Bagi kalangan santri dan kiai, bulan Desember merupakan bulan duka cita. Sebab, 13 tahun yang lalu di bulan ini, tepatnya Rabu, 30 Desember 2009, pada pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, telah wafat seorang kiai kharismatik, guru bangsa, pejuang hak rakyat, dan pembela kaum minoritas. Beliau adalah KH Abdurrahman Wahid atau lebih populer dengan panggilan Gus Dur, cucu salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Beberapa hari, sekitar seminggu menjelang Gus Dur wafat, beliau mampir ke kediaman sahabatnya, KH Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus, di Rembang, Jawa Tengah. Banyak media massa mengabarkan momen pertemuan terakhir Gus Dur bersama sahabat spesialnya tersebut. Kabar tersebut tersebar ke berbagai kalangan di beberapa kota juga pelosok, sehingga sampai pula kepada KH Husein Muhammad.
KH Husein Muhammad seketika bertambah kagum kepada Gus Mus sebab didatangi Gus Dur menjelang wafatnya. Pasti sebab Gus Dur memandang Gus Mus sebagai temannya yang istimewa, demikian pikir KH Husein. Beberapa orang juga mengira kedatangan Gus Dur ke kediaman Gus Mus pasti terdapat hal-hal penting yang ingin disampaikan hanya kepada Gus Mus menjelang kepulangannya.
Atas dasar inilah, KH Husein Muhammad akhirnya menyusun buku dengan judul Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus. Di dalam buku ini, KH Husein menulis obrolan beliau bersama Gus Mus tentang sosok Gus Dur. Salah satunya sebagaimana yang telah disinggung tadi: apa yang telah dibicarakan Gus Dur saat itu?
“Ya, seperti biasalah, Gus Dur datang ke sini sekadar ingin bertemu, istirahat, dan lesehan di atas tikar ini, sambil ngobrol ngalor-ngidul, kadang sambil tiduran. Jika kami bertemu, Gus Dur akan bercerita tentang situasi bangsa dan negara, keadaan NU, keadaan para kiai, dan satu hal yang tak pernah ditinggalkan Gus Dur: bercerita hal-hal unik, menarik, dan lucu-lucu yang membuat kami dan semua orang yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Gus Dur selalu saja membawakan cerita unik, lelucon atau humor-humor baru, seperti tak pernah habis.” (hlm. 5).
Dalam pertemuan selama dua jam tersebut, saat sedang asyik-asyiknya ngobrol dan bercanda-ria cerdas itu, tiba-tiba Gus Dur pamit kepada Gus Mus, “Gus, saya harus segera berangkat ke Tebuireng. Saya dipanggil Si Mbah.” Seminggu kemudian, tersiar kabar beliau telah berpulang ke hadirat-Nya.
Obrolan KH Husein Muhammad bersama Gus Mus berlanjut ke soal gelombang manusia yang tak pernah berhenti bergerak menziarahi dan mendoakan Gus Dur.
“Ya Gus, saya dan kita semua yang ada di sini, serta berjuta-juta orang di negeri ini dan negeri-negeri yang lain juga berduka cita, merasa kehilangan Gus Dur. Lihatlah sejak Gus Dur pulang sampai hari ini, rumah, tempat istirahat abadi Gus Dur, terus dikunjungi ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa maupun dari luar Jawa, bahkan juga orang-orang luar negeri yang mengenal dekat Gus Dur,” tutur KH Husein Muhammad, menimpali pernyataan Gus Mus (hlm. 14).
“Tak banyak yang paham dan mengerti mengenai fenomena ini. Mereka mencintai Gus Dur. Boleh jadi, ini karena mereka merasa bahwa Gus Dur memberikan perhatian sepenuh hati kepada mereka. Gus Dur mencintai mereka dengan tulus, tanpa pamrih apa pun. Seperti sabda Nabi yang mulia, ‘Man yarham yurham’ (Siapa yang menyayangi akan disayangi),” lanjut pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid sekaligus Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tersebut.
Di dalam buku, penulis juga mengungkapkan rasa penasaran yang sampai menjelma ke tingkat kegelisahan. Kegelisahan seputar pesan terakhir Gus Dur yang beliau tanyakan kepada Gus Mus seolah belum memuaskan hatinya. Akhirnya, pertanyaan itu terjawab saat penulis buku ini diajak makan siang oleh Ibu Sinta (Ny. Hj. Sinta Nuriyah Wahid) di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Di situ, KH Husein sempat menanyakan tentang pertemuan terakhir Gus Dur dengan Gus Mus seminggu sebelum kepulangannya.
Ibu Sinta menjawab, “Ya, seminggu sebelum Gus Dur pulang, kami mampir ke Gus Mus. Hubungan Gus Dur dengan Gus Mus sangat dekat. Gus Dur seperti ingin pamit untuk pulang. Di situ, Gus Dur berpesan kepada Gus Mus, ‘Saya titip NU, saya titip NU.’ Dan, Gus Mus seperti kaget sekali mendengar ‘wasiat’ itu, tetapi tak bisa menolak, meski juga tak sanggup menjalankan amanat agung itu.” (hlm. 96).
Selain itu, buku ini mengulas pula kebiasaan-kebiasaan Gus Dur, yang salah satunya adalah suka membaca buku, sehingga kebiasaan membaca tersebut menjadi amalan atau wiridan Gus Dur. Gus Dur selalu membawa buku ke mana-mana dan membacanya di tempat mana saja. Di sembarang tempat dan dalam berbagai posisi. Bahkan, sambil berdiri di trem, kereta listrik atau di dalam bus kota yang sesak. Rasanya, tidak ada hari tanpa membaca buku atau kitab.
Identitas Buku
Judul Buku : Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus
Penulis : KH. Husein Muhammad
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Oktober 2015
Tebal : xxx + 179 halaman
ISBN : 978-602-385-009-9