Langit malam sedang menampilkan keelokan tarian bintang-gemintang.
Tetapi, pemandangan itu tampak menjengkelkan di kedua belah mataku. Taburan bintang di langit itu seolah sedang tertawa meremehkanku. Sepertinya segala sesuatu yang ada di sekelilingku memang sedang bersepakat untuk menertawakanku.
Adik, kakak, paman, bibi, bahkan bongkahan singkong di perbukitan tepi laut ini pun meremehkanku, menertawakan ijazah S1-ku yang tak laku-laku. Mereka tak bosan-bosannya meremehkan betapa percumanya bertahun-tahun waktu yang kuhabiskan di perantauan untuk mengejar gelar sarjana, hanya membuang waktu dan uang saku.
Aku sedang berbaring di atas sebuah tikar lusuh tidak jauh dari perapian yang dibuat saudara-saudaraku untuk menghalau dingin serta untuk membakar singkong. Kami sekeluarga sedang tirah ke tepi hutan untuk nggaplek.
Ayah, ibu, dan keempat saudaraku sedang berkemah di sini, sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kesibukan dunia – untuk melakukan sebuah kesibukan dunia yang lain. Di keluarga kami hanya ada ibu sebagai satu-satunya perempuan, keempat saudaraku semuanya lelaki. Dan di antara semua saudaraku, hanya akulah yang sekolah sampai sarjana, yang lain hanya SMP, bahkan kakak pertamaku tak lulus SD.
Lima tahun yang lalu aku telah berhasil meyakinkan para lelaki di keluargaku itu untuk mendukungku kuliah. Dengan kuliah harkat dan martabat keluargaku akan terangkat. Kuyakinkan pula kedua orang tuaku, bahwa dengan kuliah akan kuhapus stempel melarat yang menempel di setiap bahu orang-orang di keluargaku. Sepetak tanah warisan kakek pun terjual untuk mewujudkan mimpi itu. Waktu pun terus berlalu, kini aku telah meraih gerlar S-1.
Sembari kuliah aku sempat jualan tahu krispi, jaga warnet, jadi kuli bangunan, dan terakhir menjadi kurir sebuah perusahaan jasa ekspedisi. Pekerjaan terakhir itu mengantarkanku sampai detik terakhir kuliah, bahkan tetap kutekuni ketika aku lulus kuliah. Beberapa bulan setelah lulus aku masih ngurir, sembari mencari kerjaan yang sesuai ijasahku. Sampai akhirnya pandemi datang menyerang, mengobrak-abrik tatanan kehidupan. Aku pun digusur dari pekerjaanku – demi mempertahankan nyawa perusahaan.
Tak betah menganggur dengan kantung yang terus-menerus diisap uang kos dan uang makan, akhirnya aku pulang kampung. Satu-satunya pandawa yang dapat dibanggakan di keluargaku ini telah terkapar, tak mampu bertahan digerus arus; pulang kampung sebagai orang yang kalah setelah bertahun-tahun lamanya bertahan diri dalam brata yudha di palagan kehidupan kota yang penuh kekacauan.
“Bagaimana, tanganmu masih sakit?” pertanyaan bapak yang begitu tiba-tiba itu seketika mengagetkanku, membangunkanku dari lamunan.
Selama dua hari aku berada di ladang pinggir hutan ini. Tugasku adalah mencabut singkong dari dalam tanah. Tak sanggup melakukannya sendirian, aku bekerja sama dengan saudara-saudaraku, juga ayah. Sedangkan mak mengumpulkan serta mengupas kulit singkong. Karena pekerjaan yang tak biasa bagiku itulah tanganku melepuh dan mengelupas. Malam ditingkahi hawa dingin perbukitan begini rasa perih terasa semakin mendera jemari serta tapak tanganku.
“Sedikit, Pak,” jawabku pelan. Aku bangun untuk memberi tempat duduk pada bapak.
“Besok kamu nguliti singkong saja sama makmu,” tegasnya.
Aku diam tak menyahut. Walaupun pekerjaan ini terasa begitu berat, menguras tenaga dan tak diimbangi dengan hasil sepadan, tak serta-merta aku mengabaikannya. Nasi tiwul yang merupakan olahan gaplek singkong ini adalah makanan penyadur kehidupan selama bertahun-tahun di keluarga kami. Hasil panenan padi yang kami peroleh biasanya tak pernah bertahan sampai setahun penuh –perlu makanan lain untuk menyambungnya, dan gaplek adalah jawaban atas kekurangan pemenuhan makanan pokok itu. Maka dari itu, sepayah apa pun pekerjaan nggaplek ini tetap aku –kami jalani.
“Git,” panggil bapak, menyadari aku tak menyahut saran(atau perintah)nya.
Aku berpikir beberapa jenak untuk mencari jawaban.
“Sudah membantu saja masih ditertawakan, Pak. Apalagi kalau aku hanya mengerjakan pekerjaan perempuan seperti itu,” kuucapkan kalimat itu dengan sepenuh perasaan.
“Jadi lelaki jangan terlalu perasa,” lelaki itu berpetuah.
“Aku sudah berusaha keras untuk mendapat pekerjaan. Andaikan pandemi ini tak ada, aku pasti sudah naik jabatan di perusahaan,” timpalku.
Berbeda dengan para lelaki di keluargaku, bapak adalah sosok orang tua yang tenang dengan perbendaharaan kalimat yang menyejukkan. Mendengar ucapanku itu, dia tertawa kecil. Entah apa maksudnya. Di keremangan malam berpenerangan cahaya rembulan serta berkasa cahaya perapian itu, kulihat asap mengepul keluar dari mulutnya. Bau rokok tengwe menyeruak menuju hidungku.
“Tidak usah berandai-andai. Pandemi ini nyata-nyata sudah hadir di tengah kehidupan kita.” Bapak menghirup rokok lagi.
“Lik Santoso menertawakanku yang kerja jadi kurir, sama seperti adik iparnya. Bedanya, adik iparnya hanya lulusan SD,” kataku lagi. Mengeluhkan semua resah di hadapan bapak yang selalu bijak meladeni keresahan anak-anaknya.
“Mas Sigit!” panggil Coro, adikku. Nama aslinya adalah Bagus Kuncoro. Di rumah ia dipanggil Coro, entah apa teman-temannya memanggil ketika masih sekolah dulu. “Singkong bakarnya sudah mateng! Cepetan ke sini sebelum dihabiskan Mas Nur!” teriak Coro lagi.
Aku masih berbaring tak bergeming mendengar panggilan itu. “Katakan saja pada Santoso. Kini kamu sudah berbeda,” bapak memberi saran setelah Coro berhenti berteriak.
“Apanya yang berbeda, Pak? Aku naganggur sekarang. Lebih parah,” tukasku cepat.
“Yang penting kan berbeda. Bukankah yang membuatmu sakit hati adalah karena disamakan dengan adiknya yang cuma lulusan SD?”
“Menghancurkan harkat dan martabat, Pak. Malu-maluin.” Aku menggerutu. Aku beranjak meninggalkan bapak yang kini tengah berbaring di bawah guyuran temaram rembulan serta kerlip bintang-gemintang.
“Temanmu kuliah dulu banyak yang cantik, Git?” tanya Mas Gunawan yang tengah mengunyah singkong gosong. Di balik cahaya api kulihat giginya kehitam-hitaman.
“Banyak Mas. Kenapa?” sahutku cepat. Tanganku telah berjibaku dengan ranting kecil untuk menggali singkong bakar di tengah bara api.
“Barangkali ada yang cocok buat aku,” timpal kakakku yang berusia dua puluh lima tahun itu. Di antara saudara-saudaraku semuanya berselisih dua sampai tiga tahun. Aku berada di urutan ke tiga di antara lima orang saudara. Kakak pertamaku berusia sekitar dua puluh delapan tahun, juga belum menikah.
“Ijazahmu apa Gun? Berani-beraninya mencari istri anak kuliahan,” sindir Mas Mustari, kakak pertama yang sebentar lagi akan menikah. “Sigit yang juga anak kuliahan saja selalu ditolak perempuan-perempuan berpendidikan tinggi itu! Apalagi kamu?”
“Itu karena Sigit tak punya pekerjaan. Coba kalau punya. Cewek itu kalau mencari pasangan yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan. Bukan tampang!” timpal Mas Gunawan.
“Nggak juga. Lastri calon istriku itu pertama kali yang dilihatnya dariku adalah kumisku. Masih kuingat kata-katanya ketika pertama kali bertemu di hajatan Mbah Kliman itu. Kumismu, Mas. Rimbun. Bikin hati adem. Ucapnya kala itu.” Mas Tari mengenangkan pertemuan pertamanya.
Setelah mendapatkan dua potong singkong bakar aku beringsut ke samping bapak. Suasana malam kian dingin. Apalagi ketika menjauhi perapian. Kututupi tubuhku dengan kain sarung. Sepotong singkong bakar itu kuberikan pada bapak. Suara kunyahan lembut di mulutnya segera melintas di gendang telingaku.
“Boleh aku ke Bali setelah nggaplek ini usai, Pak?” pintaku.
“Untuk apa?”
“Cari uang. Tak kuat telingaku mendengar gunjingan.”
“Pandemi masih menggila, Git,” sahut bapak.
“Tapi, tak punya uang dan diejek orang-orang juga akan membuatku gila, Pak.”
“Apa kamu kuliah untuk mencari pujian? Menghindari gunjingan?”
Desis angin yang bertiup dari lereng-lereng perbukitan seperti mengulang-ulang pertanyaan bapak itu. Aku kesulitan mencari jawaban pertanyaannya.
“Bukan perkara pujian, Pak. Ini tentang sebuah mimpi. Sebuah asa untuk melihat gemerlapnya masa depan. Sebuah keinginan untuk mengangkat derajat serta martabat keluarga.”
“Apa mimpimu, Git? Katamu saat itu, kuliah adalah mimpimu. Sekarang sudah kamu raih bukan, mimpi itu? Atau kamu sudah bangun dari tidur dan kemudian sadar bahwa mimpimu itu ternyata hanya semu dan palsu?”
“Mimpiku untuk menjadi seorang arsitek masih menyala, Pak. Tak akan dan tak boleh pudar,” tukasku percaya diri.
“Kalau ternyata Tuhan berkehendak mimpimu itu tak akan pernah jadi nyata?” Pertanyaan bapak itu begitu menyakitkanku.
“Itu adalah pertanyaan dari seseorang yang tengah putus asa, Pak. Dan tak ada kata itu dalam diriku,” jawabku mantab.
“Itu yang aku kurang setuju dengan didikan kampus. Mahasiswa disuruh untuk bermimpi. Bercita-cita. Dan tak dibekali dengan kesiapan sikap untuk menerima nasib.”
“Mahasiswa disiapkan untuk menjadi generasi yang tangguh. Tak mudah patah walau datang pukulan keras dari sana-sini. Aku pernah jadi mahasiswa, Pak. Jiwaku tertempa seperti itu. Bapak yang hanya melihat ilmu dari ruang surau sempit, tak pernah melihat dunia dengan cakrawala yang luas,” kata-kataku mulai berbalut emosi.
“Buktinya sekarang kamu patah, Git. Merasakan tekanan dari sana-sini jiwamu sama sekali tak mau melentur sedikit pun. Jiwamu kaku. Saat tak sanggup menahan beban begini kamu patah. Bapak yang ditempa pendidikan di balik dinding-dinding bambu surau ini sebenarnya juga dibekali mimpi. Tapi, adakalanya kita perlu untuk melunak, melentur. Mengikuti gerak takdir. Setelah semua jerih payah untuk menggapai sebuah mimpi telah buntu, tak ada salahnya kau lupakan dulu mimpi itu. Bahagia tak hanya milik mereka yang dapat meraih mimpi, tapi juga milik mereka yang dapat melupakan mimpi itu.”
Sulit lidahku berkelit menandingi untaian kata bapak yang seorang guru ngaji surau tepi sawah bagi segelintir bocah kampung itu.
“Jadi, aku harus nggaplek terus?” tanyaku, merasa semakin bodoh di hadapan bapak.
“Kamu tahu Git? Seseorang yang terlempar dari perahu di tengah lautan seperti apa rasanya?” tanya bapak tiba-tiba.
Kubiarkan pertanyaan itu berkalang suara desisan angin malam.
“Kalau panik dia akan tenggelam. Tapi kalau dia tenang, tersenyum melihat kepungan takdir Tuhan, dia akan mengapung –selamat!”
“Maksud Bapak?” tanyaku.
“Menerima keadaan. Menulikan telinga dari segala gunjingan. Membisukan lidah dari segala bentuk sumpah serapah. Memejamkan mata dari gemerlapnya dunia. Kamu akan jadi pemenang tanpa harus melakukan perlawanan!”
“Nggapleki!!! Lastri Nggapleki!!! Jarene ngejak rabi, jebule mblenjani janji! Jarene nunda rabi mergo pandemi! Jebule mergo dirabi polisi!! Gapleeek!!! Nggaplekiii!!! Tak tinggal nggaplek, malah aku digaplekiii! ”
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara teriakan Mas Mustari di ujung pohon mahoni yang sedang mencari sinyal untuk menghubungi calon istri. Mas Tari kemudian berdegum jatuh di tengah jemuran gaplek.
Gaplek, di tengah pusaran budaya “nggaplek i”, same status, my bro…