Dunia politik ibarat panggung sandiwara yang tak pernah kehabisan aktor. Ada yang datang membawa janji perubahan, ada pula yang hanya ingin bertahan di kursi empuk kekuasaan.
Di tengah gemuruh demokrasi, suara rakyat, dan wacana modernitas, fikih pemerintahan menjadi topik yang sering kali tenggelam—seolah hanya kitab kuning berdebu yang duduk di rak tanpa disentuh. Padahal, di balik sejarah panjang umat Islam, fikih pemerintahan telah menjadi kompas yang mengarahkan bagaimana sebuah negara dijalankan.
![](https://i0.wp.com/www.duniasantri.co/wp-content/uploads/2022/09/Duniasantri-Telegram-Acquistion.jpeg?fit=1280%2C720&ssl=1)
Islam, sejak masa Rasulullah SAW, tidak hanya berbicara tentang ibadah individual, tetapi juga bagaimana mengatur masyarakat, menegakkan keadilan, dan mengelola kekuasaan.
Maka, pertanyaannya: apakah sistem pemerintahan dalam Islam itu baku? Haruskah berbentuk khilafah seperti masa lalu? Ataukah kita bisa berdamai dengan model negara modern?
Antara Kedaulatan Tuhan dan Suara Rakyat
Jika kita bertanya kepada sejarah Islam, jawabannya tidaklah satu warna. Di satu sisi, kita diajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah, bukan hasil negosiasi politik yang bisa dipermainkan sesuka hati. Tetapi di sisi lain, Islam juga mengajarkan bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada musyawarah dan keadilan.
Konsep syura yang ada dalam Islam sejatinya mirip dengan demokrasi, tetapi dengan satu perbedaan mendasar: demokrasi modern berbasis pada suara mayoritas, sementara dalam Islam, keputusan harus berlandaskan kebenaran dan kemaslahatan.
Dalam Islam, suara rakyat penting, tetapi bukan berarti kebenaran bisa ditentukan oleh jumlah pemilih. Sebab, jika kebenaran bisa berubah sesuai hasil pemilu, maka esok lusa, hukum mencuri bisa saja dianggap sah asal didukung 51 persen suara.
Namun, ini bukan berarti Islam anti-demokrasi. Justru, demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai Islam bisa menjadi jalan tengah antara idealisme syariat dan realitas politik modern. Dalam sistem republik, misalnya, seorang pemimpin bisa dipilih berdasarkan amanah, bukan keturunan, sebagaimana juga yang terjadi dalam sistem khilafah pasca-Rasulullah SAW.
Khalifah, Presiden, atau Raja?