Kata “kekerasan” dan “perempuan” yang disematkan pada judul tulisan ini, merupakan kata yang saling bertentangan. Perempuan adalah makhluk yang penuh kasih sayang. Kontras dengan sifat kekerasan.
Perempuan dibekali rahim oleh Sang Pencipta. Rahim dalam pengertian substansial adalah kasih sayang. Sehingga menjadi ironis, apabila sang penyandang predikat kasih sayang itu, justru mengalami perlakuan sebaliknya, seperti kekerasan.
![](https://i0.wp.com/www.duniasantri.co/wp-content/uploads/2022/09/Duniasantri-Telegram-Acquistion.jpeg?fit=1280%2C720&ssl=1)
Di Indonesia, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi momok yang sangat menakutkan. Kasusnya semakin banyak dan terus berulang. Kekerasan itu bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, sampai kekerasan seksual.
Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, per tanggal 1 Januari sampai 9 Februari 2025. Telah tercatat 2.247 kasus kekerasan. Dengan korban terbanyak adalah perempuan, yaitu 1.949 korban. Kemudian sisanya adalah laki-laki, dengan jumlah 468 korban (SIMFONI-PPA, 2025).
Fakta ini cukup memilukan. Bagaimana tidak, perempuan adalah pemegang kunci keberlangsungan generasi di masa depan. Lebih dari itu, perempuan adalah tiang bagi sebuah negara. Kehancuran bagi perempuan, sesungguhnya kehancuran bagi kita semua.
Perempuan dalam Budaya Patriarki
Dalam kacamata patriarki, perempuan seringkali hanya dianggap sebagai pelengkap laki-laki. Perempuan adalah pelayan yang bertugas memenuhi segala kebutuhan (biologis) laki-laki.
Hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat positivistik. Laki-laki bertindak sebagai subjek, sedangkan perempuan menjadi objek. Dalam struktur sosial, laki-laki menempati tempat-tempat yang strategis, sedangkan perempuan hanya mengurusi wilayah domestik.
Ironisnya, cara pandang seperti ini bukan hanya diteruskan oleh kaum laki-laki. Tetapi, juga diaminkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Artinya, perempuan mengalami kekerasan sudah sejak dalam pikiran. Sehingga, peluang terjadinya kekerasan yang lebih lanjut sangat terbuka.
Selain itu, cara pandang seperti ini juga seringkali diperparah oleh cara beragama yang sempit. Yang melihat agama hanya sebatas teks, tanpa mengetahui atau bahkan tidak mau tahu makna secara konteks. Sebab, agama hanya dijadikan sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan budaya patriarki mereka.