Sebagai salah satu penerus ayahandanya dalam berdakwah dan mengajar, Nyai Rahmatun melanjutkannya dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam atau madrasah yang khusus untuk anak-anak perempuan. Lembaga tersebut diberi nama “Tarbiyatul Banat” yang berada di Moncek Tengah, Sumenep, Madura. Ia secara resmi dibangun pada tahun 1961.
“Tarbiyatul Banat” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti “Pendidikan Anak-anak Putri”. Nama ini diberikan oleh adik kandung Nyai Rahmatun sendiri, yaitu Almaghfur lahu Kiai Abdul Wahid Nur.
Tarbiyatul Banat, sebagaimana namanya, sejak awal memang berkomitmen untuk menampung murid perempuan saja. Dan atas rekomendasi Kiai Ali Wafa, Nyai Rahmatun ditunjuk sebagai kepala madrasah. Katanya biar kepala dan anak buahnya sama-sama perempuan.
Perjuangan Nyai Rahmatun dalam membangun dan memajukan pendidikan anak-anak perempuan perdesaan tidaklah mudah. Beliau kerap mengalami berbagai tantangan dan rintangan, sebelum akhirnya berbuah manis.
Dulu, pada tahun 1960-an, bahkan sebelumnya, di desa Nyai Rahmatun tinggal, Desa Moncek Tengah dan juga sekitarnya, jarang ada perempuan yang menamatkan Sekolah Dasar apalagi kuliah. Hal itu sudah lumrah, karena anggapan bahwa perempuan hanya “manusia nomor dua” masih melekat di tengah-tengah mereka.
Selain itu, perempuan juga tidak boleh keluar rumah jauh-jauh apalagi berkarier. “Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya mereka hanya di rumah saja.” Begitulah kalimat yang sering muncul ketika ditanya kenapa anak perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi.
Melihat kenyataan tersebut, Nyai Rahmatun tidak tinggal diam. Ia dan suaminya, Kiai Ali Wafa, mulai berinisiatif untuk membangun lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak perempuan, yakni tidak bercampur sama sekali dengan anak laki-laki.
Memang, sebelumnya sudah ada madrasah yang didirikan oleh KH Muhammad Nur, ayahanda Nyai Rahmatun. Namun menggunakan sistem pengajaran yang berbentuk halakah, dan mayoritas muridnya adalah laki-laki. Meski ada juga murid atau santri perempuan, namun tidak banyak, dan tempatnya juga kurang memadai sehingga anak-anak perempuan pada waktu itu merasa kurang leluasa.
Dalam pembangunan gedung madrasah, masyarakat berbondong-bondong membantunya secara gotong royong. Ada pula yang dengan suka rela mewakafkan sebagian tanahnya, ada yang menyedekahkan pohon kelapa dan pohon jati serta berbagai kebutuhan lainnya untuk menyukseskan pembangunan tersebut.
Anak-anak perempuan juga bersuka cita karena mereka akan memiliki gedung khusus untuk mereka dan tidak bercampur lagi dengan kaum laki-laki. Sehingga mereka dengan leluasa bisa belajar mengekspresikan diri di lembaga pendidikan tersebut. Yang tidak kalah penting adalah lembaga ini mempunyai kelas-kelas seperti sekolah-sekolah milik pemerintah. Tidak seperti model halakah lagi.
Dengan berdirinya gedung madrasah Tarbiyatul Banat, Nyai Rahmatun berharap agar anak-anak perempuan perdesaan dapat mengenyam pendidikan selayaknya anak laki-laki. Namun hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena nyatanya, pada satu dekade awal, masih banyak para orang tua yang kurang menyadari arti pendidikan bagi kaum perempuan. Sehingga anak-anak mereka tetap dipaksa menikah dan berhenti sekolah pada usia yang masih belia.
Ha itu tidak lantas membuat Nyai Rahmatun tidak putus asa. Beliau terus menggembleng anak-anak didiknya agar termotivasi untuk terus belajar menamatkan sekolahnya meski hanya di tinkat Madrasah Ibtidaiyah (MI). Maka setelah satu dekade lebih, akhirnya usaha Nyai Rahmatun sedikit demi sedikit mulai membuahkan hasil. Karena masyarakat mulai mau menyekolahkan anak-anak perempuan mereka hingga tamat MI.
Sejak saat itu, anak-anak perempuan perdesaan yang biasanya hanya menyelesaikan sekolahnya hingga usia 9-10 tahun atau setara dengan kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah, lambat laun mulai melanjutkan ke kelas di atasnya (meski sambil menikah). Bahkan ada yang sampai tamat (kelas 6).
Hal itu, menurut Nyai Rahmatun, patut disyukuri, mengingat waktu itu anak-anak perempuan tidak mempunyai waktu lama untuk menempuh pendidikan karena keburu dinikahkan oleh orang tuanya.
“Takok tak pajuh” (takut nggak laku), demikian menurut para orang tua murid waktu itu. “Polanah anak bebini’ tak padeh ben anak lake’. Mun lake’ reyah padeh ben emas pa’ lekoran. Seddeng anak bini’ reyah padeh ben emas du lekoran.” (Karena anak perempuan tidak sama dengan anak laki-laki. Kalau laki-laki itu sama dengan emas 24 karat. Sedangkan anak perempuan sama dengan emas 22 karat).
Itulah semboyan masyarakat Madura pada waktu itu, terutama masyarakat pedalaman yang masih terbelakang dalam hal pendidikan. Semboyan tersebut mempunyai arti bahwa anak perempuan harus segera dinikahkan jika sudah ada yang melamar meskipun usianya masih anak-anak.
Menurut mereka, anak perempuan kalau tidak segera dinikahkan ketika sudah ada yang melamar, takutnya nanti tidak laku. Karena dalam adat mereka, tidak ada perempuan yang melamar duluan. Sehingga mereka harus menunggu dilamar. Oleh karenanya, laki-laki dianggap manusia mahal dengan dinisbatkan pada emas 24 karat.
Maka tidaklah heran jika orang Madura mengatakan bahwa anak perempuan itu sama dengan “ngantos gettanah betoh” (menunggu getahnya batu). Artinya, untuk bisa menikah, perempuan itu harus menunggu dilamar. Jika tidak segera menerima lamaran ketika ada laki-laki yang melamar, maka dipastikan perempuan itu tidak akan menikah sampai “kiamat”, alias menjadi perawan tua. Itulah alasan mengapa anak perempuan tidak bersekolah tinggi.
Semboyan kedua itu sangat terkenal dan hampir-hampir menjadi sebuah keyakinan yang mengakar kaut, sehingga kesempatan menempuh pendidikan bagi anak perempuan pada masa itu sangat terbatas. Nyai Rahmatun hadir dengan membawa misi memajukan pendidikan bagi anak perempuan.
Nyai Rahmatun juga mengingatkan kepada masyarakat bahwa masalah jodoh sudah ditentukan oleh Allah, sehingga mereka tidak perlu khawatir. Yang perlu dikhawatirkan, menurut Nyai Rahmatun, yaitu jika perempuan-perempuan muslim tidak mempunyai ilmu. Karena mereka adalah madrasah pertama (madrasatul ula) bagi anak-anaknya nanti. “Saongghunah, se andik kawajiban adidik nak potoh engghi ka’dintoh para oreng sepponah dhibi’. Guruh panikah namung abentoh malaeh.” (Sesungguhnya, yang mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anak kita adalah orang tuanya sendiri. Guru hanyalah membantu para tua mengajarkan ilmu). Demikian tutur Nyai Rahmatun.
“Jadi, jika para orang tua terutama perempuan tidak berilmu, bagaimana bisa ia mendidik anak-anaknya untuk menjalankan syariat Islam dengan benar. Padahal seorang ibu mempunyai lebih banyak waktu bersama anak-anaknya ketimbang ayah. Maka sukses tidaknya seorang anak itu tergantung kepada ibunya,” lanjutnya.
Dai yang terkenal mempunyai banyak metode dalam mempengaruhi dan mendekati masyarakat untuk menjadikannya sebagai sasaran dakwahnya ini, juga menyampaikan bahwa banyak sekali ulama-ulama besar di penjuru dunia yang sukses, tidak lain adalah karena didikan ibunya.
Nyai Rahmatun juga menuturkan bahwa kelak di akhirat, para orang tua akan dimintai pertanggung jawaban tentang anak-anaknya, apakah mereka diajari ilmu atau tidak. Sehingga, jika anak-anak mereka tidak bisa salat, tidak bisa ngaji, tidak tahu halal haram, tidak tahu suci najis dan ilmu-ilmu muamalah serta ilmu syariah, maka orang tualah yang bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.
Nyai Rahmatun tidak hanya pandai berorasi atau berceramah, beliau juga kerap memberikan contoh keteladanan kepada masyarakat dalam hal perilaku. Salah satunya yaitu ketika beliau membuktikan ucapannya tersebut dengan menyekolahkan dan memondokkan putra putrinya sendiri hingga ke Madrasah Aliyah atau setingkat SMA bahkan sampai kuliah. Namun meskipun mereka bersekolah dan mondok sampai tingkat kuliah, nyatanya mereka tetap menikah dan dipertemukan dengan jodohnya masing-masing oleh Allah SWT. Sehingga anggapan bahwa perempuan yang berseolah tinggi sulit memiliki jodoh seolah-seolah terpatahkan.
Sebaliknya, anak-anak perempuan pedesaan yang menikah pada usia dini tersebut justru tidak jarang berakhir dengan perceraian. Sehingga diantara mereka ada yang melanjutkan sekolah lagi hingga tamat MI bahkan belakangan ada yang sampai menempuh pendidikan kuliah Strata Satu. Dan mereka tetap bisa menikah atau memiliki jodohnya masing-masing pada akhirnya.
Hingga saat ini, Lembaga Pendidikan Islam Tarbiyatul Banat yang dirintis oleh almaghfur laha Nyai Rahmatun tersebut terus bermetamorfosa menjadi lembaga pendidikan yang modern namun berciri khas kepesantrenan. Ia yang terletak di perdesaan tidak kalah bersaing dengan lembaga pendidikan perkotaan. Fasilitas teknologi yang mudah diakses turut serta mendukung majunya lembaga ini untuk terus berbenah. Para alumninya pun banyak yang sukses dan berprestasi di luar daerah. Ia yang pada awalnya hanya tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), sekarang sudah ada Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan juga Madrasah Diniyah (MD). Dan bahkan berdasarkan keinginan masyarakat, lembaga ini juga menampung santri putra, yang juga tidak kalah jumlahnya dari santri putri.