Baru-baru ini, Kang Ali secara terus terang mengatakan, jika sebenarnya dia mencintai Nyai Hanifah. Dia berani bilang kepadaku, setelah Kiai Makdum wafat karena kecelakaan, seminggu yang lalu.
Mendengar hal itu, aku terkejut. Menurutku, secara tata krama hal itu sangat bertentangan dengan etika seorang santri kepada kiai, meskipun dalam hukum agama sah-sah saja.
Setelah Kang Ali berkata demikian, aku mencoba untuk memastikan, apakah itu sungguhan atau candaan belaka.
“Lho, beneran Kang?” tanyaku, penasaran bercampur heran.
Dia mesem, mengarahkan pandangannya ke depan. Untuk sesaat, dia hanya terdiam. Kang Ali memang sudah akrab denganku. Apa pun persoalan yang dia hadapi, pasti dia akan menceritakannya kepadaku, termasuk soal asmara.
“Sebenarnya aku malu untuk bilang ke kamu, tapi apa boleh buat, daripada aku menyimpannya terus menerus, tanpa dibicarakan, membuat beban di pikiranku makin bertambah. Aku mau tanya kepadamu, apakah tidak boleh seorang santri suka dengan istri pengasuh yang berstatus janda? Obrolan ini cuman kamu yang tahu,” ucapnya, mengingatkan.
“Bagaimana ya Kang. Boleh-boleh saja sih, tapi apakah itu tidak menyalahi etika seorang santri kepada kiai?”
“Terus terang aku sudah suka dengan Nyai Hanifah sebelum dia menikah dengan Kiai Makdum. Bukankah cinta itu datang dari Allah? Jika seseorang sudah dikehendaki, maka cinta itu adalah suratan takdir. Bukankah begitu?” ucap Kang Ali. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Menurutku memang benar adanya, jika cinta itu berasal dari Tuhan.
Kang Ali hanya terpaut usia dua tahun lebih tua dari Nyai Hanifah. Seandainya Kang Ali dengan Nyai Hanifah menikah, memang masih serasi. Kang Ali terlihat gagah dan ganteng, sedangkan Nyai Hanifah terlihat masih muda dan cantik.
“Baiklah Kang, jika menurutmu itu terbaik, maka aku bisa boleh melarang. Tapi, Kang Ali harus menerima risiko yang datang,” ucapku, mencoba mengingatkan. Obrolan kami selesai saat ada beberapa santri datang ke kantor pondok.
Kang Ali merupakan santri senior yang sudah mengabdi bertahun-tahun di pondok pesantren. Menjadi orang kepercayaan Kiai Makdum.
Dia selalu diberi tanggung jawab yang besar untuk mengurus pondok pesantren dan menjadi tangan kanan Kiai Makdum. Bila kiai muda itu ada jadwal pengajian di luar kota, dia selalu menggantikannya untuk memimpin pengajian rutin bersama puluhan santri. Soal ilmu, Kang Ali sudah mumpuni. Kang Ali sudah belajar dari pondok ke pondok, menyantri sana-sini.
Kiai Makdum memiliki dua putra dan satu putri yang masih belia. Kiai Makdum terpaut usia tujuh tahun dengan Nyai Hanifah. Dan, memang wanita itu masih memancarkan kecantikan. Kulitnya putih langsat dipadu dengan wajah yang terlihat masih muda, manis beralis tebal, hidungnya mancung. Setiap orang pasti tahu, jika wanita itu memang cantik. Belum ada tanda-tanda penuaan. Wajahnya selalu bersinar. Mungkin karena setiap waktu dibasuh dengan air berwudu.
Kabar Kang Ali yang ada rasa terhadap Nyai Hanifah sudah tersebar di lingkungan pesantren. Kabar itu seperti jamur di musim hujan. Banyak gunjingan di kalangan santri.
Sering kali Kang Ali keluar masuk ndalem. Hal itu membuat beberapa santri lain mengasumsikan, jika Kang Ali sedang melakukan pendekatan dengan keluarga ndalem, terlepas dari tugasnya sebagai santri yang dituakan.
Anggapan tersebut juga dikuatkan dengan Kang Ali dekat dengan ketiga anak dari pengasuh. Bahkan putri yang paling bungsu selalu digendong Kang Ali, dan diajak ke mana-mana.
Berbagai gunjingan menyeruak di kalangan santri, terutama santri senior. Mereka menganggap bahwa Kang Ali licik, sebab, selain ingin mendapatkan Nyai Hanifah, dia juga ingin menggantikan posisi Kiai Makdum sebagai pengasuh pesantren.
Anggapan-anggapan itu semakin meruncing, karena mereka beranggapan bahwa Kang Ali-lah yang jadi penyebab Kiai Makdum meninggal gara-gara kecelakaan yang direkayasa.
Mendengar selentingan-selentingan seperti itu, Kang Ali menjadi naik pitam. Akibatnya, terjadilah pertengkaran. Akhirnya beberapa santri senior memilih boyong dari pesantren, membuat kondisi pesantren semakin kacau. Banyak kegiatan pesantren menjadi terbengkalai, gara-gara pengurusnya sebagian besar keluar. Bahkan pesantren terancam bubar.
Setelah ada gonjang-ganjing di dalam tubuh pesantren, Kang Ali menemui Nyai Hanifah di ndalem. Dia menceritakan bahwasanya, beberapa pengurus mengundurkan diri dan memilih boyong. Dan, dia mengatakan bahwa kondisi pesantren saat ini sedang tidak kondusif, butuh sosok yang bisa menjadi pengayom dalam memimpin pesantren. Alih-alih menyelesaikan masalah, dia malah memanfaatkan situasi itu. Secara garis besar, dia membujuk Nyai Hanifah untuk segera melepaskan status kesendiriannya. Tentu saja, dia berharap, dia yang terpilih sebagai lelaki yang akan menggantikan Kiai Makdum.
“Mengapa mereka tidak berpamitan dengan saya jika mau boyong? Saya masih ahli waris yang sah pemilik pesantren ini, meskipun sudah ditinggal oleh suami saya,” ucap Nyai Hanifah.
“Memangnya ada masalah apa, sehingga santri-santri yang sudah lama di pesantren pada keluar?” lanjut Nyai Hanifah.
Beberapa saat, Kang Ali terdiam. Dia sulit untuk mengucapkan sesuatu dan terkesan gugup. Dalam hati Kang Ali, jika dia jujur mengatakan bahwa ini berawal dari dirinya, maka akan menambah masalah baru buat dirinya. Bukannya mendapatkan hati Nyai Hanifah, Nyai Hanifah malah membencinya, seolah-olah Kang Ali yang menjadi biang kerok dari persoalan ini.
Nyai Hanifah menatap Kang Ali penuh curiga. Pandangannya merayap ke Kang Ali yang duduk di depannya. Kang Ali menunduk. Dia menarik napas panjang sesekali membalas tatapan Nyai Hanifah dengan tatapan merasa bersalah. Dia menyadari, bahwa ini semua karena ulahnya yang tidak bisa mengendalikan perasaan, dan bernafsu untuk menggantikan posisi Kiai Makdum. Tentunya dengan posisi sebagai kiai, dia lebih dihargai oleh masyarakat, khususnya para santri. Selain itu, dia berhak mendapat Nyai Hanifah yang terkenal memiliki paras yang elok.
Semua bayang-bayang kenikmatan itu dia lepaskan segera dan menyadari bahwa dia adalah seorang santri yang seharusnya tidak bertindak kurang ajar kepada kiainya. Dengan berat hati, dan berusaha berjiwa lapang, dia mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Jujur, saya menaruh hati dengan Bu Nyai. Sering kali, saya keluar masuk ndalem dan sering mengajak putra-putri panjenengan, dalam rangka untuk mendapat simpati, baik dari panjenengan sendiri, anak-anak panjenengan, maupun keluarga ndalem. Apa yang menjadi anggapan para santri itu memang benar, tapi saya tidak melakukan tindakan keji seperti yang dituduhkan oleh beberapa santri terhadap saya. Kematian Kiai Makdum bukanlah rekayasa saya. Saya tidak mungkin melakukan hal yang keji seperti itu, apalagi dengan seseorang yang saya takzimi. Maafkan atas kekeliruan ini,” ucap Kang Ali sambil menundukkan kepala dan dada yang berdebar. Tenggorokan Nyai Hanifah seperti tersedak. Dadanya terasa berat.
“Menurut hukum cinta, itu hal yang wajar, tetapi dalam hukum tata krama, mungkin itu tidak pantas. Tapi saya tetap memakluminya. Seorang janda seperti saya, memang rawan penyebab fitnah,” jawab Nyai Hanifah. Sekarang, untuk menatap wajah Nyai Hanifah, bahkan melirik sekilas saja, Kang Ali tidak berani, karena rasa malu.
Beberapa hari kemudian, Kang Ali membulatkan diri untuk boyong dari pesantren. Dia sudah tidak tahan dengan rasa malu yang selalu menghinggapinya. Dia ingin mengamalkan ilmu yang dipelajarinya selama di pesantren di tempat lain.
Dia membangun sebuah taman pendidikan Al-Quran dan Diniyah di kampungnya. Dia paham betul dengan kondisi masyarakat di kampungnya, yang begitu awam dengan pendidikan agama. Lambat-laun, usaha Kang Ali membuahkan hasil. Puluhan warga sering mengikuti pengajian rutin di mushola yang dibangunnya. Selain itu, puluhan anak-anak juga belajar membaca Al-Quran dan mengikuti kelas Diniyah.
Sementara itu, Nyai Hanifah juga sudah dipersunting oleh seorang kiai besar bernama Kiai Jabar, menjadi istri kedua, meskipun usianya terpaut cukup jauh. Sebetulnya, kiai itu sudah punya pesantren, namun pesantrennya diserahkan kepada putranya. Alhasil, pesantren warisan Kiai Makdum sudah ada penggantinya.
Kehidupan Nyai Hanifah dan para putra-putrinya tampak bahagia, meskipun dia terkadang teringat Kang Ali. Namun, dia segera menyadari bahwa, itu perbuatan yang tidak benar. Atas kekhilafannya, dia buru-buru berwudu dan meminta ampunan kepada zat Sang Maha Cinta.