Senin lalu, tepatnya 4 November 2023, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menggelar ngaji bareng dengan mengangkat tema “Meneladani Khazanah Tafsir Al-Qur’an di Indonesia”. Majlis ilmu yang sangat bermanfaat ini dilaksanakan di Auditorium Prof KH Abdul Kahar Muzakir dengan mengundang dua ahli tafsir negeri ini, yaitu KH Ahmad Baha’uddin Nursalim atau kerap disapa Gus Baha dan Prof Quraish Shihab.
Ini kali kedua saya menghadiri majlis Gus Baha di UII. Dan untuk yang kemarin, saya yang tengah menjalani studi tafsir Al-Qur’an, gairah untuk melihat langsung ulama yang saya kagumi ini bersanding dengan salah satu mufasir Indonesia, begitu menggebu-gebu. Bagi saya, meskipun dua ulama ini memiliki kecenderungan berbeda, namun keduanya memiliki prinsip keilmuan yang sama.
Pemikiran Kedua Tokoh
Perbedaan itu bisa dirasakan di ceramah-ceramah yang mereka sampaikan atau tulisan-tulisan yang menerangkan pemikiran mereka. Sederhananya, Gus Baha lebih ke klasik; sedang Prof Quraish lebih ke kontemporer. Namun meski demikian, pemikiran keduanya saling melengkapi satu sama lain.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Prof Quraish berpendapat bahwa studi-studi Ulumul Qur’an kontemporer, bahkan Barat seperti Hermeneutika, bisa diterima dengan syarat harus objektif memilah dan memilihnya; serta tidak meninggalkan karya-karya ulama klasik tentunya. Sedang Gus Baha, biarpun tidak pernah menyinggung dan cenderung mengritik studi-studi kontemporer, sebagaimana dosen-dosen tafsir yang sering disentil di beberapa ceramahnya, namun secara keilmuan sebenarnya menguasai dan memahami.
Bukti itu saya temukan di majlis ngaji bareng ini, tepat saat Prof Quraish menjelaskan kekeliruan Rasyid Ridha, salah seorang mufasir kontemporer, dalam menafsirkan QS An-Nisa’ ayat 15. Ketika hendak menyebut ayat yang dimaksud, beliau lupa dan terhenti sejenak. Spontan saja Gus Baha dengan lirih membantu Prof Quraish mengingatnya. Bersamaan dengan itu, Prof Quraish menimpali dengan pujian, “Ini (Gus Baha) orang alim besar tapi sembunyi diri,” dibarengi tepuk tangan para hadirin.
Syeikh Nawawi al-Bantani: Legenda Ulama Cum-Mufasir
Beberapa jam sebelum acara, saya mengira-ngira fokus tema apa yang bakal dibahas dan dikaji. Sejauh yang saya pelajari mengenai khazanah tafsir Nusantara, memang banyak tokoh lokal yang mempunyai karya tafsir Al-Qur’an, mulai dari yang berbahasa lokal hingga bahasa Indonesia. Seperti tafsir Abdurrauf as-Singkili hingga tafsir Prof Quraish Shihab sendiri.
Sebelumnya,di pintu masuk, semua peserta ngaji diberi selembar kertas yang memuat potongan-potongan tafsir. Saya tidak tahu tafsir siapa yang dicantumkan itu. Saat Gus Baha memulai penjelasannya, baru saya ngeh bahwa potongan tafsir itu adalah bagian dari karya tafsir yang ditulis Syaikh Nawawi al-Bantani, tafsir al-Munir.
Potongan tafsir pertama yang dijelaskan Gus Baha adalah QS Al-Maidah: 56 yang berarti: “Dan barang siapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, sesungguhnya para pengikut Allah itulah yang akan menjadi pemenang.”
Dalam penafsiran Syaikh Nawawi al-Bantani itu, yang sangat ditekankan Gus Baha adalah pada kata “Ghalibun” yang berarti kemenangan. Menurut Syaikh Nawawi, kemenangan yang dimaksud adalah “bil hujjah” yang dikonotasikan dengan apik oleh Gus Baha dengan “logika”. Beliau memberi contoh bahwa kemenangan logika yang dimaksud adalah logika tentang alam raya yang dimulai dengan satu Tuhan.
Tafsir dari Syaikh Nawawi tentu lebih masuk akal daripada logika nihilisme yang menyebut bahwa alam ini berawal dari ketiadaan. Bagaimana bisa yang ada diciptakan oleh ketiadaan (creatio ex nihilo)? Seperti sebuah pena, ia ada karena ada penciptanya, yaitu manusia. Lalu jika mengikuti doktrin itu, berarti pena mengada dengan sendirinya. Maka jelas, logika ini cacat dengan sendirinya.
Meski penjelasan Gus Baha cukup singkat, namun ini menjadi sebentuk gambaran buat para hadirin bagaimana cara meneladani khazanah tafsir Indonesia. Setelah itu, saat giliran Prof Quraish Shihab menyampaikan materi, beliau memulai dengan khazanah studi Ulumul Qur’an dan tafsir dunia lalu lanjut kembali lagi ke Nusantara.
Beliau mengatakan bahwa Syaikh Nawawi adalah ulama yang terkenal di dunia internasional. Ia menjadi satu-satunya ulama lokal yang mendapat gelar Sayyidu ulama Hijaz atau gurunya orang Arab. Pretasi semacam ini sangat penting untuk diapresiasi dan diteladani oleh generasi ke generasi. Pencapaian Syaikh Nawawi sebagai ulama cum-mufasir tidak menjadi sebuah legenda yang hanya ada di cerita-cerita, ia harus nyata hadir.
Tafsir Indonesia Butuh Pewaris
Salah satu yang berkesan bagi saya dan tentunya saya sangat berharap akan hal itu adalah ketika Prof Quraish menyebut Gus Baha sebagai pewaris Syaikh Nawawi, “Syekh Nawawi Al-Bantani ini orang sangat istimewa. Jangan pernah menduga bahwa yang superior dalam bidang agama itu orang Arab. Beliau gurunya orang Arab sampai dikenal Sayyidu Ulama’ al-hijaz. beliau diminta mengajar di Al-Azhar. Orang dari mana? Dari serang. Ini pewarisnya (Gus Baha)” disertai gempita tepuk tangan hadirin.
Terakhir, bagi Prof Quraish, Indonesia punya potensi-potensi itu. beliau pun menyebut banyaknya orang-orang luar yang terkagum-kagum dengan toleransi yang ada di negeri tercinta ini. Padahal Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler, tapi mampu untuk menjaga perdamaian dan kerukunan antar enam agama yang ada.
Terakhir, saya setuju dengan pandangan Prof Quraish bahwa pembaharuan (tajdid) tidak harus sesuatu yang benar-benar baru dan belum pernah ada. Pembaharuan bisa juga memperbarui yang sudah ada dengan cara merevitalisasi, mengembangkan, atau menambahkan pandangan-pandangan baru. Maka, untuk menggiatkan kembali semangat tafsir di Indonesia, saya rasa tidak harus menuntut adanya perintis, cukup pewaris. Selebihnya, biar waktu dan takdir yang menentukan.