Pajak dan Keadilan Sosial dalam Perspektif Islam

103 views

Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang berlaku mulai Januari 2025. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan dan memenuhi kebutuhan fiskal.

Meski dimaksudkan untuk menopang keberlanjutan anggaran, kebijakan ini tidak lepas dari kritik. Banyak masyarakat merasa khawatir kenaikan PPN akan berdampak langsung pada peningkatan harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok. Hal ini tentu akan semakin memberatkan masyarakat kecil yang sudah terbebani dengan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Advertisements

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk melihat kebijakan pajak ini dari perspektif Islam. Bagaimana pandangan syariat tentang pajak? Apa batasan dan prinsip yang ditetapkan Islam untuk memastikan bahwa pajak tidak menjadi alat penindasan, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama?

Pajak dalam Perspektif Islam

Sejak zaman Rasulullah SAW, Islam telah mengenal berbagai jenis kontribusi keuangan. Selain zakat, yang merupakan kewajiban bagi umat Islam, terdapat pula bentuk kontribusi lain yang berfungsi mendukung kebutuhan negara. Istilah seperti kharaj, usyr, jizyah, al-maks, dan dhoribah sering kali digunakan untuk menjelaskan pajak dalam Islam.

Istilah kharaj (sewa tanah), ‘usyr (bea masuk), jizyah (pajak kepala/upeti), al maks (pungutan liar yang dilakukan oleh oknum/preman yang tidak diperintahkan oleh Rasulullah SAW), dan istilah pungutan lain yang pernah ada, pada umumnya juga diterjemahkan menjadi “pajak”.

Inilah awal kerancuan yang menyebabkan kesalahpahaman dalam memaknai pajak. Masing-masing istilah tersebut sebenarnya berbeda, baik maksud, subjek, objek, maupun tujuan penggunaannya, sehingga tidaklah tepat semuanya diterjemahkan menjadi ‘pajak’.

Padanan kata yang paling tepat untuk pajak menurut sistem ekonomi Islam bukan jizyah karena jizyah artinya kehinaan, rendah, atau berkurang. Menurut Khalifah Umar bin Khattab, sungguh tidak pantas kaum muslim dipungut dengan kehinaan karena segala aktivitas muslim yang mengikuti perintah Allah SWT termasuk dalam nilai ibadah yang berarti kemuliaan.

Oleh sebab itu, pajak bagi kaum muslim tidak dapat diartikan kehinaan, rendah, atau berkurang. Rasulullah SAW tidak pernah menyebut apalagi mengenakan jizyah untuk kaum muslim. Jizyah lebih tepat diterjemahkan dengan “upeti” (pajak kepala), yang dikenakan terhadap Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) dan Majusi (kaum penyembah api), sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha’, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah, Sa’id Hawwa dalam kitab Al-Islam, Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’atul Fatawa, dan Imam Al Mawardi dalam kitab Al Ahkam al Sulthaniyah.

Sementara, usyr adalah pajak yang dikenakan pada hasil perdagangan atau barang impor. Pajak ini merujuk pada tarif tertentu, biasanya sebesar 5%, yang dikenakan kepada pedagang non-muslim atau barang dagangan dari luar wilayah Islam. Dalam konteks modern, usyr dapat disamakan dengan bea masuk atau tarif perdagangan internasional.

Sementara itu, jizyah merupakan pajak yang dikenakan kepada non-Muslim yang tinggal di negara Islam sebagai bentuk kontribusi untuk perlindungan dan hak-hak mereka. Pajak ini hanya berlaku bagi laki-laki dewasa yang mampu secara finansial, dengan pengecualian bagi wanita, anak-anak, dan orang yang tidak mampu.

Namun, menurut para ulama, salah satunya Yusuf Qardhawi, untuk menggambarkan pajak dalam konteks modern, istilah yang paling relevan adalah dhoribah. Secara bahasa, dhoribah berarti “pungutan” atau “pajak” yang dikenakan oleh negara kepada rakyatnya.

Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyah menyebutkan bahwa dhoribah hanya boleh dikenakan dalam kondisi darurat, seperti ketika baitul mal kosong atau negara menghadapi kebutuhan mendesak. Dengan kata lain, dhoribah adalah solusi temporer yang harus dikelola secara adil dan transparan untuk menghindari penindasan.

Pajak Bisa Menjadi Haram

Islam memandang pajak sebagai alat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Namun, pajak bisa menjadi haram jika tidak memenuhi prinsip syariat. Berikut adalah beberapa situasi yang menjadikan pajak tidak halal:

Pertama, zalim dan memberatkan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa pajak harus bersifat adil dan tidak memberatkan masyarakat miskin. Jika pajak justru menyebabkan penderitaan atau memperparah kesenjangan ekonomi, maka ia bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.

Kedua, penggunaan yang tidak sesuai dengan syariat. Dalam Al-Muwafaqat, Imam Asy-Syatibi menyampaikan bahwa kebijakan negara, termasuk pajak, harus memenuhi maqashid syariah: melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pajak yang digunakan untuk mendanai proyek maksiat, perang yang tidak adil, atau korupsi jelas bertentangan dengan prinsip ini.

Ketiga, tak transparansi dan akuntabel. Dalam QS. An-Nisa: 58, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”

Pajak adalah amanah publik yang harus dikelola dengan transparansi. Dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah menekankan bahwa pajak yang disalahgunakan atau dikelola tanpa transparansi adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat.

PPN 12% dalam Perspektif Syariat

Dalam konteks modern, PPN dapat dikategorikan sebagai bentuk dhorbah. Namun, kebijakan seperti ini harus dievaluasi secara hati-hati untuk memastikan bahwa prinsip keadilan Islam terpenuhi. Berikut adalah beberapa poin penting:

Pertama, prinsip keadilan. Islam menekankan pentingnya keadilan dalam setiap kebijakan. Pajak yang dikenakan harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar. Dalam hal ini, PPN sebagai pajak yang bersifat regresif menjadi tantangan.

Kedua, tujuan pemanfaatan pajak. Kenaikan PPN hanya dapat diterima jika hasilnya benar-benar digunakan untuk kebutuhan mendesak masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.

Ketiga, transparansi dan akuntabel. Negara harus memastikan bahwa hasil pajak dikelola secara jujur dan dilaporkan secara terbuka kepada rakyat.

Keempat, amanah. Dhoribah atau pajak dalam Islam dipandang sebagai amanah besar yang menuntut keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Jika dikelola dengan benar, pajak dapat menjadi sarana kebaikan yang membawa manfaat bagi seluruh rakyat. Namun, jika disalahgunakan, pajak menjadi alat penindasan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Sebuah Renungan

Kenaikan PPN menjadi 12% menjadi momentum untuk mengkaji ulang fungsi pajak dalam kehidupan bernegara. Pajak bukan sekadar soal angka atau strategi fiskal, melainkan cerminan dari hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dalam Islam, pajak tidak hanya berbicara tentang kewajiban warga negara, tetapi juga menyangkut amanah, keadilan, dan tanggung jawab moral.

Ketika pajak diterapkan secara adil, transparan, dan tepat guna, ia bisa menjadi instrumen yang menguatkan fondasi negara dan menyejahterakan rakyat. Namun, jika pengelolaannya abai terhadap prinsip keadilan, pajak hanya akan menjadi simbol penindasan yang menggerus kepercayaan masyarakat.

Kebijakan fiskal semestinya tidak hanya dilihat dari kemampuan negara untuk mengumpulkan dana, tetapi juga bagaimana kebijakan tersebut menjawab kebutuhan paling mendesak dalam masyarakat. Sebab pada akhirnya, keberlanjutan negara tidak ditentukan oleh jumlah pajak yang dipungut, melainkan oleh sejauh mana ia menciptakan keadilan dan memberikan manfaat bagi semua pihak.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan