Nasib Agama Asli di Tanah Air Sendiri

30 views

Mafhum diketahui bahwa Indonesia dihuni oleh warga negara dengan tingkat religiusitas yang cukup tinggi. Kejamakan agama dan kepercayaan yang ada di Indoensia menjadi bukti nyata akan hal itu. Selain agama impor, agama yang diakui oleh negara, terdapat pula kepercayaan yang tidak atau belum diakui negara yang tak sedikit jumlahnya.

Secara istilah, kepercayaan digunakan secara bergantian dengan agama leluhur, agama lokal, agama nusantara, agama asli, dan lain sebagainya. Praktik yang digunakan pun beragam. Ada yang mengistilahkannya dengan agama, ada pula yang lebih lekat dengan istilah budaya.

Advertisements

Penganut agama leluhur terdiri dari penghayat kepercayaan dan masyarakat adat. Keduanya saling bertumbukan dalam menerima stigma buruk dari masyarakat. Praktiknya sering dilekatkan dengan hal-hal magis, kuno, tradisional, menolak kemajuan, anti-modern, dan lain sebagainya.

Namun, eksistensi agama leluhur telah ada sejak lama bahkan sebelum agama impor seperti Budha, Hindu, Katolik, Kristen, dan Islam  masuk ke wilayah Nusantara.

Catatan Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce (1988) menyebutkan bahwa agama asli telah lama berinteraksi dengan agama impor. Alih-alih sirna dan kalah saing dengan agama impor, agama asli justru berkembang melalui proses asimilasi dengan agama baru yang justru membentuk keagamaan atau kepercayaan yang unik.

Sehingga perlu dipahami jika seseorang memeluk agama impor, maka belum tentu tidak menganut agama asli, begitu pula sebaliknya sebagaimana khalayak ramai membaca fenomena tersebut.

Misalnya, agama impor yang bersentuhan dengan agama asli muncul seperti Islam Aboge, Islam Jawa, Kristen Toraja, Hindhu Kaharingan dan lain sebagainya (Maarif, 2018).

Tak hanya variasi atas interaksi dua agama atau keyakinan. Upaya ini juga dapat dibaca sebagai strategi negoisasi yang dilakukan oleh pemeluk agama asli dengan negara untuk mempertahankan komunitasnya di tengah-tengah kebijakan yang diskriminatif.

Dalam dimensi sejarah, melalui saduran dalam Historical Atlas of Indonesia (2000), Robert Cribb menguatkan argumentasi tentang keberadaan agama asli yang hadir lebih awal ketimbang agama impor. Namun kekuatan Kolonialisme yang membawa prinsip gospel turut mengancam eksistensi agama asli.

Hal ini menandakan bahwa marginalisasi yang diterima agama lokal telah ada sejak kolonialisme hadir di bumi pertiwi. Bahkan, setelah negara ini merdeka pun mereka masih saja menerima beragam diskriminasi.

Memang, seperti yang dikatakan Clifford Gertz dalam Religion of Java (1960), bahwa agama asli tidak hanya memuat aspek spiritual melainkan juga aspek sosial dan politik tak juga mengurangi beban diskriminasi yang diterima secara signifikan.

Terbukti melalui Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang secara ekspisit menjamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan justru malah dipolitisasi oleh agama-agama impor saja. Sehingga penganut agama asli tidak diakui secara penuh hak-haknya dalam hal kewarganegaraan. Tidak sedikit penganut agama asli menginduk pada agama impor dalam identitas kewargaanya (KTP). Sebelum pada akhirnya, melalui keputusan MK pada tahun 2017 hak kewargaan penganut agama asli dapat dicantumkan dalam KTP.

Sebelum itu, pada masa Orde Baru, melalui buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Yudi Latif (2011) menyebut bahwa pengakuan agama resmi pada masa Orde Baru merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan ‘identitas nasional yang terstruktur’ yang mana agama mayoritas menjadi ukuran untuk mempertahankan stabilitas politik.

Dengan kata lain, upaya pembangungan yang dilakukan oleh Rezim Soeharto berusaha meminggirkan penganut agama asli yang tidak sesuai dengan proyek pembangungan. Terlebih untuk membentuk kekuatan politik dengan dalih kesesuaiannya agama resmi dengan nilai-nilai Pancasila.

Namun, apakah marginalisasi tersebut melalui proses top-bottom. Penulis kira tidak hanya demikian, namun proses marginalisasi tersebut juga bergerak dari arah bawah ke atas (bottom-top).

Sederhananya, diskriminasi dan marginalisasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai instrumen kebijakannya, melainkan juga dari masyarakat yang memberi stigma, mengecam, bahkan meneror pemeluk agama asli. Belum lagi kebijakan yang lahir dari masukan-masukan masyarakat yang memiliki sikap antipati dengan agama asli.

Robert W. Hefner dalam karyanya Shari’a Politics: Islamic Law and Society in the Modern World (2011) menganggap diskriminasi dan marginalisasi agama asli semakin parah ketika wacana Islam menjadi dominan dalam masyarakat Indoensia kontemporer. Segala hal yang berada pada titik minor (agama asli) akan dianggap sebagai penyimpangan.

Dalam hal pendidikan pun tak jauh berbeda, amatan Koentjoroningrat dalam Kebudayaan Jawa (1985) menganggap bahwa generasi muda kekinian kerap kali meminggirkan bahkan mencemooh pendidikan yang berbau tradisional. Sehingga terjadi keterputusan antara generasi muda (pewaris) dengan aspek keagamaan leluhur.

Kini, perlunya untuk meluaskan definisi ‘agama’ yang tidak hanya mewakili agama mayoritas, namun juga turut mengakomodasi agama asli yang tergolong dalam agama minoritas. Sehingga aspek kehidupan yang lebih luas pun turut mengakomodasi penganut agama asli.

Memang, diskriminasi dan marginalisasi terhadap agama asli merupakan kelanjutan dari masa kolonial dan Orde Baru, namun tak elok jika ‘bencana agama’ itu diwariskan hingga sekarang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan