Wajah Sumardin mendidih tersengat hawa kuali siang ini. Tempe-tempe yang mendidih di kuali, berteriak mengajaknya bergabung meloncat ke dalam kuali sampai matang. Ia mengalihkan perhatian ke anak-bininya, lalu bergumam menghadap kuali, “Ya nasib buruk orang pun berpikir buruk. Maklumlah orang kecil kian hari makin terjepit.”
Pagi besoknya, Sumardin berjalanan-jalan tanpa arah. Dia keluar-masuk gang sempit, entah apa yang dicarinya. Barangkali mencari solusi, tanpa ia sadar sudah sampai ke Pasar Raya Baru. Baru berjalan sebentar, dia sudah diteriaki, “Sumardin kau ingin membeli ban motor,” pria gempal berleher pendek itu meneriakinya.
“Aku tidak punya motor, tapi gerobak!”
“Gerobak bisa dikasih ban motor!”
“Gerobak pikull…,” teriaknya menoleh balik. Sambil berpandangan, ia geram lalu mempercepat jalannya.
“Sumardin, kau lapar tidak!?” seorang pria lain lagi menyahutnya. Sambil melipat kertas dan daun pisang , pria necis berkumis Queen itu meneriaki Sumardin lagi. “Belilah sate, Sumardin. Tak kasihan kau dengan anakmu.”
“Kalau tidak lapar, kenapa kau ke pasar?” pria itu terkekeh menghinanya.
Kepala Sumardin mendidih tersengat matahari, setelah mendengar hal tersebut. Dia mendadak berpikir jahat. Geramnya bersambut dengan emosi yang membuncah. Seketika bongkahan batu sebesar kepalan mendadak terbang mendarat ke arah gerobak sate.
Brukkk… kaca gerobak itu pecah berkeping-keping. Melihat hal itu, dia langsung ambil posisi ancang-ancang untuk berlari tangkas.
“Kejarrrr…,” tukang sate itu mengamuk dengan mengangkat pisau pemotong ketupat. Dia menyulut orang-orang untuk semangat makin emosi.
Tersengal-sengal, dia masuk ke gang sempit. Melipir ke kiri. Masuk pintu belakang pasar menuju keramaian pedagang tekstil. Sumardin bergegas masuk ke area konstruksi dengan memanjat pagar, lalu dia berlari lagi mengendap-endap di antara lorong-lorong kumuh. Dia menghela napas panjang dan terduduk letih di bawah genangan becek. Sumardin yakin dia sudah lolos dari amukan para pedangang pasar.
“Huhh, hampir mati aku.”
***
Daster, levis, baju bayi, sarung, celana dalam, yang masih basah dijepit berderet di sebuah tali kambing di lantai dua. Tali itu terhubung di antara dua buah bangunan yang memayunginya. Sambil tersengal-sengal, matanya mencari jalan setapak hingga menuju sebuah gang yang terlihat ramai orang yang lalu-lalang.
Sumardin kaget bukan main. Wajahnya peka apa yang terjadi. Terbelalak menyaksikan penyebab dagangan ketupat sayurnya menjadi sepi. Berspekulasi terhadap penyebabnya itu, dia sekaligus mencoba untuk mencari solusi, secara bersamaan otaknya mengepul bagai motor tua yang siap digeber hebat siang ini.
Terlihat jelas orang-orang berkumpul mengitari penjual nasi goreng. Penuh rapat menjamur dari hulu ke hilir lorong. “Orang-orang sudah berganti hobi sarapan pagi,” gerutunya, segera ia langsung bergegas kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya, Sumardin melihat harapan baru lagi untuk menghidupi anak-anaknya. Sambil menyiapkan perkakas seperti kuali, spatula, tabung gas, kompor gas, istrinya mulai mengambil bawang merah dan putih, cabe merah dan lengkuas, yang kemudian dihaluskan menggunakan cobek menjadi satu kilo bumbu. Satu kotak bumbu telah siap, dan tertutup rapi dalam wadah bekal anaknnya. Sambil berlari menuju Wak Ujang, Sumardin membeli kecap, saus tomat, dan telur.
Sumardin tahu rahasia nasi goreng begitu disukai, karena kecap dan saus tomat tentunya. “Orang-orang kaya terbiasa mengkonsumsinya, sedangkan ketupat sayur sudah tidak zaman lagi,” katanya. “Orang-orang miskin mana akrab dengan bumbu seperti ini.”
Kemudian ia mengambil wudhu untuk salat dhuha. Tergesa-gesa, komat-kamit, Sumardin mulai sangat khusuk berdoa meminta agar dagangannya laris.
“Bapak seperti Mbah Sabar, Buk. Hi-hi-hi…,” anaknya yang di pangku ibunya itu berseloroh melihat bapaknya.
“Huss, diam!” tegur ibunya.
Sumardin melepaskan sarungnya lalu pamitan dengan menyodorkan telapak tangannya ke istrinya. Istrinya menyambut mencium tangan suaminya, berharap dagangannya laris-manis.
Sumardin menutup pintu rumah langsung menuju tempat di mana orang-orang berkumpul. Tibalah ia di mana dari hulu ke hilir penjual nasi goreng berjualan. Dengan percaya diri, ia memikul gerobaknya yang lebih mirip pedagang kerak telur ketimbang nasi goreng. Sumardin kian mencolok dari penjual nasi goreng yang lainnya. Tidak ambil pusing, ia berjalan tegap seperti serdadu yang siap berperang membawa ransel di pundaknya.
Membuka matanya perlahan untuk mengamati lapak kosong. Sontak dia membisu, mulutnya kaku, tubuhnya mematung sambil mengeluarkan zat garam yang bercucuran dari pori-pori keningnya, kira-kira sebesar biji jagung ukurannya.
“Yaaa Tuhan, kini berjualan roti digoreng, dengan isi lembaran daging merah di tengah, makanan apalagi ini,” gerutunya.
“Kenapa hidup selalu bercanda kepada orang miskin.”
“Hei, Sumardin,” seorang pria entah dari mana datangnya menegurnya. “Menurut teori supply, kebutuhan tergantung konsumen, dan konsumen kita adalah orang kaya, sedangkan orang miskin cukup menurut apa mau mereka....”
Tanpa pikir, ia langsung menjatuhkan pikulannya. Seketika telur-telur, bumbu, kecap, saus tomatnya pecah dan tumpah buyar berserakan, cair bercampur tanah yang becek. Amarahnya kian menjadi dengan mengacak-ngacak bumbu yang terberai di tanah. Sumardin meronta sejadi-jadinya pagi ini.
***
Sebuah rumah beratapkan jerami tampak begitu tenang dengan asap yang mengepul dari arah dapurnya, tapi sayup-sayup terdengar percakapan yang seru siang itu.
“Enak, Buk,” seorang anak lahap menyantap nasi goreng.
“Kita makan yang dimakan orang kaya, Nak.”
“Iya, Buk.”
“Habiskan semua ya, Nak”
“Sudah pasti, Buk.”
Bau bumbu yang dimasak itu harum semerbak mengacaukan bau comberan di kanal-kanal yang tersumbat sampah. Bau rempah-rempah seperti di dapur hotel bintang lima tercium sedap di antara rumah-rumah kumuh yang rapat. Wanita dan anaknya itu menyatap nasi goreng sisa bumbu jualan bapaknya. Mata mereka bercahaya penuh harapan saat menyantap nasi goreng, berharap produk baru itu tidak bercada karena memang enak untuk dicoba.
Jambi, 6 Februari 2020.