Negara, Kekuasaan, dan Fikih Pemerintahan

20 views

Dunia politik ibarat panggung sandiwara yang tak pernah kehabisan aktor. Ada yang datang membawa janji perubahan, ada pula yang hanya ingin bertahan di kursi empuk kekuasaan.

Di tengah gemuruh demokrasi, suara rakyat, dan wacana modernitas, fikih pemerintahan menjadi topik yang sering kali tenggelam—seolah hanya kitab kuning berdebu yang duduk di rak tanpa disentuh. Padahal, di balik sejarah panjang umat Islam, fikih pemerintahan telah menjadi kompas yang mengarahkan bagaimana sebuah negara dijalankan.

Advertisements

Islam, sejak masa Rasulullah SAW, tidak hanya berbicara tentang ibadah individual, tetapi juga bagaimana mengatur masyarakat, menegakkan keadilan, dan mengelola kekuasaan.

Maka, pertanyaannya: apakah sistem pemerintahan dalam Islam itu baku? Haruskah berbentuk khilafah seperti masa lalu? Ataukah kita bisa berdamai dengan model negara modern?

Antara Kedaulatan Tuhan dan Suara Rakyat

Jika kita bertanya kepada sejarah Islam, jawabannya tidaklah satu warna. Di satu sisi, kita diajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah, bukan hasil negosiasi politik yang bisa dipermainkan sesuka hati. Tetapi di sisi lain, Islam juga mengajarkan bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada musyawarah dan keadilan.

Konsep syura yang ada dalam Islam sejatinya mirip dengan demokrasi, tetapi dengan satu perbedaan mendasar: demokrasi modern berbasis pada suara mayoritas, sementara dalam Islam, keputusan harus berlandaskan kebenaran dan kemaslahatan.

Dalam Islam, suara rakyat penting, tetapi bukan berarti kebenaran bisa ditentukan oleh jumlah pemilih. Sebab, jika kebenaran bisa berubah sesuai hasil pemilu, maka esok lusa, hukum mencuri bisa saja dianggap sah asal didukung 51 persen suara.

Namun, ini bukan berarti Islam anti-demokrasi. Justru, demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai Islam bisa menjadi jalan tengah antara idealisme syariat dan realitas politik modern. Dalam sistem republik, misalnya, seorang pemimpin bisa dipilih berdasarkan amanah, bukan keturunan, sebagaimana juga yang terjadi dalam sistem khilafah pasca-Rasulullah SAW.

Khalifah, Presiden, atau Raja?

Sejak runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah, umat Islam seolah kehilangan pegangan dalam sistem pemerintahan. Ada yang ingin menghidupkan kembali khilafah, ada yang lebih memilih sistem modern seperti republik dan monarki.

Lantas, apakah Islam hanya mengenal satu bentuk pemerintahan? Jawabannya tidak sesederhana hitam dan putih.

Sejarah mencatat, Islam pernah dipimpin oleh empat khalifah yang berganti dengan cara berbeda: ada yang dipilih melalui musyawarah (Abu Bakar), ada yang ditunjuk oleh pendahulunya (Umar), ada yang dipilih melalui dewan formatur (Utsman), dan ada pula yang berdasarkan wasiat (Ali). Tidak ada satu sistem baku. Yang ditekankan adalah prinsip kepemimpinan yang adil dan bertanggung jawab.

Jika suatu negara berbentuk republik dengan presiden yang adil, jujur, dan menegakkan hukum Islam, maka itu lebih baik daripada negara berbentuk khilafah tetapi dipimpin oleh pemimpin zalim.

Ibn Taimiyyah bahkan berkata, “Allah akan menolong negara yang adil meskipun ia kafir, dan tidak akan menolong negara yang zalim meskipun ia Muslim.” Artinya, bentuk pemerintahan bukanlah jaminan kebaikan, tetapi bagaimana pemerintahan itu dijalankan.

Hukum Islam dan HAM

Tantangan lain dalam fikih pemerintahan adalah bagaimana menyeimbangkan hukum Islam dengan standar internasional. Banyak negara Muslim menghadapi dilema: di satu sisi ingin menerapkan hukum syariat, tetapi di sisi lain ditekan oleh norma-norma global yang sering kali bertentangan.

Misalnya, dalam Islam, ada hukum hudud yang menetapkan hukuman seperti potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina. Namun, dunia internasional sering menganggapnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Apakah Islam harus tunduk pada standar Barat, ataukah harus tetap teguh pada hukum yang telah ditetapkan?

Di sinilah pentingnya ijtihad dan pemikiran kreatif dalam fikih pemerintahan. Hukum Islam tidak bisa diterapkan secara kaku tanpa melihat konteks sosial.

Jika ada hukum yang dirasa sulit diterapkan, maka pendekatan maqashid syariah—yakni menjaga agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta—harus menjadi prioritas. Islam bukan sekadar hukum yang harus dijalankan apa adanya, tetapi juga mengajarkan kebijaksanaan dalam penerapannya.

Negara Ideal: Utopia atau Kenyataan?

  1. Membayangkan negara ideal ala Islam sering kali terasa seperti mimpi indah di siang bolong. Di satu sisi, kita ingin negara yang sepenuhnya menerapkan hukum Islam. Di sisi lain, kita hidup dalam dunia yang penuh dengan kompromi, di mana kepentingan politik dan ekonomi sering kali lebih dominan daripada hukum syariat.

Maka, tugas kita bukan sekadar mendebat soal bentuk negara, tetapi bagaimana menerapkan nilai-nilai Islam dalam sistem yang ada. Kita bisa saja hidup dalam negara demokrasi, tetapi memastikan bahwa hukum-hukum yang diterapkan tetap sesuai dengan prinsip keadilan Islam. Kita bisa berada dalam sistem monarki, tetapi memastikan bahwa pemimpin menjalankan amanahnya dengan adil.

Fikih pemerintahan bukan soal nostalgia mengembalikan kejayaan masa lalu, tetapi bagaimana menerapkan prinsip Islam dalam dunia yang terus berubah. Kita tidak perlu sibuk membangun menara khilafah di atas fondasi yang rapuh, tetapi harus memastikan bahwa di mana pun kita berada, keadilan tetap tegak, kebenaran tetap terjaga, dan Islam tetap menjadi cahaya bagi kehidupan bernegara.

Sebab, negara bukanlah tujuan akhir. Ia hanyalah alat. Yang kita cari bukanlah bentuk pemerintahan tertentu, tetapi bagaimana keadilan dan kebaikan bisa ditegakkan. Jika pemimpin bisa menyeimbangkan langit syariat dan bumi realitas, maka itulah negara yang sejati: bukan sekadar nama, tetapi juga makna.

Cabeyan, 2025.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan