Bagi kalangan taswasuf, salik, atau pelaku-pelaku suluk pasti mengenal istilah suwung yang memiliki arti kosong atau sesuatu yang tanpa pembatas ruang. Awal Ramadan tahun ini, tahun 2022 atau 1443 H, saya turut ngaji di Pesantren Global Mangliawan Pakis Malang dalam kajian Pesantren Ramadhan Islam Nusantara (PRAMISTARA).
Dalam salah satu kajiannya adalah tetang “suwung” yang memiliki makna dengan pendekatan imanensi dan transendensi. Di mana pendekatan utamanya adalah tentang kausalitas, tentang kausaprima. Pendek kata suwung adalah pembahasan tentang sikap untuk menampatkan diri atas segala realitas yang terjadi.
Pemateri dalam kajian ini adalah Kiai Abdullah Wong. Beliau menjelaskan tentang “suwung” sebagai proses awal dan akhir, dengan memberikan contoh bahwa peradaban musik Jawa memiliki alat namanya gong, bahwa kalau mau pergi dari utara ke selata secara penyebutan Jawa adalah ngidul, sedangkan arah-arah yang lain adalah ngalor, ngetan, dan ngulon. Di samping itu ada istilah ngaji yang mana lahir dari kata “aji” dengan tambahan “ng” dan banyak lagi contoh lainnya,
Artinya, segala proses awal dan akhir adalah proses suwung itu sendiri. Beliau juga memberikan gambaran contoh tentang “pelebaran” atau pembebasan, tanpa apa-apa yang melekat seperti pakaian, yang saat mau bekerja pasti pakaian tadi dikenakan, seribet apapun cara pakaian itu. Namun akan dilepaskan atau “dilebarkan” atau ditanggalkan dari tubuh kita. Artinya, setiap individu ketika mau beristirahat atau “meneng” pasti tidak ingin mengenakan apa pun, bahkan ingin telanjang bulat, menyendiri. Begitulah suwung.
Lebih dalam lagi bahwa pemahaman akan suwung itu berkaitan dengan ma khalaqta hadzaa baatila, bahwa tidak ada sesuatu yang diciptaan di muka bumi ini sia-sia. Artinya bahwa setiap sesuatu yang terjadi atau realitas yang dihadapi pasti tidak ada kesia-siaan sama sekali.
Ketika seseorang menghadapi sikap yang berbeda dengan di masa lalu, semisal kalau dulu anak-anak tanpa adanya gadget mereka lebih memperhatikan dan peka, sedangkan sekarang di generasi Z justru berbeda, ini tidak harus dipandang sebagai perubahan nilai dan menyalahkan perkembangan. Padahal itu adalah proses dan cara pandang yang berbeda dan lebih sesuai dengan kondisi saat ini.
Pendek kata, suwung adalah proses untuk saling memiliki sikap khusnudzan atau berprasangka baik terhadap realitas yang sedang terjadi. Karena, untuk menumbuhkan prasangka baik perlu adanya proses penempaan diri yang kuat. Hal ini juga berkaitan dengan ajaran agama, di mana prasangka baik adalah upaya untuk menjaga stabilitas respon dalam diri.
Dalam pendekatan lain, suwung berarti adalah kondisi nfinity atau ketakterhinggaan. Seperti contoh; “Jika kemarin dicintai, dan sekarang disakiti, maka biasa-biasa saja. Mengapa? Karena kita tidak bisa mengikat apapun di luar diri kita.”
Akan tetapi suwung juga tidak sesederhana itu. Persoalan utamanya adalah penentuan sikap. Sikap atas realitas atau kondisi yang sedang dihadapi. Seperti halnya makna jahiliyah di masa Nabi Muhammad Saw bukan berarti kebodohan, karena pada waktu itu masyarakat Arab sudah mengenal budaya baca tulis, sastra yang luhur. Akan tetapi sikap kanjeng Nabi adalah kontemplatif di Gua Hira untuk merenungi kondisi yang terjadi, tidak lantas menghukumi. Karena jahiliyah yang di maksud waktu itu adalah ketertutupan hati dan pikiran atas sebuah kebenaran, yaitu kanjeng nabi sebagai Rasulullah.
Dengan kata lain, kanjeng Nabi Saw dengan sikap kontemplatifnya adalah proses suwung. Jika cara pandang dulu melihat suwung adalah keluasan, sedangkan hari ini berubah menjadi sangat sempit, rupek, sawah-sawah berganti menjadi bangunan-bangunan menjulang, begitu juga muncul tren-tren gen-z dengan ditunjang perkembangan teknologi. Hal ini menjadikan cara pandang dulu yang melihat kondisi realitas sangat luas, menjadi sesak dada, bingung, dan lain sebagainya.
Padahal, jika kita kembalikan kepada suwung dalam makna khusnudzan atau sikap yang biasa-biasa saja, maka akan muncul cara pandang akan realitas yang serba ramai dan penuh sesak ini dengan posisi yang bijaksana dan dapat menentukan sikap.
Memahami suwung seperti halnya konsep “kosong adalah isi, atau isi adalah kosong” maka larinya adalah kepada perenungan transendensi, atau ketauhidan. Dan lagi-lagi suwung adalah pembahasan tentang cinta. Kalau hari ini kejadiannya begini, maka kita tidak tahu apa yang terjadi besok, dan tidak bingung dengan memikirkan tentang itu, menjaga sikap wajar-wajar saja. Oleh sebab itu, suwung adalah proses perenungan ke dalam diri, bukan ke luar. Seperti halnya, man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu, siapa yang mengenali dirinya sendiri, maka ia akan mengenal Tuhannya.