NU yang “Agak Laen”

251 kali dibaca

Tiba-tiba perhatian saya agak terganggu ketika sedang mengikuti liputan langsung unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia pada Kamis (22/8/2024) lalu. Gangguan itu datang dari notifikasi berita yang “agak laen”. Frasa ini dipinjam dari judul lagu dan film yang juga dinyanyikan komedian di tengah panasnya unjuk rasa.

Nada notifikasi dari berbagai saluran berita itu sama belaka: di saat ribuan rakyat di berbagai kota berunjuk rasa di bawah terik matahari, para pembesar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melangkah memasuki istana yang adem untuk membicarakan masalah konsesi tambang. Amboy!

Advertisements

Membacai berita-berita yang “agak laen” tersebut, refleks, saya mengelus dada. Semaha penting itukah perkara tambang, sehingga tak bisa ditunda atau dibicarakan di lain waktu?

Selesai? Belum. Begitu keluar dari istana, di saat demo di berbagai kota mulai mendidih, kepada media, para pembesar NU tersebut menjelaskan rencana NU untuk mengelola konsesi tambang seluas 26 ribu hektare dan investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). Amboy!

Membacai penjelasan yang dikutip berbagai media tersebut, saya terus mengelus dada. NU, kini, sebenarnya entitas apa? Organisasi kemasyarakatan (ormas) atau perusahaan, korporasi?

Saya jadi seperti melihat NU yang “agak laen”. Tapi semoga itu sekadar framing yang muncul ke permukaan, bukan konfirmasi atas fenomena akhir-akhir ini yang bisa memunculkan kekhawatiran akan merosotnya kadar NU sebagai kekuatan civil society.

Sedari mula, sebagai jam’iyah, NU muncul sebagai bagian dari civil society. Momentum kelahirannya pada 1926 yang diawali dengan dibentuknya Komite Hijaz membuktikan hal tersebut. Bahkan, melalui Komite Hijaz tersebut, NU telah memposisikan diri bukan hanya sebagai bagian dari civil society, tapi juga Non-State Actor (Aktor Bukan-Negara) dalam percaturan global-mondial. Seturut perkembangan sejarahnya, posisi itu yang terus diteguhi NU.

Memang, seturut perkembangan sejarahnya, ada tiga domain yang ditempati NU ketika, vis a vis, berhadapan atau berelasi dengan kekuasaan. Ada kalanya NU menolak entitas kekuasaan, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan kolonial. Dan kita mafhum alasannya. Kedua, NU menerima entitas kekuasaan dan bersikap aktif. Ini ditunjukkan pada masa pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Ketiga, NU menerima entitas kekuasaan namun bersikap pasif. Hal ini terjadi semasa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Pada masa Orde Baru itulah, meskipun di bawah rezim otoriter, NU tetap menerima kekuasaan Soeharto namun bersikap pasif alias menjaga jarak sedemikian rupa sehingga tidak menjadi bagian darinya. Par excellence, NU benar-benar berdiri kokoh sebagai kekuatan terpenting dari civil society. Bahkan, di masa-masa itu, kita masih bisa mendengar banyak pesantren atau lembaga-lembaga di bawah NU yang menolak bantuan dari pemerintah. Di masa itu NU menjadi save house for all, rumah aman untuk dan bagi semua kalangan, terutama dari kelompok minoritas dan kaum tertindas.

Tapi konstelasinya segera berubah di masa reformasi. Memang benar, NU akhirnya mendirikan partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang dimaksudkan untuk mewadahi aspirasi dan gerak politik warga Nahdliyyin. Dan, agar entitas NU sebagai jam’iyah juga tetap steril dari anasir-anasir politik praktis.

Namun, belakangan NU justru mulai terlihat kesulitan menjaga jarak dengan kekuasaan. Malahan, dalam batas-batas tertentu, NU menjadi bagian dari kekuasaan. Hal itu terjadi ketika tokoh-tokoh dan kader-kader NU ikut duduk dalam kursi kekuasaan baik melalui jalur PKB maupun pengaruh institusional. Di tingkat pusat, misalnya, dimulai ketika KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden dan kemudian KH Ma’ruf Amin menjadi wakil presiden. Atau, ketika banyak tokoh dan kader NU menjadi menteri. Juga, ketika di tingkat daerah banyak tokoh dan kader NU yang menjadi gubernur atau bupati/wali kota.

Begitu masifnya kecenderungan dan fenomena banyaknya tokoh dan kader NU yang menduduki kursi kekuasaan, sampai muncul pikiran bahwa salah satu keberhasilan NU diukur dari kemampuannya menguasai kekuasaan. Jika benar demikian, lalu apa bedanya NU sebagai jam’iyah, sebagai kekuatan civil society, dengan partai politik. Di situlah terjadi semacam cacat logika atau sesat pikir (logical fallacy). Keberhasilan NU, sebagai jam’iyah, tetap harus diukur dari seberapa mampu ia memberdayakan masyarakat, baik dari segi pendidikan, ekonomi, maupun sosial-politik-kemasyarakatan.

Akan berbahaya jika NU, sebagai kekuatan civil society, tidak bisa menjaga jarak dengan kekuasaan atau justru terlalu lama menjadi bagian dari kekuasaan. Dengan menjadi bagian atau tak bisa menjaga jarak dari kekuasaan, NU akan kehilangan elan vitalnya sebagai kekuatan civil society. NU juga akan kesulitan untuk tetap menjadi save house for all.

Sebab premisnya, seperti yang dirumuskan oleh Lord Acton, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut sudah pasti korup. Dan, saya menambahkan, ketika penguasa sudah korup, itu artinya sudah sangat dekat dengan zalim lalu lalim. Dan buktinya sudah banyak. Tidak sedikit tokoh atau kader NU yang menjadi penguasa kemudian tersangkut masalah korupsi. Ini baru gejala awal.

Itulah kenapa, sejak masa yang begitu dini, dibangun suatu tradisi berdasar hadis Nabi, betapa ulama harus menjaga jarak dengan penguasa. Bahkan, Imam Al-Ghazali menilai kebaikan seorang ulama dari bagaimana menjaga jarak dengan kekuasaan. Jika ulama sudah munduk-munduk memasuki istana, itu pertanda bahaya. Alih-alih menjadi penyambung lidah rakyat, bisa jadi malah menjadi kepanjangan tangan penguasa.

Bayangkanlah, akan ke mana orang-orang yang menjadi korban kezaliman atau kelaliman penguasa mengadu, jika NU atau para ulama telah menjadi bagian dari kekuasaan? Akan ke mana orang-orang yang menjadi korban penggusuran atau kerusakan ekosistem akibat pertambangan, misalnya, jika tempat mengadunya sudah menjadi pemainnya? Cukuplah para ulama menjadi pandu moral bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.

Saya berharap, kekhawatiran bahwa NU akan menjadi “agak laen” seperti terframing dalam pemberitaan yang mengawali tulisan ini, halusinasi belaka.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan