Mutiara dalam Timbunan Sampah

55 views

“Pak Dar sudah sarapan?”

“Belum, Bu Niar.”

Advertisements

“Hari ini saya masak lumayan banyak. Saya bawakan untuk Pak Dar sarapan pagi ya?”

“Mohon maaf Bu, saya puasa.”

Pak Dariono melanjutkan tugasnya ke rumah-rumah lainnya. Sepeda motor butut, gerobak yang sudah penuh dengan karatan, karung sak pemisah sampah yang sangat lusuh. Jika ada botol atau plastik, ia letakkan di bagian belakang. Jika di rumahnya sudah menumpuk banyak, ia setorkan ke tukang loak.

Seusai salat subuh, Pak Dariono sudah bergumul dengan rutinitasnya. Memungut sampah di bak-bak sampah para warga yang umumnya tinggal di kawasan perumahan. Tiap hari agar tak ada ulat dan bau. Karena warga menolak jika sampah itu mengendap lama di bak sampah depan rumahnya.

Begitulah keseharian Pak Dariono menjalankan tugasnya sebagai pengangkut sampah. Sampah-sampah itu tiap hari ia buang di TPA yang sekira 5 km jaraknya. Kadang harus tiga sampai lima kali, bergantung banyaknya sampah yang dibuang.

Sebelum dhuhur, biasanya ia sudah sampai di rumahnya. Terkadang bisa juga selepasnya. Pak Dariono sering kali menerima pekerjaan tambahan di luar tugas yang terkadang sepele. Mengganti genting bocor, memompa ban, memperbaiki kran, membenarkan sapu, menghalau ular yang masuk rumah, atau mencari dan membuang bangkai tikus.

Rumahnya tak jauh dari perumahan tempatnya memungut sampah. Beberapa petak rumah yang terbilang sederhana jika tidak ingin dikatakan kumuh dan melata. Berada di antara perumahan menengah dan perumahan mewah. Begitu timpang, bisa jadi rumah-rumah petak itu kelak tergusur dengan tawaran harga lumayan menjanjikan.

“Ada yang bisa dijual, Pak?” tanya istrinya begitu Pak Dariono sampai di rumah.

“Alhamdulillah ada.”

“Sedikit sekali, Pak. Tidak seperti kemarin-kemarin.”

“Astaghfirullah Bu. Kita harus selalu bersyukur. Bapak kan tukang angkut sampah, bukan pemulung.”

“Sebentar lagi Ramadan, lalu Lebaran. Belum biaya anak-anak sekolah, Pak.”

“Bapak tadi diberi hadiah. Habis bantu-bantu.”

Bingkisan yang entah apa isinya itu diberikan Pak Dariono kepada istrinya. Terbungkus kresek putih. Di dalamnya lagi terbungkus kertas coklat muda. Tadi belum sempat ia buka isinya. Fatimah, anak keduanya yang duduk di tingkat akhir madrasah merebut bingkisan itu dari tangan ibunya.

“Astaghfirullah. Ini buat Bapak? Ini pasti salah kasih, Pak?”

“Bapak hanya diberi Bu Niar. Sehabis membersihkan rumahnya. Dia malah berpesan kalau ini untuk ibu.”

“Kembalikan saja Pak. Ini pasti keliru.”

Fatimah langsung mengambil ponselnya. Ia ingin meyakinkan bahwa sesuatu yang dipegangnya benar-benar bernilai. Ia terus mem-browsing perihal isi bingkisan tersebut. Kerudung bermerek yang selama ini belum pernah dibelinya. Juga barang berharga yang terselip di dalamnya.

“Itu isinya apa, Fatimah?” ibunya mulai bingung.

“Kerudung bermerek. Di dalamnya ada mutiara Bapak, Ibu. Sangat mahal harganya.”

“Kita harus segera ke rumah Bu Niar,” Pak Dariono mengajak serta istrinya dan Fatimah menuju rumah Bu Niar. Ia merasa ada yang salah dengan Bu Niar yang keliru memberikan barang itu. Pasti bukan untuknya. Jika pun untuknya, harusnya kerudung biasa atau pakaian bekas layak pakai.

“Assalamualaikum Bu Niar. Mohon maaf, bingkisan oni kami kembalikan,” Pak Dariono mengawali pembicaraan sesampai di teras rumah Bu Niar.

“Waalaikumsalam. Ini apa, Pak? Bukannya ini yang saya berikan tadi untuk istri?” Bu Niar dan suaminya mengarahkan tamunya masuk dan mempersilakan duduk.

“Mungkin ibu keliru atau belum tahu memberikan ini yang memberikan mukena. Tapi, ternyata di dalamnya ada kalung mutiara.”

“Mohon maaf, saya benar-benar memberikannya untuk Pak Dariono.”

Bu Niar yang melihat semua tamunya masih berdiri, langsung mempersilakan duduk. Dengan tenang, ia mulai menceritakan rasa terima kasihnya kepada Pak Dariono. Membuang sampah tiap hari dan sukarela membantunya.

“Itu sudah kewajiban saya sebagai petugas pemungut sampah, Bu Niar. Saya sudah dapat bayaran tiap bulan. Jika saya bantu hal lainnya, ibu juga pasti memberi uang tambahan. Tidak sebanyak ini!”

“Saya sudah tidak punya orang tua lagi. Begitu pula suami. Pak Dariono juga sangat baik dan banyak jasanya kepada warga perumahan. Mohon hadiah yang dulu pernah akan saya berikan ke ibu saya sebelum beliau meninggal dunia, untuk istri Pak Dariono. Semoga Bapak dan Ibu bersedia menerima.”

“Saya kagum kepada Pak Dariono sekeluarga. Di sela istirahat kerja, mengisi kotak amal dan salat Dhuha di masjid perumahan. Selalu ringan tangan jika disuruh bantu ibu-ibu kompleks yang memerlukan bantuan. Keluarga Pak Dar juga selalu jamaah kan di masjid sini. Tolong diterima pemberian dari istri saya Pak Dar! Silakan disimpan atau dijual untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan,” imbuh suami Bu Niar.

Pak Dariono langsung mengelak saat Bu Niar hendak membungkuk di hadapannya. Tangan istrinya langsung terhela menerima bingkisan itu dari tangan Bu Niar. Ia putuskan menerima bingkisan itu dan kembali pulang ke rumahnya.

“Kita jual saja mutiara itu, Bu. Kira-kira berapa ya, Fatimah?” tanya Pak Dariono setiba di rumah.

“Bapak tadi pura-pura tidak mau. Sekarang malah suruh jual,” ejek Fatimah.

“Berapa Fatimah? Jawab dulu pertanyaan Bapak.”

“Mungkin 10 jutaan. Ini Fatimah cari-cari di internet.”

“Ya sudah kamu yang jual.”

“Nanti uangnya juga untuk Fatimah beli sepatu sekolah ya Pak.”

“Jangan. Jangan ambil sepeserpun uang itu untuk kebutuhan kita.”

“Lalu untuk apa Pak?”

Pak Dariono menceritakan kepada istri dan Fatimah perihal adiknya di kampung yang kemarin meneleponnya. Berkabar tentang parahnya kondisi desa setelah terendam banjir. Hasil panen warga pun gagal total. Musholla harus diperbaiki. Perlu banyak biaya untuk mengembalikannya agar berfungsi kembali.

“Kamu telepon Pak Lek. Minta nomor rekening. Lalu kirimkan semuanya.”

“Apa Pak? Semuanya?” istrinya dan Fatimah keheranan.

“Sisakan sedikit untuk ibu beli beras. Fatimah juga harusnya bergnati sepatu,” tukas istri Pak Dariono yang mulai mempersiapkan makanan berbuka.

“Semuanya saja. Bapak carikan rezeki lagi.”

Pak Dariono memilih meninggalkan keduanya. Berjalan menuju teras rumahnya. Memilah dan mengepak rapi barang-barang yang mungkin bisa ia jual kembali. Ia harus bekerja lebih giat lagi setelah kejadian tadi.

Ia terus saja bekerja. Sesekali diliriknya anak istrinya yang sudah tak lagi memasang wajah dongkolnya. Menunggu azan maghrib berkumandang. Ia ingin berganti tempat jemaah, tak lagi di masjid perumahan tempat Bu Niar tinggal. Ia tak ingin hatinya meninggi. Mulai terkotori oleh sanjung puji orang-orang yang menganggapnya mulia.

“Nanti kita jemaah di masjid sebelah. Di Perumahan Graha Bakti saja.”

“Apa Pak? Bukannya kita harus lebih jauh lagi jalan kaki? Bapak semakin aneh,” protes Fatimah.

“Berarti pahalanya lebih banyak.”

“Fatimah ingin tetap di masjid biasanya.”

“Kamu harus taati perkataan Bapak. Jangan protes terus. Sana kamu mengaji saja. Biar ibu sendiri yang masak.”

“Iya Bu. Bapak. Maafkan Fatimah. Besok saya juga harus setoran hafalan juz 29 ke Ustadzah Aisyah.”

Suasana kembali hening. Semua kembali pada aktivitasnya masing-masing. Pak Dariono tersenyum sumringah melihat kalimat istrinya tadi. Keduanya sudah menjalani hidup bersama hampir setengah abad. Cuaca mulai mendung memekat. Tapi jiwa yang tinggal di rumah itu terus berkilau.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan