemukakan oleh Bhikhu Parekh (2000) juga relevan dalam memahami kebhinekaan Indonesia. Parekh menekankan bahwa masyarakat yang pluralistik memerlukan pemahaman yang mendalam tentang perbedaan budaya, nilai-nilai bersama, dan kearifan lokal. Moderasi beragama membantu masyarakat untuk melihat bahwa perbedaan tidak harus menjadi sumber konflik, tetapi bisa menjadi kekuatan untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam hal ini, moderasi beragama juga mendukung ideologi Pancasila yang menempatkan persatuan dalam keragaman sebagai nilai dasar bangsa.

Dalam pandangan teologi Islam, kebhinekaan adalah salah satu bentuk manifestasi dari rahmat Tuhan. Islam mengajarkan bahwa perbedaan dalam keyakinan, suku, dan budaya adalah bagian dari sunnatullah, atau hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan. Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia diciptakan dalam suku-suku dan bangsa-bangsa agar saling mengenal dan belajar satu sama lain (QS. Al-Hujurat: 13). Dengan demikian, kebhinekaan bukanlah sesuatu yang harus dilawan, tetapi harus diterima sebagai bagian dari rencana ilahi yang lebih besar.

Keniscayaan Berpancasila 

Pancasila adalah fondasi ideologis bangsa Indonesia yang lahir dari kesepakatan bersama. Sebagai ideologi negara, Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar hukum dan politik, tetapi juga sebagai landasan moral dan etika bagi seluruh warga negara. Setiap sila dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia, seperti keadilan, kemanusiaan, dan persatuan. Oleh karena itu, berpancasila berarti menerima dan menjalankan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.

Kesepakatan untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan berbagai kelompok dengan latar belakang agama, budaya, dan ideologi yang berbeda. Para pendiri bangsa, termasuk tokoh-tokoh Islam, seperti KH Wahid Hasyim dan Haji Agus Salim, memahami bahwa Indonesia yang pluralistik memerlukan landasan ideologis yang mampu mengakomodasi keragaman tersebut tanpa mengorbankan nilai-nilai keagamaan. Pancasila dipandang sebagai titik temu yang mampu menjembatani perbedaan tersebut, sehingga tercipta kesepakatan untuk menjadikannya sebagai dasar negara.

Berpancasila juga berarti menerima konsekuensi untuk menolak segala bentuk ekstremisme yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Dalam hal ini, teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau (1762) relevan untuk dipahami. Rousseau menekankan bahwa dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berbeda, diperlukan kesepakatan bersama untuk menciptakan tata kehidupan yang adil dan seimbang. Pancasila berfungsi sebagai kontrak sosial bagi bangsa Indonesia, di mana setiap warganya setuju untuk menerima Pancasila sebagai pedoman hidup bersama yang mengikat.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, seperti keadilan sosial dan persatuan, juga sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam. Dalam ajaran Islam, keadilan atau al-adl adalah salah satu prinsip utama yang harus ditegakkan dalam hubungan antar manusia. Ini tercermin dalam berbagai ayat Al-Qur’an yang menyerukan pentingnya berbuat adil, baik dalam hubungan sosial, politik, maupun ekonomi.

Oleh karena itu, bagi umat Islam di Indonesia, Pancasila bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama, tetapi justru menjadi sarana untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang diajarkan oleh Islam.

Hubungan Islam dan Negara

Pilihan Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, bukanlah pilihan yang sederhana. Meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, para pendiri bangsa memilih untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Hal ini bukan berarti bahwa ajaran Islam tidak diakui, tetapi karena Pancasila dipandang lebih mampu menciptakan harmoni di tengah keragaman.

Menurut pandangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Islam di Indonesia memiliki karakter yang inklusif dan adaptif, yang memungkinkan untuk berdialog dengan nilai-nilai nasional seperti Pancasila.

Dalam konteks hubungan Islam dan negara, teori tentang “Islam dan Demokrasi” yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) juga relevan untuk dipahami. Cak Nur berpendapat bahwa Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan, tetapi justru dapat saling melengkapi.

Menurutnya, nilai-nilai demokrasi, seperti keadilan, persamaan hak, dan penghargaan terhadap martabat manusia, sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Pancasila yang mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi juga dapat diterima oleh umat Islam.

Gus Dur menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara Pancasila bukanlah negara sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan publik, tetapi juga bukan negara agama yang hanya mengakui satu agama sebagai dasar negara. Dalam pandangannya, Pancasila memberikan ruang bagi semua agama untuk berkembang dan berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendekatan ini memungkinkan umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa harus merasa terancam oleh keberadaan agama lain.

Pancasila sebagai ideologi negara bukanlah konsep yang abstrak, tetapi pedoman yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai warga negara, salah satu cara untuk mempraktikkan Pancasila adalah dengan menjaga sikap saling menghormati di tengah perbedaan agama, suku, dan budaya. Dalam kehidupan sosial, sikap moderasi dalam beragama menjadi salah satu bentuk nyata dari penerapan Pancasila, khususnya sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila ketiga tentang Persatuan Indonesia.

Pancasila juga menuntut adanya komitmen untuk menegakkan keadilan sosial. Ini berarti bahwa setiap individu harus berperan aktif dalam menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa memandang latar belakang agama atau suku. Prinsip keadilan ini sejalan dengan ajaran agama-agama, termasuk Islam, yang menekankan pentingnya membantu mereka yang membutuhkan dan memperjuangkan hak-hak kaum tertindas.

Dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila juga dapat diterapkan dengan cara berpartisipasi dalam menjaga ketertiban umum dan menjauhi segala bentuk kekerasan atau diskriminasi. Dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak hanya memperkuat persatuan nasional, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan damai.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan