Fenomena Khilafah Islamiyah kembali mencuat di publik dalam pusaran kasus Khilafatul Muslimin. Pasca adanya konvoi yang dilakukan oleh organisasi Khilafatul Muslimin yang mengakibatkan penangkapan pimpinan tertingginya, Abdul Qadir Baraja di awal Juni kemarin, memantik perbincangan ulang ihwal sikap keberagamaan kita, utamanya dalam ruang persatuan kebhinekaan di Indonesia. Tidak luput, rumpun paham moderasi yang masif dikampanyekan menuai persoalannya di sini.
Dalam isu yang belum lama ini berkembang, ada bacaan fenomenologis yang distortif dari mencuatnya Khilafatul Muslimin. Kita melihat adanya fluktuasi isu bagaimana membangun narasi kontrapropaganda dalam propaganda. Artinya, konvoi oleh Khilafatul Muslimin yang dilihat sebagai kebangkitan kembali misi kekhalifahan disubordinasikan dengan membangun isu tudingan oligarki-kapitalisme pemerintah atas dasar tuduhan politisasi keagamaan seseorang (baca: Waspadai Propaganda Hitam Soal Khalifah, Generasi Harus Speak Out!, muslimahnews)
Alih-alih ada apresiasi terhadap langkah tegas pihak yudikatif, masyarakat disuguhkan pada konstruksi isu antara bahaya terorisme dengan ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Akhirnya, isu oligarki yang mendesak adanya kebutuhan terhadap formalisasi syariat dilakukan dari bawah dengan mencari legitimasi kultural masyarakat. Dengan demikian, persoalan ini semakin pelik ketika wacana Khilaifah Islamiyah mendapat suatu justifikasi pembenaran di tengah masyarakat.
Apa yang Dikehendaki Khilafatul Muslimin?
Jika kita lihat, Khilafatul Muslimin sejak berdirinya tahun 1997—hasil transformasi dari Darul Islam (DI)/Negara Islam Indonesia (NII)—membawa misi politik di dalamnya. Itu adalah fakta empiris yang tidak bisa ditampik dalam kenyatannya. Bagaimanapun mereka membangun paradigma dakwah dan konsepsi keilmuan (manhajul fikr) untuk mendapat ruang dalam berekspresi, realitasnya mereka tetap menginginkan adanya purifikasi agama dalam bernegara. Rajutan historis dan realitas komunal keindonesiaan sama sekali tidak membatalkan fantasi keagamaan mereka.
Inilah kemudian mengapa Khilafatul Muslimin patut dikatakan inkonsisten dalam misi pergerakan yang dibawanya. Mereka cenderung polaritatif antara wacana oral dan fakta pergerakan di lapangan. Dalam sebuah penelitian (Wachid Ridwan, 2022), mereka mengatakan Khilafatul Muslimin adalah organisasi pergerakan dakwah, ceramah-ceramah biasa, tapi faktanya tidaklah demikian. Terdapat misi politik konstitutif yang mereka inginkan.
Dari sini, kita melihat khilafatul muslimin secara internal menyadari bahwa fantasi keagamaan mereka dalam membangun negara Islam di dalam negara yang sudah final dan konstitusional tidak mendapatkan pembenaran masyarakat Indonesia. Mereka meyakini sejatinya konsesus persatuan dan kesatuan (NKRI), ideologi pencasila, dan dasar yang konstitusional adalah kesepakatan yang dijalankan di atas keabsahan agama, adat istiadat, dan kebudayaan bangsa.
Kesadaran itu dihadapkan pada sikap keagamaan yang fanatik dan dikotomis dalam mempertautkan antara konsep beragama dan relaitas bernegara dengan kerentanan politisnya (Aksin Wijaya, 2021: 106). Evaluasi politik itu disayangkan karena disorientatif dalam perumusan inovasi etelahnya. Artinya, mereka dalam menawarkan solusi dari carut-marut politik dengan konsep syariat Islam yang masif dan dialektis (tidak menerima solusi alternatif/pihak ketiga).
Akhirnya, yang dapat mereka lakukan dalam mewujudkan misi kekhalifahan hanya membangun propaganda/kontrapropaganda dengan konstruksi isu yang dibalut dengan dalih keagamaan. Antara oganisasi kegamaan yang konservatis dan modernis, antara doktrin politik yang Kanan dan Kiri, kebudayaan yang inklusif dan eksklusif dibenturkan satu sama lain dengan memantik kebenaran yang tunggal dan otoritatif. Agama pun ditafsir secara bebas hingga memunculkan bibit phobia Islam di belahan dunia.
Hal inilah yang perlu menjadi perhatian bersama. Objek radikalisasi khalifahers adalah ihwal politik adu domba dan propaganda isu untuk saling menjatuhkan. Semacam menghadirkan anomali-anomali dalam kebenaran dan mengambil kebenaran tunggal versi mereka. Tentu hal ini perlu diantisipasi dan diperangi.
Masa Depan Khilafatul Muslimin
Hal yang dipersolakan kemudian adalah nasib Khilafatul Muslimin pasca ditangkapnya pimpinan tertinggi mereka. Tidak dimungkiri, ada sikap optimis dengan ditangkapnya Abdul Qadir Bara, organisasi di bawah pimpinannnya itu juga akan terperangkap dalam kevakuman, atau setidaknya mengalami stagnasi pergerakan selama masa pimpinan mereka ditangkap.
Namun, Khilafatul Muslimin sudah tumbuh dalam negara ini selama kurang lebih 25 tahun sejak berdiri. Belum lagi usia dogmatik keagamaan yang sudah bersemayam dengan ide negara Islam dalam kepala mereka. Dalam rentang waktu tahunan itu, tentunya ada perkembangan pesat yang dibangun. Tidak terkecuali bagaimana relasi struktural yang dibentuk dari tingkat pusat hingga daerah.
Eksitensi Khilafatul Muslimin akan terus hidup—bagaimanapun bentuknya nanti—meski dengan ditangkapnya pimpinan mereka sekalipun. Karena Khilafatul Muslimin hanya wadah formal semata yang mengikat secara struktural, sedangkan misi kekhalifahan tidak akan hilang karena spirit khilafah itu dibangun di atas keyakinan ijtihad dan janji-janji surgawi. Abdul Baraja ditangkap, akan muncul Abdul Baraja selanjutnya.
Bahkan, dalam taraf pembubaran organisasi oleh pemerintah sekalipun, Khilafatul Muslimin juga akan mengubah wujudnya dalam bentuk yang lain, dan tentunya dengan spirit yang sama. Hal itu dapat dibuktikan bagaimana fenomena Pront Pembela Islam (FPI) yang sudah dibekukan oleh pemerintah, dan tumbuh lagi dengan varian yang berbeda.
Penting kemudian penanggulangan wacana ideologi politik khilafah dilakukan secara kontinu dan sistematis sejalan dengan spirit kekhalifahan. Hal itu harus dilakukan dengan rekomitmen bersama dari hulu ke hilir untuk mengimbangi siasat yang terus berinovasi ke depan. Saat ini, aktor penting dalam penanggulangan tetaplah pemerintah dan negara dengan memperkuat kualifikasi normatif soal khilafah (perundang-undangan). Respons apresiatif terhadap langkah pemerintah. Wallahu a’lam.