Ketika rakyat mulai terimpit oleh beban pajak yang mencekik, itulah tanda-tanda awal sebuah rezim menuju keruntuhannya atau awal suatu negara menuju kehancurannya.
Itu bukan pendapat saya. Itu pendapat Ibn Khaldun.

Selama ini, Ibn Khaldun yang hidup di abad ke-14 Masehi itu lebih dikenal sebagai sarjana muslim terkemuka di zamannya. Belakangan, di era modern, Ibn Khaldun juga mulai dikenal sebagai filosof dan sosiolog brilian serta ahli ekonomi. Bahkan, ia juga dianggap menguasai masalah perpajakan. Semua pemikiran Ibnu Khaldun tertuang dalam karyanya yang masyhur, kitab babon Mukaddimah. Banyak pengkaji Mukaddimah berkesimpulan, pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun melampui zamannya.
Salah satu yang mengakui kehebatan pemikiran Ibn Khaldun adalah Arthur Laffer, ekonom terkemuka Amerika Serikat yang hidup di abad ke-20 Masehi. Arthur Laffer kemudian, berdasarkan pengakuannya sendiri, meminjam konsep perpajakan yang dirumuskan Ibn Khaldun untuk melahirkan teori Kurva Laffer. Ini merupakan teori keseimbangan pajak. Teori Arthur Laffer ini kemudian banyak digunakan negara di dunia untuk merumuskan kebijakan perpajakan.
Dalam konsep Ibn Khaldun yang dipinjam Arthur Laffer itu, kebijakan pajak atau fiskal bukan melulu persoalan angka atau tarif. Di dalamnya harus mengandung muatan untuk menghadirkan keadilan, keseimbangan dan pemerataan, dan keberlanjutan ekonomi suatu bangsa. Itulah kenapa Kurva Laffer juga disebut sebagai teori keseimbangan pajak.
Jika kita membaca Rihlah Ibn Khaldun, teori itu tidak dibangun dari ruang hampa. Ia didasarkan pada empirisme. Ia didasarkan pada praktik dari satu negara ke negara lain. Ia didasarkan dari praktik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia didasarkan pada praktik dari satu zaman ke zaman lain. Melalui Rihlah kita tahu, Ibn Khaldun adalah seorang pengelana. Ia telah menyaksikan dan mengamati dengan teliti jatuh bangunnya banyak rezim, lahir dan runtuhnya banyak negara.
Dari sejarah yang dia teliti dengan tekun itu, Ibn Khaldun berkesimpulan bahwa ketidakbecusan suatu rezim dalam mengelola keuangan negara, termasuk di dalamnya kebijakan perpajakan, seringkali menjadi penyebab awal jatuhnya suatu rezim atau runtuhnya suatu negara.
Ibn Khaldun membaginya ke dalam tiga siklus. Pertama, ketika suatu rezim baru tertentuk, lazimnya akan sangat “peduli” kepada rakyat. Rezim ini akan menempuh “jalan populis” untuk menarik simpati dan dukungan dari rakyat agar posisi sebagai penguasa makin legitimate. Ketika kedudukannya semakin kuat, suatu rezim biasanya memasuki siklus kedua: mengelola keuangan negara dengan cara sangat boros. Para pejabat hidup bermewah-mewah, tidak seperti sebelumnya. Ketika keuangan negara mulai cekak sebab pemborosan, siklus ketiga sudah di ambang pintu: untuk membiayai kehidupan penguasa yang mewah itu, maka bebannya harus dipikul oleh rakyat: rezim mulai memajaki rakyatnya secara ugal-ugalan.
Pada siklus ketiga inilah, berdasarkan pengamatan Ibn Khaldun, anomali mulai bekerja. Jangan pernah membayangkan ketika tarif pajak dikerek tinggi-tinggi pendapatan negara akan naik drastis. Sebab, yang akan terjadi justru defisit ganda. Defisit pertama, pendapatan negara justru akan menurun. Tarif pajak yang tinggi, mencekik, akan menyebabkan dunia usaha dan ekonomi masyarakat limbung. Diperparah munculnya sentimen ketidakadilan, ekonomi akan melesu karena dunia usaha menurun produksinya dan masyarakat ogah bekerja keras karena pendapatan mereka akan diisap oleh negara. Sedangkan, defisit kedua, penguasa akan mulai kehilangan kepercayaan dan dukungan dari rakyatnya. Inilah titik krusialnya. Ketika suatu rezim telah kehilangan kepercayaan dan dukungan dari rakyatnya, maka masa kejatuhannya tinggal menunggu waktu.
Apakah kenaikan pajak pendapatan nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku Januari 2025 tergolong sebagai “beban yang mencekik rakyat” seperti yang dimaksudkan dalam teori Ibn Khaldun? Jawabannya masih berada di ruang debatable. Tapi kita bisa bersandar pada setidaknya dua fenomena untuk mencari jawabannya.
Pertama, apa yang ditempuh negara-negara lain jika mengalami hal yang sama. Ada dua contoh terdekat, yaitu apa yang dilakukan Argentina dan Vietnam belum lama ini. Argentina sampai 2023 lalu masih mengalami masalah ekonomi mirip Indonesia. Javier Milei, yang pada 2023 lalu baru terpilih sebagai presiden, langsung mengadakan perombakan besar-besaran. Ia melakukan reformasi berokrasi dan memberikan insentif perpajakan. Jumlah kementerian, misalnya, yang sebelumnya 19 dipangkas dan hanya tersisa 8. Hal yang sama juga ditempuh Vietnam. Setelah menurunkan PPN dari 10% menjadi 8%, Vietnam juga mulai merampingkan birokrasi. Jumlah kementerian akan dikurangi seperti yang dilakukan Argentina.
Apa yang dilakukan Argentina dan Vietnam oleh dunia dianggap sebagai terobosan brilian untuk memperbaiki tata kelola keuangan dan perekonian negara. Bahkan, Donald Trump yang baru terpilih sebagai presiden Amerika Serikat dikabarkan juga akan mencontek apa yang dilakukan Argentina dan Vietnam. Situasi sebaliknya justru terjadi Indonesia. Pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto justru kian menggemukkan birokrasi. Jumlah kementerian ditambah dari 34 menjadi 48. Selain itu, dalam situasi sulit seperti ini, tarif pajak terus dikerek naik.
Kedua, bagaimana suara publik merespons kenaikan tarif pajak. Saat ini, suara penolakan masyarakat terhadap kenaikan tarif pajak terus menguat. Di berbagai daerah masyarakat mulai berunjuk rasa. Di lini masa, orang bersahut-sahutan mengungkapkan kekesalan atas kenaikan tarif pajak. Meskipun ada koor dari pejabat yang menegaskan bahwa kenaikan PPN tidak akan berdampak negatif pada ekonomi nasional, namun di lapangan harga-harga sudah mulai merambat naik —mendahului kenaikan pajaknya.
Dari dua fenomena tersebut, saya khawatir teori Ibn Khaldun bisa berlaku di sini. Tapi semoga tidak.