Sejarah berdirinya sebuah pesantren seringkali diwarnai dengan kisah perjuangan yang luar biasa. Salah satu kisah itu hadir dari Pesantren Al-Hidayah Manyaran. Di balik berdirinya pesantren itu, ada jerih payah perjuangan sosok wanita yang bernama Nyai Syarifah.
Pondok Pesantren Al-Hidayah berlokasi di Desa Manyaran, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sebelumnya, pesantren ini lebih dikenal dengan nama Pesantren Minggirsari.
Kisah ini diambil dari narasumber almarhum ayah saya sebelum beliau meninggal dunia pada 2019. Penulisan kisah ini untuk mengenang perjuangan sosok perempuan di balik berdirinya Pesantren Al-Hidayah.
Jejak Laskar Diponegoro
Berakhirnya Perang Jawa ditandai dengan tertangkapnya Pangeran Diponegoro oleh tentara Belanda sekitar tahun 1830. Peristiwa ini menyisakan laskar-laskar yang melarikan diri ke wilayah Jawa Timur. Para laskar Diponegoro tersebut kemudian membuka daerah baru. Uniknya, mereka selalu menanam pohon sawo di daerah yang baru dibuka sebagai sebuah tanda.
Salah satu laskar pasukan Diponegoro membuka daerah baru di tepi sungai Bendo Krosok yang kemudian disebut sebagai Minggirsari. Beliau bernama Mohamad Hasan bin Basar, atau singkatnya dijuluki Hasan Sepuh. Tidak sendirian, beliau ditemani seseorang yang juga bernama Hasan. Karena masih remaja, ia sebagai Hasan Anom.
Beberapa tahun setelah mukim di Minggirsari, Hasan Sepuh menikah dan memiliki putra. Putra keduanya lahir sekitar tahun 1845 dan diberi nama Moh Suryan. Pada tahun 1840, lahirlah seorang putri yang dikenal dengan nama Nyai Menggik. Menginjak usia 15 tahun, Nyai Menggik kemudian dinikahkan dengan Hasan Anom.
Pada tahun 1880, Moh Suryan menikah dengan seorang putri dari Desa Gayam dan dikaruniai putra pertama dengan nama Moh Toyyib. Beberapa tahun kemudian lahirlah putra kedua, ketiga, hingga kelima.
Moh Toyyib berguru dan mengaji kepada Kiai Jawahir yang berasal dari Dusun Suruh, Ngronggot, yang nasab ayahnya bersambung dengan keluarga Banjarmlati, Kediri. Setelah cukup berguru kepada Kiai Jawahir, pada tahun 1908, Moh Toyib dinikahkan dengan putri gurunya, Kiai Jawahir, yang bernama Nyai Syarifah yang kala itu berusia 15 tahun. Karena Nyai Menggik tidak dikarunia putra, maka keponakannya, Mo Toyyib, diminta agar mukim di Minggirsari, Manyaran.
Keteguhan Nyai Syarifah
Didukung mertuanya, Kiai Jawahir, Kiai Toyyib dan Nyai Syarifah tinggal dan mengabdi di Minggirsari. Beberapa waktu kemudian, Kiai Toyyib didatangi para santri yang hendak mengaji kepada beliau. Lalu didirikanlah sebuah musala dan asrama santri yang terbuat dari bambu atau angkring.
Bertahun-tahun hidup di tanah Minggirsari, Nyai Syarifah dan Kiai Toyyib dikaruniai 6 putra-putri, yakni Ahmad Mashuri, Siti Ngainah, Abdul Qadir, Moh. Yasin Yusuf, Moh. Toha, dan Siti Sofiyah. Pada kehamilan terakhir, sekitar usia kandungan tujuh bulan, Kiai Toyyib meninggal pada usia yang masih terbilang muda, yakni 39 tahun pada tahun 1921.
Nyai Syarifah menunjukkan ketegaran luar biasa sepeninggal suaminya. Ketika jenazah suaminya akan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir, Nyai Syarifah dengan tegas menyatakan bahwa dirinya sedang hamil. Penegasan itu untuk menghindari prasangka buruk dari masyarakat sekitar.
Setelah menjadi janda muda, kakaknya, Kiai Ibrohim, sering mengunjungi Nyai Syarifah. Ia khawatir dengan kondisi adiknya yang tinggal sendirian di rumah mereka yang terletak di tengah perkebunan luas yang sepi. Bahkan, Kiai Ibrohim pernah menyarankan agar Nyai Syarifah kembali ke rumah orang tuanya di Suruh. Namun, Nyai Syarifah dengan santun menolaknya. Ia bertekad untuk membesarkan putra-putrinya di rumah almarhum suaminya.
Masa Perjuangan Nyai Syarifah
Nyai Syarifah yang dikenal sebagai sosok perempuan yang awet muda dan cantik jelita, ditambah telah ditinggal wafat oleh suaminya, Kiai Toyyib, banyak sekali cobaan yang menimpanya. Akan tetapi, di balik sosok keanggunan dan kecantikannya, Nyai Syarifah adalah sosok yang lugas dalam berbicara, dan tegas dalam bersikap, serta cenderung galak dan gigih dalam berprinsip. Sehingga berbagai godaan yang mengadang dapat dilalui dengan baik.
Suatu ketika, seorang demang datang dengan memamerkan pangkat dan kekayaannya. Si demang ingin meminang Nyai Syarifah. Belum sempat mengungkapkan tujuannya, demang tersebut didamprat habis-habisan oleh Nyai Syarifah dan pulang dengan tangan hampa.
Ada lagi seorang kiai juga pernah mendatangi Nyai Syarifah. Namun, dengan lugas dan tegas Nyai Syarifah menolaknya. “Gak usah ndalil reno-reno! Aku ngerti karepmu, wis ndang mulih!” (Tak perlu beralasan macam-macam! Saya sudah paham maksudmu, pulanglah saja!)
Tidak berhenti di situ, cobaan Nyai Syarifah tetus berlanjut. Berhektare-hektare sawah yang dimilikinya sebagai tanda juang beliau menghidupi putra-putri beserta para santri, terkena tipu dan berpindah tangan. Bahkan pernah suatu malam, rumah Nyai Syarifah didatangi pencuri yang mencoba melubangi tembok rumah. Namun, usaha pencuri tersebut tidak berhasil karena setiap malam Nyai Syarifah selalu terjaga dan membaca doa-doa serta wirid setelah salat malam. Suara yang terdengar dari dalam rumahnya membuat pencuri itu ketakutan dan membatalkan aksinya.
Selain itu, meskipun pernah ada pencuri yang mengambil beras dari dapur, Nyai Syarifah tetap tegar menjalani hidup dengan penuh ketabahan. Dengan penuh keyakinan, beliau terus mendidik keenam putra-putrinya hingga tumbuh dewasa, bersekolah, mondok, dan meneruskan pesantren.
Meski cobaan menikam berkali-kali, atas kegigihannya, semua putra-putrinya mengenyam pendidikan yang layak untuk ukuran waktu itu. Putra pertamanya, Ahmad Mashuri, telah menghafal Al-Qur’an dan Alfiyah serta terampil membaca kitab pada usia 15 tahun. Namun ia meninggal pada usia yang cukup muda, 21 tahun. Seluruh putra-putrinya mengenyam pendidikan formal yang cukup. Bahkan, Nyai Sofiyah mengenyam pendidikan sampai HIS dan fasih berbahasa Belanda.
Seluruh putra-putri Nyai Syarifah dikirim ke berbagai pesantren, meskipun dengan biaya yang sangat pas-pasan. Saking pas-pasannya, putra keempatnya, Kiai Yasin sampai-sampai dapat menghapal suatu kitab lantaran tidak mampu membeli. Karena tak mampu membeli, kitab tersebut dihafalkan saja. Demikianlah perjalanan hidup Nyai Syarifah yang penuh riyadhah dan keteguhan.
Membangun Kembali Pesantren
Sekembalinya para putra Nyai Syarifah dari pesantren, mulailah digerakkan kembali pendidikan pesantren di Minggirsari. Pada tahun 1948, kegiatan tersebut ditata kembali dengan adanya tingkatan pendidikan semacam madrasah oleh tiga serangkai: Kiai Abdul Qadir, Kiai Yasin, dan menantunya, KH Abu Bakar, dengan nama tetap Minggirsari.
Pesantren Minggirsari pada mula berdirinya mengadakan sistem pendidikan secara sorogan dan bandongan. Saat itu, Kiai Abdul Qadir mengajar sorogan Al-Qur’an, dan Kiai Yasin beserta Kiai Abu Bakar mengajar kitab kuning.
Dalam rangka manajemen waktu, beliau bertiga berbagi tugas dengan baik. Kiai Abdul Qadir yang berhubungan dengan masyarakat, KH Abu Bakar dengan pemerintahan, dan Kiai Yasin berhubungan dengan santri di pesantren. Pola seperti ini tanpa komando, artinya masing-masing tahu posisinya. Ibarat bermain musik, masing-masing dari ketiganya mampu memainkan alat musiknya dengan rancak.
Pada tahun 1962, Kiai Toha kembali ke Minggirsari dari Pesantren Mojosari. Pengelolaan manajemen tetap sebagaimana awalnya, bahkan ditambah satu lagi, yakni urusan pembangunan fisik pondok pesantren maupun masjid yang ditangani oleh Kiai Toha.
Beberapa tahun setelahnya, dimulailah rehab masjid maupun pondok. Pembangunan keseluruhan didanai dari harta Nyai Syarifah peninggalan dari Kiai Jawahir di Dusun Suruh Nganjuk. harta peninnggalan tersebut kemudiab dijual dan diinfaqkan untuk pembangunan pesantren dan masjid. Kemudian, akibat huru-hara politik, di mana terjadi peristiwa pemberontakan PKI, jemaah masjid meningkat secara signifikan. Sehingga bangunan masjid ditambah bangunan baru berupa serambi yang masih terpisah.
Setelah jemaah masjid meningkat, sistem pengajian di pesantren juga mengalami perubahan. Dimulailah adanya tingkatan-tingkatan pengajian yang menjadi cikal bakal berdirinya madrasah. Pengajian ini dilaksanakan pada malam hari dengan pengajaran kajian kitab kuning, yang diampu langsung oleh Kiai Abdul Qadir, Kiai Yasin, Kiai Toha, dan KH Abu Bakar. Adapun para pemuda diajar oleh para santri senior.
Pada tahun 1968, dibentuklah sebuah lembaga dengan nama Madrasah Al-Hidayah, yang masuknya setelah dhuhur setelah sekolah formal. Sementara pengajian di pesantren tetap dilaksanakan pada malam hari. Kelompok pengajiannya ada dua, yaitu kitab dan sorogan Al-Qur’an.
Bermula dari madrasah yang bernama “Al-Hidayah”, lambat laun nama pesantren yang semula bernama Minggirsari juga berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Hidayah. Seiring berjalannya waktu, transformasi Pesantren Minggirsari menjadi Pondok Pesantren Al-Hidayah mencerminkan perjalanan panjang perjuangan dan dedikasi para pendirinya. Mulai dari sistem pendidikan sorogan dan bandongan, pembagian peran yang harmonis di antara para dzurriyah, hingga pembentukan lembaga formal seperti Madrasah Al-Hidayah. Semua ini menjadi bukti nyata semangat keilmuan dan pengabdian beliau-beliau, serta tidak terlepas pula dari tirakat Nyai Syarifah.
Kisah perjuangan Nyai Syarifah di balik berdirinya Pesantren Al-Hidayah Manyaran adalah cerminan keteguhan seorang perempuan yang menghadapi tantangan hidup dengan penuh kegigihan dan pengorbanan. Sosok beliau tidak hanya menjadi ibu yang hebat bagi putra-putrinya, namun juga menjadi pelita bagi para santri dan masyarakat sekitar.
Kisah ini semoga menjadi pengingat akan pentingnya melanjutkan perjuangan, menjaga warisan ilmu, dan menghidupkan kembali semangat pendidikan. Semoga pesantren ini kembali menemukan sinarnya dan terus memberikan manfaat bagi generasi mendatang, sebagaimana yang diimpikan oleh para muassis.