“Gimana, Ron. Sudah siap?” tanya ayah kepadaku saat hendak berangkat ke posko penggalangan dana untuk pembangunan surau.
“Iya, Yah. Siap.”
![](https://i0.wp.com/www.duniasantri.co/wp-content/uploads/2022/09/Duniasantri-Telegram-Acquistion.jpeg?fit=1280%2C720&ssl=1)
Kebetulan hari ini adalah hari minggu. Kegiatan sekolah libur satu hari untuk istirahat sejenak. Namun, hari libur ini tidak kusia-siakan. Aku ikut membantu warga desa menggalang dana untuk pembangunan surau tempatku mengaji, yang kebetulan ketua panitia dari kegiatan itu adalah ayahku.
Ini adalah kali pertama aku mengunjungi posko dan ikut membantu warga desa yang berkumpul di sana. Maklum. Kegiatan ini baru terlaksana lima hari yang lalu. Posisi posko pun menurutku cukup strategis. Berada di pinggir jalan utama menuju sebuah tempat wisata Alam Biru. Dan kurasa, kegiatan ini tidaklah mengganggu warga sekitar. Karena kebetulan tempat yang dijadikan posko tepat berada di jalan yang kiri-kanannya adalah perkebunan.
Saat sampai di posko, kulihat ada sekitar lima orang yang sudah berkumpul. Padahal, saat itu waktu masih menunjukkan sekitar pukul enam. Begitu semangatnya orang-orang ini untuk memakmurkan surau tempat anak-anaknya mengaji.
“Wah, Imron! Ternyata kamu ikut juga.” Rudi, teman sebayaku saat mengaji dan sekolah, ternyata sudah hadir di posko lebih awal dariku.
“Yah, lagian nggak ada kerjaan juga di rumah,” jawabku sekenanya. Akhirnya kami mengobrol tentang banyak hal.
“Ayo, Cung. Mumpung jalanan belum ramai, sini makan bareng dulu.” Kung Herman yang sedari tadi sudah hadir memanggil kami yang sedang asyik mengobrol.
Aku baru tahu kalau setiap sebelum kegiatan menggalang dana, ternyata mereka yang menjaga posko makan bersama terlebih dahulu. Dan sekarang aku tahu mengapa ayah sering tidak makan bersamaku dan Ibu ketika pagi, saat aku hendak berangkat sekolah.
“Hari ini siapa yang masak, Kung?” tanya ayah kepada Kung Herman.
“Ya kalau bukan istriku yang paling cantik sedunia siapa lagi?” jawab Kung Herman yang kemudian diiringi gelak tawa oleh semua yang hadir.
Akhirnya kami semua makan dengan lahap. Enak sekali masakan istri Kung Herman itu. Aku sampai menambah porsi makanku. Dan samar-samar kudengar celetukan dari Ayah, “Tumben makan banyak. Jadi anak angkat Kung Herman sajalah kalau begitu.” Dan lagi-lagi semua yang hadir tertawa mendengar ucapan ayah.
Sungguh, suasana yang begitu damai. Bahkan aku dan Rudi pun belum pernah menemukan kedamaian seperti ini di sekolah. Yang ada, hanya anak-anak yang suka melakukan kekerasan pada siswa yang dianggap culun. Kasus terbaru, Irwan sampai harus dirawat di rumah sakit gara-gara mendapat perlakuan keras dari sejumlah siswa yang terkumpul dalam sebuah geng. Huh, memang apa bagusnya menjadi anak geng?!
Usai makan, ayah, Kung Herman, serta beberapa orang lainnya sama-sama menghidupkan sebatang kretek. Tidak lupa ada beberapa cerita yang terselip di tengah-tengah kegiatan mereka itu. Sementara aku dan Rudi masih sibuk mengobrol masalah pelajaran, permainan, bahkan percintaan. Ah, dasar anak lelaki memang.
Jam menunjukkan pukul tujuh. Jalanan mulai ramai dilewati orang-orang yang lalu-lalang untuk pergi ke wisata Alam Biru. Kami pun bersiap-siap untuk segera menggalang dana. Ayah membetulkan papan peringatan “Hati-hati ada amal” yang sebelumnya diletakkan di kolong meja. Dan Kung Herman menghidupkan speaker untuk memutar lagu-lagu kasidah. Beberapa orang lainnya sudah siap berada di pinggir jalan untuk menerima uluran tangan para pengendara yang diselipi uang.
Namun, tepat sebelum kegiatan menggalang dana dimulai, kami melihat Pak Kades serta dua jajaran desa menghampiri posko mengendarai mobil berplat merah. Mereka menggunakan baju dinas yang begitu rapi. Sepatunya yang mengilat dan kinclong itu menyilaukan mata orang-orang posko ini yang hanya beralaskan sepatu boots lusuh atau sandal jepit yang hampir putus. Mobil Pak Kades berhenti tepat di depan posko. Ia dan dua orang jajaran desa menghampiri kami.
“Bapak-bapak sekalian, saya harap kegiatan ini segera dihentikan. Karena tidak ada laporan sama sekali kepada desa bahwa akan ada kegiatan menggalang dana di sini. Saya harap, Anda semua tidak mempermalukan desa kita,” ucap Pak Kades yang tak disangka-sangka itu.
Awalnya aku mengira mungkin saja Pak Kades ingin menyumbangkan dana dengan nominal yang cukup besar. Namun, apa yang ia ucapkan barusan jelas memberi tahu bahwa ia tak setuju jika kegiatan ini dilanjutkan. Yang benar saja!
“Ngomong-ngomong, siapa yang menjadi ketua panitia?” lanjutnya.
Ayahku yang sedari tadi masih bingung dan terkejut dengan apa yang terjadi langsung maju dan berdiri di hadapan Pak Kades.
“Begini, Pak. Mumpung Pak Kades ada di sini, mari kita bicarakan dulu dengan baik,” ucap ayah pada Pak Kades.
“Bukannya enggan, Pak. Hanya saja, saya ada banyak urusan yang harus diselesaikan di kantor. Jadi, karena Anda adalah ketua panitianya, saya harap ini diselesaikan secepatnya. Ingat kata-kata saya. Jangan sampai mempermalukan desa kita,” tandas Pak Kades.
Setelah itu, tak ada kata-kata lagi. Dan Pak Kades serta dua jajaran desa itu kemudian masuk ke mobil untuk akhirnya meninggalkan kami dengan penuh tanda tanya.
“Braaaakk!!!!” Kung Herman menggebrak meja tempat meletakkan kotak uang.
“Apa-apaan ini. Mengapa baru sekarang dia datang. Mengapa tidak dari kemarin-kemarin saja,” ucap Kung Herman dengan sangat geram. Suasana di posko pun akhirnya cukup riuh. Kulihat wajah ayah tegang sekali melihat keadaan itu.
“Sudahlah, lebih baik kita pulang saja. Hari ini, kegiatan menggalang kita urungkan dulu,” ujar ayah pada semua yang hadir.
“Lah, lalu bagaimana dengan surau tempat anak kita mengaji? Kita musti memperjuangkan kegiatan ini!” Kung Herman bersikukuh untuk tetap melanjutkan kegiatan.
“Sudahlah. Aku yang menjadi ketua panitia kegiatan ini. Akan kuusahakan dulu dan kuurus agar kegiatan bisa terus berlanjut,” jelas ayah yang kemudian diikuti dengan langkah kaki semua orang untuk bergegas pulang. Aku dan Rudi pun berpisah, dan tentunya kecewa karena tidak bisa mengikuti kegiatan menggalang dana ini.
Keesokan paginya, seperti biasa ibu mempersiapkan sarapan pagi. Dan tentunya hari ini ayah juga akan sarapan bersama kami, karena kutahu kegiatan menggalang dana hari ini tidak akan dilakukan. Namun, saat semua makanan sudah siap di meja, hanya ibu yang kutemui di dapur. Ayah tak ada.
“Lho, Bu. Ayah mana? Bukannya sekarang nggak ada kegiatan ya?” tanyaku pada ibu yang sedang mengulek sambal. Sentuhan terakhir untuk sarapan pagi.
“Entah. Barusan katanya mau keluar sebentar. Suruh makan duluan saja kata ayahmu,” terang ibu memberi tahuku. Akhirnya, pagi ini lagi-lagi ayah tak ikut sarapan bersama kami.
Setelah sarapan, ayah tak kunjung datang juga. Aku pun berpamitan pada ibu untuk segera berangkat sekolah. Tak lupa, aku minta uang saku pada ibu. Andai ayah ada, aku akan pura-pura mengatakan belum diberi uang saku oleh ibu. Dan biasanya ayah akan memberikan uang dengan jumlah lebih banyak dari pada ibu. Tapi sayangnya ayah tak kunjung datang.
Dalam perjalanan, kulihat ada keramaian di kantor kepala desa. Kebetulan jalan menuju sekolah melalui halaman kantor desa. Ada banyak sekali orang yang mengerumuni halaman tersebut. Teringat dengan kejadian kemarin, aku langsung masuk dalam kerumunan itu. Benar saja, ternyata ayah berada di barisan terdepan. Sendirian. Dan kulihat, astaga, wajah Pak Kades terlihat tegang.
“Asal bapak tahu, saya sudah meminta izin pada pak camat beserta seluruh investor yang menggunakan tanah tempat kegiatan posko tersebut. Jika tak percaya, lihat surat-surat ini dengan jeli!” bentak ayah sambil menghamburkan beberapa kertas di hadapan Pak Kades.
“Untuk apa Bapak ikut campur dalam kegiatan kecil ini? Padahal banyak program desa yang sampai saat ini belum terlaksana. Sekarang saya tanya, ke mana uang hasil iuran yang katanya akan dibuat untuk renovasi masjid? Ke mana, Pak? Padahal kami sudah susah payah mengumpulkan uang tersebut, tapi sampai tiga tahun tak ada kabar,” lanjut ayah masih dengan nada yang semakin tinggi.
Para warga yang berkerumun pun ikut bersorak “Betul itu, betul…..” Dan sorakan para warga yang tak ada hentinya itu membuat wajah Pak Kades semakin tegang dan memerah. Sepertinya ia marah, atau mungkin malu.
Di tengah-tengah sorakan itulah, ayah kemudian berbalik badan hendak meninggalkan Pak Kades yang masih mematung. Samar-samar kulihat Pak Kades merogoh tangannya ke dalam saku celana. Dan saat kucoba memicingkan mata, celaka! Pak Kades menggenggam sebuah pisau lipat. Sontak aku berlari menuju ayah, dan tas yang kugendong pun kulempar entah ke mana. Celaka! Pak Kades menggenggam sebuah pisau.
“Ayaaaaaah…!!!”
Sumber ilustrasi: pixabay.