Mubadalah, Pendekatan Fikih yang Inklusif dan Humanis

28 views

Dalam sejarah penafsiran hukum Islam, fikih seringkali dipahami dipahami dan diterapkan dengan perspektif yang bias gender. Maka diperlukan paradigma agar muncul fikih yang lebih inklusif dan humanis.

Sesungguhnya, fikih adalah disiplin ilmu dalam Islam yang mengatur tata cara beribadah dan bermuamalah dalam kehidupan sehari-hari. Namun, karena penafsiran dan penerapannya didominasi paham patriarki, akhirnya bias gender. Dalam konteks ini, muncul pendekatan fikih mubadalah sebagai alternatif yang menawarkan paradigma baru.

Advertisements

Mubadalah, yang berasal dari kata Arab “mubadalah” berarti kesalingan. Pendekatan ini menekankan pentingnya relasi yang adil dan setara antara laki-laki dan perempuan dalam memahami dan menerapkan hukum Islam.

Fikih mubadalah bukan hanya sebuah metode, tetapi juga sebuah paradigma yang bertujuan merekonstruksi cara pandang masyarakat terhadap ajaran Islam. Prinsip dasar dari fikih ini adalah bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang saling melengkapi, bukan saling menindas atau mendominasi. 

Paradigma Baru

Fikih mubadalah dikembangkan untuk menjawab berbagai problematika yang dihadapi umat Islam, khususnya dalam isu kesetaraan gender. Pendekatan ini didasarkan pada konsep keadilan dalam Islam yang bersifat universal, seperti yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Dalam fikih mubadalah, teks-teks hukum Islam tidak hanya ditafsirkan dari sudut pandang laki-laki sebagai pusat, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman dan perspektif perempuan.

Pendekatan ini juga menekankan pentingnya memahami konteks sosial, budaya, dan sejarah dalam menafsirkan teks-teks hukum.

Sebagai contoh, ayat-ayat Al-Qur’an yang sering digunakan untuk mendukung superioritas laki-laki, seperti Q.S. An-Nisa: 34 tentang kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, dapat ditafsirkan ulang dengan pendekatan mubadalah. Dalam perspektif ini, kepemimpinan bukanlah soal dominasi, tetapi tanggung jawab yang bersifat timbal balik, di mana suami dan istri bekerja sama untuk mencapai kebaikan bersama.

Inklusivitas Fikih Mubadalah

Fikih mubadalah memiliki karakter inklusif karena ia tidak mendiskriminasi berdasarkan gender. Dalam pendekatan ini, laki-laki dan perempuan dipandang sebagai mitra sejajar yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan Allah. Misalnya, dalam konteks pernikahan, fikih tradisional sering kali menekankan kewajiban istri untuk melayani suami. Namun, fikih mubadalah menegaskan bahwa suami juga memiliki kewajiban yang sama untuk melayani istrinya.

Selain itu, fikih mubadalah juga memberikan ruang bagi perempuan untuk berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Pendekatan ini menghapus stigma bahwa perempuan hanya berperan di ranah domestik. Dalam Islam, banyak contoh perempuan yang aktif di ruang publik, seperti Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi Muhammad SAW, yang merupakan pengusaha sukses.

Inklusivitas dalam fikih mubadalah juga tercermin dalam upayanya untuk menghadirkan keadilan bagi semua pihak, tanpa terkecuali. Pendekatan ini berusaha menghapus praktik-praktik diskriminatif yang merugikan salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, fikih mubadalah tidak hanya relevan untuk isu gender, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil secara keseluruhan.

Pendekatan Humanis

Selain inklusif, fikih mubadalah juga memiliki karakter humanis yang kuat. Pendekatan ini menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan berupaya memuliakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam fikih mubadalah, manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki potensi dan martabat yang sama di hadapan Allah. Oleh karena itu, segala bentuk penafsiran hukum yang merendahkan salah satu gender dianggap bertentangan dengan prinsip humanisme Islam.

Salah satu contoh penerapan pendekatan humanis dalam fikih mubadalah adalah dalam isu kekerasan dalam rumah tangga. Dalam fikih tradisional, beberapa ulama membolehkan suami memukul istri dalam kondisi tertentu, dengan merujuk pada Q.S. An-Nisa: 34. Namun, fikih mubadalah menolak interpretasi ini dan menekankan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan dalam bentuk apa pun. Sebaliknya, suami dan istri diharapkan saling menghormati, mencintai, dan mendukung satu sama lain.

Pendekatan humanis ini juga terlihat dalam upaya fikih mubadalah untuk menghilangkan praktik-praktik budaya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti pernikahan anak dan poligami yang merugikan perempuan. Dalam pandangan mubadalah, hukum Islam harus diaplikasikan dengan mempertimbangkan kemaslahatan semua pihak, bukan hanya kepentingan satu gender.

Relevansi Fikih Mubadalah di Era Modern

Fikih mubadalah memiliki relevansi yang besar di era modern, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan global terkait kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pendekatan ini menawarkan solusi yang tidak hanya sesuai dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga relevan dengan prinsip-prinsip universal yang diakui dunia internasional.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, banyak nilai-nilai tradisional yang mulai dipertanyakan, termasuk dalam hukum Islam. Dalam konteks ini, fikih mubadalah hadir untuk menjembatani antara tradisionalitas dan modernitas, dengan menawarkan interpretasi yang lebih kontekstual dan relevan.

Pendekatan ini memberikan jawaban atas berbagai isu kontemporer, seperti hak perempuan dalam warisan, perlindungan terhadap korban kekerasan, dan partisipasi perempuan dalam politik.

Lebih dari itu, fikih mubadalah juga menjadi sarana untuk memperbaiki citra Islam di mata dunia. Dengan menampilkan Islam sebagai agama yang inklusif dan humanis, pendekatan ini dapat mengikis stigma negatif terhadap Islam yang sering dianggap diskriminatif terhadap perempuan.

Melalui fikih mubadalah, Islam dapat terus berkembang menjadi agama yang memberikan rahmat bagi seluruh alam, tanpa terkecuali. Relasi yang adil dan setara antara laki-laki dan perempuan bukan hanya menjadi tujuan, tetapi juga refleksi dari nilai-nilai luhur Islam itu sendiri.

Dengan demikian, fikih mubadalah tidak hanya menjadi solusi untuk umat Islam, tetapi juga menjadi inspirasi bagi dunia dalam mewujudkan keadilan sosial.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan