Di sinilah Putro kini berada. Duduk menghadap hakim di sebuah pengadilan, ditemani oleh sanak familinya yang duduk sedikit jauh dari posisinya. Pemuda berwajah polos itu menghadiri sidang pertamanya yang digelar sejak satu jam yang lalu. Sebenarnya, ia tak perlu repot-repot menghadiri sidang itu jika tidak terseret dalam sebuah kasus. Kasus yang beberapa hari kemarin terjadi di sekolah SMA-nya dan menghebohkan jagat pendidikan.
Kasus apakah sehingga mengharuskan Putro duduk di pengadilan dan menghebohkan jagat pendidikan? Padahal kalau hanya kasus sekolahan, seharusnya pihak sekolah saja yang mengurusinya. Toh, di sekolah sudah ada BP, BK, dan Kaur Kesiswaan yang tugasnya memang mengurusi masalah yang terjadi di sekolah.
Bukan. Kasus yang menjerat Putro bukan sekadar lupa bayar uang semester. Bukan pula karena tidak memakai seragam sekolah, apalagi hanya persoalan terlambat datang ke sekolah. Mungkin bisa dibilang kriminalitas, atau mungkin pembelaan hak asasi, atau apalah. Yang jelas, Putro sudah merenggut nyawa Pak Guru Salim. Seorang guru yang baru dipindahkan dari kota.
Bukan tanpa alasan Putro melakukan tindakan yang tidak seharusnya ia lakukan. Kejadian ini dimulai ketika ia lupa mengerjakan PR yang diberikan oleh Pak Guru Salim, lantaran beberapa hari Putro mengidap demam yang mengakibatkannya harus berbaring cukup lama di ranjang.
Ketika pelajaran sedang berlangsung, Pak Guru Salim menanyakan tugas yang kemarin diberikan. Serta-merta para siswa mengeluarkan buku tugasnya masing-masing, kecuali Putro.
“Aduh, semprul! Lupa aku!” ucap Putro lirih sambil mengeplak jidatnya dengan telapak tangan. Tanpa ia sadari, ternyata Pak Guru Salim mendengar apa yang baru saja diucapkan Putro.
“Apa? Lupa kamu bilang?!” Mendadak raut wajah Pak Guru Salim merah padam. Ia terlihat sangat marah. Wajahnya yang ditumbuhi kumis tebal dan jenggot tipis-tipis itu ternyata membuat Putro cukup ketakutan sampai tubuhnya gemetar.
“Maju!” titah Pak Guru Salim dengan nada membentak. Sekejap Ruang kelas menjadi sangat hening.
Putro akhirnya maju. Namun, saat beberapa langkah hampir sampai di meja guru ia dikejutkan dengan sebuah penghapus papan yang mendarat tepat di batok kepalanya. “Aw!” Ia berhenti mengerang kesakitan. Tiba-tiba lagi sebuah buku paket mendarat di tempat yang sama. Tentu saja itu sangat menyakitkan.
“Kalau besok kamu tidak mengerjakan PR lagi, bukan cuma penghapus dan buku paket yang melayang. Biar saya lempar sepatu sekalian ke kepalamu itu!” bentak Pak Guru Salim.
Suara Pak Guru Salim terdengar kencang sekali. Sampai-sampai siswa kelas sebelah keluar dan mengintip dari jendela demi mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Keluar kamu sekarang! Dasar keparat!”
Dengan perasaan campur-aduk Putro akhirnya bergegas keluar kelas. Khawatir kepalanya jadi sasaran empuk untuk yang ketiga kalinya.
Saat berada di luar kelas, Putro memaki dalam hati, “Hukuman macam apa ini?” batinnya, “Nggak ada klarifikasinya dulu, main hukum seenaknya.”
Pikirannya sudah tak jernih. Ia sangat kesal sekali. Bagaimana tidak? Guru baru yang sok-sokan menghukum padahal tidak tahu masalah yang sebelumnya dialami Putro. Dan lagi, buat apa Pak Guru Salim mencacinya? Seolah Putro hanya menjadi bahan pelampiasan nafsu saja. Lantas, di mana letak seorang guru sebagai teladan bagi siswanya?
Dengan hukuman yang tidak jelas itu, bisa saja Pak Guru Salim mengatasnamakan ‘cara mendidik’ untuk dijadikan dalih kekerasan. Tak adakah cara mendidik yang lebih baik dari pada kekerasan fisik?
Hari itu, pikiran Putro benar-benar kacau. Saat ia berdiri di depan pintu kelas tak sengaja tangannya merogoh saku celana dan menggenggam sesuatu. Ia ingat bahwa sebentar lagi adalah mata pelajaran prakarya. Putro mengeluarkan benda tersebut dan sekilas tersenyum sinis saat mendapatinya. Celaka! Kini setan menguasai pikirannya.
Serta-merta ia membalikkan badan dan membuka pintu. Ketika itu Pak Guru Salim tengah menulis di papan. Para siswa yang awalnya fokus memperhatikan penjelasan, kini mengalihkan pandangannya ke arah Putro yang menatap Pak Guru Salim dengan tajam. Pak Guru Salim yang menyadari kalau Putro masuk ke kelas tanpa disuruh pun menghentikan penjelasannya.
“Hei! Dasar! Kamu kan saya sur…”
CRAAAKK…
Naas, sebelum Pak Guru Salim menyelesaikan kalimatnya, pisau prakarya yang digenggam Putro sudah lebih dulu menancap di lehernya. Putro melempar pisau itu dengan sangat kuat, sehingga menembus urat pernapasan Pak Guru Salim dan menyebabkannya meninggal di tempat.
Kini, di sinilah Putro berada, di ruang pengadilan yang penuh ketegangan. Dengan tatapan kosong, ia tampak seolah menyesali perbuatannya, atau mungkin malah tidak peduli. Beberapa kali Putro ditanyai oleh hakim namun tidak ada jawaban. Ini sudah pertanyaan yang ketiga. Hingga, di pertanyaan hakim yang keempat…
“Bocah! Kenapa kamu bunuh gurumu sendiri?!”
Putro bangkit sambil menggebrak meja dan berbicara dengan suara lantang.
“Bapak hakim! Kalau guru kencing sambil berdiri, jangan salahkan murid jika kencing sambil berlari!”
Hening. Tak ada suara lagi setelah ucapan Putro itu. Suara tik-tok jam dinding yang terletak di belakang hakim samar-samar terdengar, membuat suasana semakin mencekam.