Nyai Khairiyah merupakan seorang ulama, intelektual atau cendekiawan muslimah progresif, dan aktivis perempuan dari Jawa Timur yang lahir dari lingkungan pesantren. Walau begitu, ia memiliki cita-cita tinggi untuk memajukan kaum perempuan, khususnya di bidang pendidikan.
Memang, pada masa Nyai Khairiyah, akses memperoleh pendidikan bagi kaum perempuan sangat mustahil. Hal ini dikarenakan adanya stigma bahwa perempuan tidak layak untuk belajar, apalagi mendapatkan pendidikan tinggi seperti sekarang. Dan, ia hanya boleh beraktivitas di dalam rumah, seperti memasak, menjahit, melayani suami, dan lain-lain. Karena itu, Nyai Khairiyah berupaya untuk mendobrak pola pikir demikian dengan memberikan akses pendidikan seluas-luasnya bagi kaum perempuan.
Sebagai seorang intelektual dan aktivis, nama Nyai Khairiyah mungkin tak sepopuler intelektual perempuan lainnya, seperti R.A. Kartini (Jepara, Jawa Tengah), Rahmah El Yunusiah (Padang Panjang, Sumatera Barat), Rohana Kuddus (Kota Gadang, Sumatera Barat), dan Rasuna Said (Maninjau, Sumatera Barat). Pasalnya, pemikiran yang ditelurkan Nyai Khairiyah hanya berkutat di lingkungan pesantren. Akibatnya, tak jarang kebanyakan orang tidak mengetahui atau bahkan sulit mengaksesnya. Walau begitu, gagasan-gagasan atau pemikirannya menjadi mercusuar bagi kaum perempuan setelahnya, baik di lingkungan pesantren maupun para aktivis perempuan secara umum. Karenanya, Nyai Khairiyah sendiri patut dijadikan sebagai sosok inspirasi oleh keum perempuan masa kini untuk melakukan suatu gebrakan perubahan ke arah yang lebih baik.
Sekilas tentang Nyai Khairiyah
Nyai Khairiyah lahir di Tebuireng, Jombang pada tahun 1326 H/1908 M. Ia merupakan putri kedua dari sepuluh bersaudara yang lahir dari pasangan KH Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah. Riwayat pendidikannya sama sekali tak bersentuhan dengan pendidikan formal, melainkan di bawah asuhan langsung kedua orang tuanya. Sejak usia 5 tahun, Khairiyah kecil sudah memperlajari Al-Quran dan kitab-kitab salaf (karya ulama klasik), seperti fikih, tafsir, nahu-saraf, dan lain-lain.
Walaupun tak mengenyam pendidikan formal, girah menimba ilmu Nyai Khairiyah tak pernah surut. Pada saat Kiai Hasyim mengajarkan kitab kepada santri putra di rumahnya, Nyai Khairiyah selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan meski melalui bilik-bilik tembok. Juga, Khairiyah kecil dikenal sebagai orang yang tekun belajar (otodidak). Apabila merasa kesulitan dalam memahami pelajarannya, ia tak segan-segan bertanya langsung pada ayahandanya. Berkat tempaan ayahanda dan ibundanya itu, Nyai Khairiyah menjadi sosok yang alim di bidang ilmu agama. Bahkan kealimannya itu sudah masyhur di kalangan para santri Kiai Hasyim kala itu.
Di usia 13 tahun, Nyai Khairiyah melangsungkan akad pernikahan dengan santri kinasih Kiai Hasyim Asy’ari, yaitu Maksum Ali dari keluarga pesantren Maskumambang, Gresik. Yang menarik, meski ia telah menikah, semangat belajarnya tak pernah surut. Kini melanjutkan belajarnya pada Kiai Maksum Ali (suaminya) yang kebetulan, adalah pengarang kitab Amtsilah al-Tashrifiyah, buku babon ilmu saraf.
Di antara ilmu yang dipelajari Nyai Khairiyah meliputi, tafsir, tasawuf, mantik, hadis, fikih, balaghah, dan masih banyak ilmu yang lainnya. Tahun 1921, Kiai Ali Maksum beserta Nyai Khairiyah membuka Pesantren Seblak, yang jaraknya tidak jauh dengan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kemudian, pada 1933 Kiai Ali Maksum wafat disebabkan penyakit paru-paru. Ini artinya, kepemimpinan Pesantren Seblak beralih pada Nyai Khairiyah dan berlangsung hingga 1938.
Nyai Khairiyah kemudian menikah lagi dengan Kiai Muhaimin. Pasca pernikahannya, Kiai Muhaimin dengan Nyai Khairiyah berangkat naik haji dan memutuskan untuk bermukim (menetap) di kota suci Mekkah selama 10 tahun. Ada yang mengatakan sampai 20 tahun. Di sana, ia belajar lagi kepada para ulama Mekkah, antara lain Syekh Yasin Al-Fadani, seorang ahli hadis terkemuka, kelahiran Padang, Samutera Barat.
Pejuang Pendidikan Perempuan
Sebagaimana telah disinggung, bahwa Nyai Khairiyah termasuk ulama yang berupaya memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Tatkala berada di Mekkah, ghirah untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan semakin santer. Pasalnya, kondisi masyarakat Arab kala itu sangat memprihatinkan. Aktivitas seorang perempuan hanya berkutat pada ranah domestik yang mencakup kasur (untuk menunaikan kewajiban suami-istri), dapur (untuk menyajikan makanan), dan sumur (untuk mencuci pakaian). Apalagi pendidikan bagi kaum perempuan dianggap sesuatu yang tabu bahkan diklaim mereka tidak layak untuk memperolehnya.
Meskipun Nyai Khairiyah bukanlah masyarakat pribumi (Mekkah) asli, tetapi ia dengan lantang dan tegas menyuarakan hak-hak bagi kaum perempuan (Arab) untuk memperoleh akses pendidikan laiknya seorang laki-laki. Menurutnya, dengan memperoleh pendidikan, kehidupan seorang perempuan akan lebih baik. Pada tahun 1942 ia berhasil mendirikan Madrasah Lil Banat, sekolah untuk kaum perempuan pertama di Mekkah, yang terletak di kota Syamiah. Madrasah ini menjadi bukti konkret gerakan Nyai Khairiyah.
Namun lembaga yang diinisiasi Nyai Khairiyah ini, alih-alih ditolak oleh pemerintah Arab, mulai bermunculan madrasah-madrasah lain seiring berjalannya waktu. Misalnya, Madrasah Banat di Saudi Arabiyah, Madrasah Ibtidaiyah di Kampung Syamsiyah, dan masih banyak lainnya.
Setelah Kiai Muhaimin (suami keduanya) wafat pada 1956, Nyai Khairiyah kembali ke tanah kelahirnya atas dasar inisiasi Soekarno saat berkunjung ke Mekkah, dikarenakan kemampuan beliau sangat di butuhkan. Maka, Madrasah Lil Banat dilanjutkan oleh gurunya; Syekh Yasin Al-Fadani. Sisitem pembelajarannya pun mulai berkembang. Dari tradisional ke semi formal, yakni pembelajaran agama Islam yang berlandaskan Ahlussunnah Waljamaah, sains, teknologi, dan ilmu-ilmu sosial lain.
Sekembalinya dari Mekkah, Nyai Khairiyah kembali menjadi pengasuh Pondok Pesantren Seblak. Di bawah kepemimpinannya, pesantren ini mengalami kemajuang cukup pesat. Ia juga membuka lembaga pendidikan untuk santri putri. Pun, sistem pengajarnnya ditambah. Yang awalnya menggunakan sistem non-klasikal/tradisional (sorogan dan bandongan), kini dilengkapi sistem pengajaran klasikal (pelajaran kelas pada umumnya) guna memperoleh ilmu pengetahuan. Kebetulan, pesantren lain pada saat itu tidak menerima sistem pengajaran klasikal.
Juga, Nyai Khairiyah mendirikan sebuah perpustakaan untuk para santri guna memberantas buta huruf. Dan ini menjadi perpustakaan pertama di lingkungan pesantren. Menurut Nyai Khairiyah, membaca adalah sesuatu hal yang sangat urgen. Selain memperoleh ilmu pengetahuan untuk memenuhi kewajiban umat Islam dalam menuntut ilmu, cum sebagai pijakan awal mencapai kehidupan yang lebih baik, terutama bagi kaum perempuan. Di perpustakaan ini Nyai Khairiyah mengajar membaca huruf latin untuk para santri dan masyarakat umum, terutama kalangan perempuan.
Yang menarik, sebagai ulama pejuang hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, ia menolak mengajarkan kitab Uqud Al-Lujain karya Syekh Nawawi Banten. Sudah jamak diketahui bersama bahwa isi dari kitab ini membahas perihal hubungan suami-istri dan hak kewajiban perempuan, yang menurut Nyai Khairiyah, mengandung relasi yang diskriminatif dan sarat dengan pandangan yang kerap memosisikan perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki. Konon, Nyai Khairiyah berharap seharusnya ada juga kitab semacam ini yang ditulis oleh perempuan.
Demikian, kiprah Nyai Khairiyah dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Meskipun lahir dari lingkungan pesantren, ghirah Nyai Khairiyah dalam memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan tak pernah putus. Baginya, hanya dengan pendidikan seorang perempuan akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, ulama yang kontribusinya begitu besar terhadap bangsa dan negara ini, terutama bagi kaum perempuan, telah lama meninggalkan kita di RSUD Jombang, tepatnya pada hari Sabtu 2 Juli 1983 (21 Ramadhan 1404 H). Wallahu A’lam.