“Yah… Ayah banyak digunjing tetangga loh,” kata Yuni kepada suaminya, Ahmad Suyanto, saat menghidangkan kopi yang baru diseduh.
Saat itu Suyanto sedang menjemur badannya yang telanjang di halaman belakang rumah. Hanya bercelana pendek, Suyanto menghangatkan tubuh di bawah sinar Matahari pagi. Ia percaya pada teori bahwa berjemur di pagi hari bisa menambah daya tahan tubuh untuk melawan serangan virus Corona.
“Ah, orang bergunjing kok kamu dengerin, Bu…” Suyanto membalas sapaan istrinya. Saat itu Yuni baru pulang dari belanja sayur-mayur, kemudian menyeduhkan kopi buat suaminya, sebelum ia sendiri memasak untuk sarapan pagi.
“Lah, ini perkara serius loh, Yah. Bukan main-main.” Yuni kemudian duduk di satu kursi, di samping kursi yang diduduki suaminya.
“Bergunjing kok perkara serius,” suara Suyanto lirih sebelum menyeruput kopi.
“Lah, Yah, gini loh,” Yuni membenarkan posisi duduknya yang sebenarnya tidak salah, “orang-orang yang lagi ngobrol di sebarang jalan tempat aku belanja tadi bilang, ‘Pak Suyanto itu kan orang tahu agama, pernah mondok, kok malah takut sama Corona, tidak takut sama Tuhan. Sejak ada Corona ia tak pernah kelihatan ke masjid lagi’. Ini, kan, perkara serius, Yah…,” Yuni meninggikan suaranya.
“Bu, lebih bermanfaat kalau sekarang ini kamu memasak. Kita lekas sarapan, tubuh kita jadi sehat.”
“Uuhhh…,” Yuni melengos sembari beranjak ke dapur.
Suyanto tersenyum kecil memandang lenggok bokong istrinya menghilang di balik pintu dapur.
***
Sebenarnya, jauh sebelum ada penyebaran virus Corona, mungkin sekitar dua tahun terakhir, Ahmad Suyanto sudah mulai mengurangi keterlibatannya dengan tetek bengek urusan masjid, dan kemudian mulai tak rutin salat berjamaah di masjid. Itu dilakukannya setelah terjadi pertengkaran, atau perebutan posisi, di lingkungan kepengurusan masjid.
Saat itu, setelah terjadi pergantian kepengurusan di takmir masjid, beberapa orang, dengan kasak-kusuk atau pun terang-terangan, berebut untuk mengisi posisi-posisi tertentu. Ada yang ingin menjadi imam salat wajib. Ada yang ingin menjadi imam salat Jumat. Ada yang ingin menjadi khotib dan juga mengusulkan nama-nama calon khotib Jumatan. Ada pula yang ingin mengisi atau mengusulkan nama-nama untuk mengisi kuliah subuh.
Ahmad Suyanto, yang dalam suatu rapat penentuan pengisian posisi-posisi itu namanya sama sekali tak disebut, diam seribu bahasa. Meskipun masih termasuk salah satu pengurus takmir masjid, Suyanto tak memberikan persetujuan atau pun penolakannya. Ia tetap mengunci mulutnya sampai rapat bubar, dan langsung tidur saat tiba di rumah.
Sejak itu, Ahmad Suyanto mulai mengurangi keterlibatannya dalam urusan masjid. Salat berjamaah di masjid pun mulai tak rutin, kecuali untuk salat Jumat dan kebetulan ia sedang ada di rumah.
“Dia mungkin kecewa karena tidak lagi kebagian jatah jadi imam salat atau khutbah Jumat,” kata salah seorang anggota takmir masjid, saat terlibat obrolan dengan beberapa orang yang membicarakan Suyanto yang mulai jarang terlihat di masjid.
“Ya… barangkali. Padahal dulu dia sering jadi imam atau khotib. Ya, lumayanlah, banyak dapat amplop, he-he-he,” sahut lawan bicaranya.
“Ya… begitulah, orang…,” timpal yang lain.
Istrinya, yang mendengar kabar tentang suaminya tak lagi mendapat jatah jadi imam dan khotib, dan melihat suaminya mulai tak rutin salat berjamaah, sempat masygul.
“Kenapa tak minta jatah jadi imam lagi, jadi khotib lagi, Yah?” tanya Yuni saat menemani suaminya bersantai di halaman belakang rumah sembari menunggu gelap jatuh.
“Sudah ada yang lebih baik, jadi kewajibanku gugur,” begitu Suyanto menjawab pertanyaan istrinya.
“Uuhhh…,” Yuni melengos sembari beranjak masuk rumah melalui pintu dapur.
Suyanto tersenyum kecil memandang lenggok bokong istrinya menghilang di balik pintu dapur.
***
Suyanto adalah orang pertama di lingkungannya yang absen ke masjid sejak diketahui virus Corona mulai menular ke mana-mana. Satu-dua, dan kemudian beberapa orang, lalu bertambah banyak orang, juga mulai tak terlihat datang ke masjid.
“Jemaah yang memakmurkan masjid makin sedikit sekarang. Ini pasti terpengaruh Pak Suyanto itu,” kata Sobri, yang rumahnya tak jauh dari masjid. Sobri salah seorang yang punya jadwal menjadi imam salat dan khotib Jumat.
“Mungkin saja,” sahut Kaji Badrun. “Tapi kalau dibiarkan, bisa berbahaya ini. Masjid bisa sepi. Syiar mati.”
Beberapa orang sedang mengobrol di teras masjid selepas salat isya berjamaah pada Kamis malam. Termasuk Sobri dan Kaji Badrun.
“Eh, tapi, masa iya karena Corono dia langsung tak ke masjid,”
“Corona hanya alibi sepertinya. Kan, memang sudah agak lama dia mulai jarang ke masjid. Itu karena kecewa tak lagi dapat jatah jadi imam dan khotib,” kata Sobri.
“Bisa jadi begitu, terus ditambah lagi dia takut sama Corona,” sahut yang lain.
“Begini saja,” Kaji Badrun menyela, “Besok pas Jumatan kita umumkan agar warga tetap ke masjid seperti biasa, baik untuk jamaah salat wajib maupun Jumatan. Masa lebih jiper sama Corona daripada takut sama Tuhannya.”
“Iya, betul itu Kaji. Semua wajib ikut memakmurkan masjid. Ini ibadah, perintah Tuhan,” Sobri menyahut.
Keesokan harinya, menjelang Jumatan dimulai, sebagai sekretaris takmir masjid Kaji Badrun menyampaikan pengumuman sekaligus imbauan sesuai rencana. Semuanya berjalan lancar. Saat salat maghrib dan isya, jumlah orang yang berjamaah semakin banyak, nyaris seperti biasanya. Saat subuh berikutnya juga begitu, yang berjamaah semakin banyak.
Lingkungan itu seakan kembali normal. Seperti tidak ada apa-apa. Seperti tidak ada pandemi. Seperti tak pernah ada imbauan dari pemerintah atau fatwa dari majlis ulama agar orang-orang tetap berdiam di rumah, beribadah di rumah. Masjid tetap ramai. Saf-saf tetap terisi penuh. Suara para pengkhutbah tetap lantang dalam mengajak jemaah untuk terus meningkatkan ketakwaan dan ketakutan kepada Sang Pencipta dan Penentu Takdir.
Lalu sepekan berikutnya seorang jemaah diketahui absen. Beberapa hari kemudian toa masjid mengumandangkan innalillahi wainna ilaihi rajiun…. Tak sampai sepekan kemudian, terdengar lagi dari toa masjid kumandang yang sama. Beberapa hari kemudian ada lagi peristiwa yang sama. Hari-hari berikutnya, dalam sepekan bisa dua atau tiga kali toa masjid tak lagi hanya mengumandangkan azan, tapi juga ucapan bela sungkawa. Suara lantang toa masjid kini berubah menjadi teror. Entah siapa menunggu giliran.
Setelah jumlah jemaah terus menyusut, dan akhirnya masjid pun resmi ditutup, lingkungan di mana Ahmad Suyanto tinggal bak kota mati, seperti di tempat-tempat lain.
***
Setahun kemudian orang-orang telah melupakan teror dari toa masjid itu, yang memang sudah beberapa lama tak lagi mengabarkan duka. Rupanya pandemi sudah mulai pergi. Orang-orang sudah mulai bergerak, hilir mudik, menjalani kehidupan nyaris senormal sebelumnya.
Jumat siang itu orang-orang sudah memenuhi saf-saf dalam masjid, dari baris depan hingga belakang. Yang datang belakangan hanya kebagian tempat di teras masjid. Bahkan beberapa terpaksa menggelar sajadah di halaman depan masjid. Namun, hingga waktu tiba Jumatan harus dimulai, orang-orang hanya saling pandang. Beberapa orang di saf belakang mencoba melongok ke depan, namun tak terlihat ada yang berdiri.
“Siapa yang bisa jadi khotib?” seseorang akhirnya berdiri, bersuara. “Dan imam?”
Tak ada yang menyahut. Masing-masing hanya saling menoleh ke kanan atau kiri, atau menengok ke belakang. Tak ada satu pun yang berdiri, atau mengangkat tangan. Dan hening beberapa lama.
Setelah berbisik-bisik sebentar, dua orang di teras masjid berdiri, lalu melangkah keluar masjid, dan berjalan ke arah rumah Ahmad Suyanto. Suyanto sedang membuka pintu pagar rumah saat kedua orang tersebut tiba.
“Loh, sudah selesai Jumataannya? Saya ketinggalan ya?”
“Maaf, Pak, malah belum dimulai.”
“Iya, Pak, tak ada yang bisa khutbah. Tak ada yang berani jadi imam.”
“Loh, kok bisa? Jadwal dan gilirannya kan sudah diatur rapi?”
“Tak ada yang tersisa Pak. Semua dibawa pergi Corona…”
Dari balik jendela kamar, Yuni menguping percakapan mereka.
“Masyaallah. Bagaimana nasib masjid kalau tak ada yang tersisa? Ayo cepetan,” Suyanto langsung berjalan cepat sembari mengajak kedua orang tersebut.
“Mari saudara-saudara, Jumatannya kita mulai,” kata Suyanto sambil berjalan di sela-sela jemaah yang duduk rapi di dalam masjid.
Tak lama kemudian suara azan berkumandang, tanda Jumatan dimulai. Dan, setelah sekian lama, inilah untuk kali pertama Suyanto kembali berdiri di mimbar masjid. Seperti dulu ketika sedang berkhutbah, dengan suaranya yang lembut dan tenang, dari atas mimbar Suyanto menyerukan agar semua jemaah terus meningkatkan ketakwaan dan takut hanya kepada Tuhan.
“Takwa itu sederhana. Hanya menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Untuk membuktikan bahwa kita takwa dan takut hanya kepada Tuhan, tak perlu ditunjukkan dengan cara menantang-nantang mara bahaya. Itu kesombongan namanya….”
Khutbah singkat itu segera berakhir. Setelah menjadi imam, tanpa berjabat tangan dengan jemaah yang duduk di dekat pengimaman, Suyanto bergegas melangkah keluar masjid, dan berusaha menghindari beberapa orang di saf-saf belakang yang terlihat ingin bersalaman dengannya. Di belakangnya, berpasang-pasang mata memandangi punggungnya.
Pintu pagar rumah Suyanto berderit. Dari balik jendela kamar, senyum kecil Yuni menyambut kedatangan suami.