Saat musim haji seperti saat ini, saya teringat sewaktu nyantri dua belas tahun silam. Sambil menjaga keamanan pesantren, beberapa santri sesuai giliran kamar ditugasi ronda malam. Sejak jam tidur, pukul 23.00 WIB sampai waktu tarhim sebelum Subuh, santri peronda harus melek dan sesekali keliling kompleks pesantren.
Selama bertugas menjaga keamanan di beberapa pos, biasanya di pintu gerbang utama, pintu masuk kediaman pengasuh dan pintu menuju asrama santri putri, santri peronda mengisinya dengan mutalaah kitab, belajar pelajaran sekolah, dan ngobrol dengan topik terhangat. Saya sendiri seringnya di posisi yang suka ngobrol.
Lazimnya obrolan santri peronda sesuai momen. Jika momen pemilu, sok jadi politikus andal ngobrol soal percaturan politik. Ramai soal hantu, ikut ngomongin perkara dedemit. Gaduh soal pertandingan sepak bola, mendadak turut serta jadi komentator sepak bola. Viral batu akik, tidak mau ketinggalan juga bicara seputar akik.
Dan saat musim haji, obrolan santri peronda juga tidak jauh dari perihal haji. Seperti malam pada musim haji kala itu, saya dan teman-teman secara bergantian saling berbagi kisah terkait momen ibadah tahunan ini. Kami berkisah sejauh pengetahuan kami yang didapat dari ustaz di madrasah, orangtua di rumah, dan ada pula yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni penuturan sebagian jamaah haji yang kami kunjungi sepulangnya mereka dari Tanah Suci.
Saya masih sangat ingat nama-nama teman sekamar yang gemar bercerita, begitu pun dengan obrolan kami sewaktu beronda malam. Tersebutlah Musa Wali (nama asli santri Nurul Islam Bluto Sumenep, ia asal Pakondang, Rubaru, Sumenep), selain doyan cerita, ia juga mahir berpidato, berqiraah, tartil, ikut drama, dan bermain alat-alat musik, seperti rebana, piano, gendang, seruling, gitar, ukulele, biola, dan semacamnya. Dalam pandangan kami, ia multitalenta. Bakatnya di atas rata-rata santri seusianya. Ketika ronda di musim haji, ia banyak bercerita soal haji. Berikut salah satu ceritanya.
“Haji Tasbani (nama samaran) tetangga saya, berkisah saat saya datang ke rumahnya usai pulang dari Makkah,” Musa Wali bertutur. “Ketika hendak pulang ke Indonesia, ia ingin belanja oleh-oleh asli dari Tanah Haram.
Dengan pengetahuan bahasa Arabnya yang pas-pasan, Haji Tasbani datang ke toko penjual kurma. ‘Hadza…’ katanya sambil memegang jenis kurma yang dipilih. Maksudnya, ia ingin membeli sesuatu yang dipegang itu. Setelah sepakat soal harga, si pemilik toko kurma bertanya pakai bahasa Arab, ia hendak beli berapa kilo gram,” kisah Musa Wali sesekali menghalau nyamuk dan menggaruk-garuk betisnya.
“Haji Tasbani seketika bingung mau jawab bagaimana. Ia bermaksud membeli kurma dua kilo gram, tetapi tidak tahu menjawab dua kilo gram pakai bahasa Arab. Tiba-tiba keringat dingin membasahi dahi dan tengkuknya. Beberapa saat kemudian, ia seolah mendapat ide. Ia teringat niat salat Subuh yang dua rakaat. Spontan Haji Tasbani menjawab lantang ke penjual kurma tersebut, ‘Hadza… rak’ataini lillahi Ta’ala.’ Si penjual paham, sebab Haji Tasbani menjawabnya sambil mengangkat dua jari,” lanjutnya kemudian.
Kami terpingkal-pingkal. Musa Wali juga terbahak. Malam semakin larut. Suara binatang malam semakin terdengar bersahutan. Sementara kami larut dalam kisah yang mengalir.
“Kalau kisah Pak Lek saya, lain lagi,” kali ini saya yang bercerita. Sarung kotak-kotak merah-hitam, saya ikat ke pinggang. Celana panjang membungkus kaki. Peci hitam tetap di kepala. Kami sedang duduk di pos keamanan di sebelah utara koperasi putra.
Pak Lek berkisah tentang pengalaman temannya. Sebut saja namanya Haji Muntolos. Pada sebuah kesempatan, Haji Muntolos mengeluh soal sakit pinggangnya ke Pak Lek. Ia menjelaskan ke Pak Lek, kalau sakit pinggang begitu biasanya butuh minum jamu. Jamu bubuk kopi asli dan telur ayam kampung.
Kebetulan Pak Lek saat itu bawa bubuk kopi asli. Sengaja ia bawa yang asli karena jika minum kopi yang tidak asli, perutnya sering mual. Bubuk kopi asli itu yang ditawarkan ke Haji Muntolos oleh Pak Lek. Haji Muntolos senang. “Ia tinggal cari telur ayam kampung,” kisah saya dengan muka menghadap teman-teman peronda.
Daun-daun bambu di depan pos keamanan berayun-ayun diterpa angin. Saya melanjutkan, “Lantas, Haji Muntolos ditemani Pak Lek mencari telur yang dimaksud ke toko milik orang Arab. Ketika sudah berada di depan toko, Haji Muntolos kebingungan bagaimana cara menanyainya. Akhirnya, seakan mendapat bisikan gaib, ia berani bertanya, ‘Hal kana alladzi yakhruju min duburi kok-kotak kok-kotak?’ Haji Muntolos menirukan suara ayam kampung sehabis bertelur. Sedangkan Pak Lek menyembunyikan tawanya. Dan pemilik toko itu tolah-toleh sambil mengerutkan dahi.”
Dan begitu seterusnya. Semakin malam, kami semakin asyik bertukar kisah hingga menjelang fajar. Termasuk pula cerita tentang jamaah haji yang naik taksi hendak pulang ke hotelnya, tetapi tidak tahu cara meminta ke sopir untuk menghentikan laju mobil tumpangannya. Lalu, ia terpaksa bilang, “Ya Sayyid, shadaqallahul adzim.” Tentunya, ia bermaksud mengatakan, “Cukup, saya berhenti di sini”, namun ia tidak paham bahasa Arabnya.
Juga cerita salah satu mereka yang ketika tengah mandi, tiba-tiba air kran mati. Dengan kepala yang penuh dengan busa sampo, ia mendatangi resepsionis dan berujar, “Maaun innalillahi wa innailaihi raji’un.” Seketika resepsionis melongo.
Hikmah dari perbincangan kami soal kisah jamaah haji ini adalah betapa pentingnya ilmu. Terutama ilmu agama. Sebab, dengan ilmu ibadah kita menjadi lancar. Ilmu menjadikan komunikasi kita lancar saat berinteraksi dengan orang asing. Dengan ilmu pula, kita tidak mudah dikelabui orang lain. Selain sebagai cahaya, ilmu juga menjadi tameng dalam hidup. Maka, tuntutlah ilmu sepanjang hayat!