Tiba-tiba perhatian saya agak terganggu ketika sedang mengikuti liputan langsung unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia pada Kamis (22/8/2024) lalu. Gangguan itu datang dari notifikasi berita yang “agak laen”. Frasa ini dipinjam dari judul lagu dan film yang juga dinyanyikan komedian di tengah panasnya unjuk rasa.
Nada notifikasi dari berbagai saluran berita itu sama belaka: di saat ribuan rakyat di berbagai kota berunjuk rasa di bawah terik matahari, para pembesar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melangkah memasuki istana yang adem untuk membicarakan masalah konsesi tambang. Amboy!
Membacai berita-berita yang “agak laen” tersebut, refleks, saya mengelus dada. Semaha penting itukah perkara tambang, sehingga tak bisa ditunda atau dibicarakan di lain waktu?
Selesai? Belum. Begitu keluar dari istana, di saat demo di berbagai kota mulai mendidih, kepada media, para pembesar NU tersebut menjelaskan rencana NU untuk mengelola konsesi tambang seluas 26 ribu hektare dan investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). Amboy!
Membacai penjelasan yang dikutip berbagai media tersebut, saya terus mengelus dada. NU, kini, sebenarnya entitas apa? Organisasi kemasyarakatan (ormas) atau perusahaan, korporasi?
Saya jadi seperti melihat NU yang “agak laen”. Tapi semoga itu sekadar framing yang muncul ke permukaan, bukan konfirmasi atas fenomena akhir-akhir ini yang bisa memunculkan kekhawatiran akan merosotnya kadar NU sebagai kekuatan civil society.
Sedari mula, sebagai jam’iyah, NU muncul sebagai bagian dari civil society. Momentum kelahirannya pada 1926 yang diawali dengan dibentuknya Komite Hijaz membuktikan hal tersebut. Bahkan, melalui Komite Hijaz tersebut, NU telah memposisikan diri bukan hanya sebagai bagian dari civil society, tapi juga Non-State Actor (Aktor Bukan-Negara) dalam percaturan global-mondial. Seturut perkembangan sejarahnya, posisi itu yang terus diteguhi NU.
Memang, seturut perkembangan sejarahnya, ada tiga domain yang ditempati NU ketika, vis a vis, berhadapan atau berelasi dengan kekuasaan. Ada kalanya NU menolak entitas kekuasaan, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan kolonial. Dan kita mafhum alasannya. Kedua, NU menerima entitas kekuasaan dan bersikap aktif. Ini ditunjukkan pada masa pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Ketiga, NU menerima entitas kekuasaan namun bersikap pasif. Hal ini terjadi semasa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.