NU dan Kekerasan terhadap Perempuan

21 views

Kata “kekerasan” dan “perempuan” yang disematkan pada judul tulisan ini, merupakan kata yang saling bertentangan. Perempuan adalah makhluk yang penuh kasih sayang. Kontras dengan sifat kekerasan.

Perempuan dibekali rahim oleh Sang Pencipta. Rahim dalam pengertian substansial adalah kasih sayang. Sehingga menjadi ironis, apabila sang penyandang predikat kasih sayang itu, justru mengalami perlakuan sebaliknya, seperti kekerasan. 

Advertisements

Di Indonesia, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi momok yang sangat menakutkan. Kasusnya semakin banyak dan terus berulang. Kekerasan itu bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, sampai kekerasan seksual.

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, per tanggal 1 Januari sampai 9 Februari 2025. Telah tercatat 2.247 kasus kekerasan. Dengan korban terbanyak adalah perempuan, yaitu 1.949 korban. Kemudian sisanya adalah laki-laki, dengan jumlah 468 korban (SIMFONI-PPA, 2025). 

Fakta ini cukup memilukan. Bagaimana tidak, perempuan adalah pemegang kunci keberlangsungan generasi di masa depan. Lebih dari itu, perempuan adalah tiang bagi sebuah negara. Kehancuran bagi perempuan, sesungguhnya kehancuran bagi kita semua.

Perempuan dalam Budaya Patriarki 

Dalam kacamata patriarki, perempuan seringkali hanya dianggap sebagai pelengkap laki-laki. Perempuan adalah pelayan yang bertugas memenuhi segala kebutuhan (biologis) laki-laki.

Hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat positivistik. Laki-laki bertindak sebagai subjek, sedangkan perempuan menjadi objek. Dalam struktur sosial, laki-laki menempati tempat-tempat yang strategis, sedangkan perempuan hanya mengurusi wilayah domestik.

Ironisnya, cara pandang seperti ini bukan hanya diteruskan oleh kaum laki-laki. Tetapi, juga diaminkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Artinya, perempuan mengalami kekerasan sudah sejak dalam pikiran. Sehingga, peluang terjadinya kekerasan yang lebih lanjut sangat terbuka.

Selain itu, cara pandang seperti ini juga seringkali diperparah oleh cara beragama yang sempit. Yang melihat agama hanya sebatas teks, tanpa mengetahui atau bahkan tidak mau tahu makna secara konteks. Sebab, agama hanya dijadikan sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan budaya patriarki mereka.

Di sisi lain, sistem hukum yang ada (di Indonesia), nampaknya belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan. Meskipun, secara teori sudah ada payung hukum untuk melindungi perempuan. Seperti: Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Tetapi, dalam tataran implementasi masih menghadapi banyak kendala. Misalnya, proses hukum yang (sengaja dibuat) panjang, adanya tekanan sosial, dan minimnya dukungan bagi korban kekerasan.

NU dan Posisi Perempuan 

Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, selalu mengendapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap gerakannya. Ulama-ulama NU dalam mendidik jemaahnya (warga Nahdliyyin), senantiasa mengajarkan bahwa beragama bukan hanya hubungan vertikal dengan Tuhan semata, tetapi juga hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan. 

Dalam konteks perempuan, NU menggariskan bahwa kaum perempuan derajatnya setara dengan laki-laki. Wujud kesetaraan itu dapat dilihat dari keseriusan NU dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap perempuan, seperti kegiatan-kegiatan yang dilakukan Fatayat NU dan Muslimat NU.

Meminjam teori dari Urie Bronfenbrenner tentang sistem ekologi, bahwa perubahan yang terjadi pada individu, tidak hanya disebabkan oleh faktor biologis dan psikologis. Tapi, juga dipengaruhi oleh sistem sosial yang lebih luas (El Zatari, 2022).

Dalam konteks kekerasan yang dialami oleh perempuan, sesungguhnya tidak bisa dianggap hanya dari faktor biologis atau psikologis oleh kaum perempuan semata. Tetapi, juga dilihat dari faktor lingkungan sosial yang membentuk dan memungkinkan terjadinya kekerasan.

Mengatasi Kekerasan terhadap Perempuan

Dalam teori sistem ekologi Bronfenbrenner, ada lima lapisan ekologi yang harus diperhatikan untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan: 

Pertama, kesadaran individu (mikrosistem). Mengatasi kekerasan terhadap perempuan bisa dimulai dari individu. Caranya adalah dengan menanamkan kesadaran kepada mereka. Kesadaran yang dimaksud antara lain kesadaran tentang hak-hak perempuan, kesadaran kesetaraan gender, dan kesadaran tentang pemahaman Islam yang moderat (Aswaja).

Untuk membangun kesadaran  individu hingga ke tingkat kesadaran kolektif, harus dilakukan gerakan secara sistematis dan konsisten. Misalnya, dengan melakukan kaderisasi secara masif dan mengkampanyekan tentang kesetaraan secara terus-menerus di berbagai media. Agenda ini bisa dilakukan oleh anak-anak muda NU baik di level Pelajar NU sampai pada level Generasi Pemuda NU.  

Kedua, peran keluarga (mesosistem). Karakter individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang membentuknya. Lingkungan yang memiliki peran sangat besar dalam pembentukan karakter individu adalah keluarga. Sebab, keluarga adalah madrasah pertama bagi setiap individu. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembinaan dan pemberdayaan perempuan dalam keluarga.

Perempuan NU, Muslimat NU, dan Fatayat NU bisa mengambil peran untuk melakukan pembinaan dan pemberdayaan perempuan pada level keluarga. Sehingga, keluarga bisa menjadi support system terbaik bagi individu. Keluarga yang ideal untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan adalah keluarga yang harmonis. Di dalamnya terjalin komunikasi yang sehat, terbangun pemahaman nilai-nilai keadilan gender, dan terhindarnya pola asuh yang bersifat kekerasan.

Ketiga, pengaruh lingkungan sosial (makrosistem). Di lingkungan sosial yang budaya patriarki masih mengakar kuat, sangat rentan terjadi kekerasan terhadap perempuan. Apalagi, budaya patriarki seringkali mendapat dukungan dari paham keagamaan tertentu.  

Oleh karena itu, kader-kader NU perlu mengkampanyekan tentang pemahaman Islam Aswaja yang bersifat moderat, yang mengajarkan nilai keTuhanan dan nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan itu, di antaranya dengan menganggap laki-laki dan perempuan sesungguhnya setara di hadapan Allah. 

Keempat, kebijakan secara nyata (ekosistem). Secara teori, sebetulnya kebijakan yang dibuat untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan sudah cukup baik. Misalnya dengan adanya UU PKDRT dan UU TPKS. Sayangnya, dalam tataran implementasi masih belum terwujud secara nyata. Oleh karena itu, dibutuhkan aparat penegak hukum yang lebih responsif terhadap kasus kekerasan, dan sistem peradilan yang lebih ramah terhadap korban. 

Selain itu, juga dibutuhkan mekanisme pendampingan yang kuat. Sehingga korban mendapatkan keadilan yang seharusnya. Kehadiran kader-kader NU dibutuhkan untuk memberikan pendampingan dan mengadvokasi para perempuan yang menjadi korban kekerasan.

Kelima, zaman ke arah perbaikan  (kronosistem). Perubahan terus terjadi, sesuai zamannya. Sala satu yang mengalami perubahan secara besar-besaran adalah keterbukaan informasi. Digitalisasi membuka peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk baru, yang disebut dengan kekerasan digital, seperti pelecehan secara daring. Untuk menyikapi ini, selain dengan kebijakan yang tepat, kaum perempuan juga harus dibekali modal yang kuat, seperti bekal literasi digital. Dengan bekal yang kuat, kaum perempuan diharapkan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang terus terjadi.

Penutup

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi momok yang menakutkan di Indonesia. Kita sebagai warga NU, perlu mengambil peran untuk mengatasi persoalan ini. Sala satu yang bisa kita lakukan adalah dengan terus mengkampanyekan paham Islam Aswaja yang mengajarkan nilai-nilai keTuhanan dan kemanusiaan secara seimbang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan