Nama lengkapnya Sanepoyono. Tapi ada yang memendekkan nama itu menjadi Sane, atau Poyo dan juga Yono. Orang memang sering suka-suka memendekkan nama orang lain, senyaman lidah mengucapkannya. Maka, suatu waktu ia dipanggil Pak Lurah Sane, Pak Lurah Poyo, atau kadang Pak Lurah Yono. Namun, belakangan, banyak orang mulai menyebut namanya dengan cara berbisik-bisik: Pak Lurah Nepo (Kelak, bertahun-tahun kemudian, anak-anak yang mendaku sebagai generasi milenial mengiranya berasal dari bahasa Inggris Nepotism, yang kemudian dipotong dan dijadikan media canda seperti ini: kepo boleh, tapi jangan nepo).
***
Pada akhirnya ia memang menjadi seorang lurah. Lurah sebuah desa yang berada di pinggiran Alas Purwo, di ujung paling timur Pulau Jawa. Desa Konoha-ha, namanya. Dalam bahasa Jawa, kono berarti di sana, dan ha-ha adalah suara orang tertawa. Entahlah kenapa desa itu dinamai Konoha-ha. Mungkin itu merupakan desa tempat orang bebas tertawa atau terpaksa harus tertawa.
Sebelum menjadi lurah, saban hari ia keluar masuk hutan, mencari dan memotongi dahan-dahan pohon jati. Dahan-dahan pohon jati itu kemudian dipotong-potong rapi dengan ukuran panjang yang sama, lalu dipikul memakai ongkek dengan berjalan kaki selama lebih dari sejam sampai ia tiba di rumahnya. Setiba di rumah, potongan-potongan dahan kayu jati itu dijejer di pelataran rumah, seperti yang ia lakukan hari-hari sebelumnya. Kayu-kayu itu dijemur sepanjang waktu. Ketika kayu-kayu itu telah kering, ia akan menjualnya sebagai kayu bakar. Ya, di desa Konoha-ha itu, ia memang dikenal sebagai seorang penjual kayu bakar untuk menyalakan tungku-tungku dapur orang-orang desa.
Dengan dibantu istri dan tiga anaknya, kayu-kayu bakar itu tidak hanya dijual di Konoha-ha. Kayu-kayu bakar itu juga dijual di desa-desa tetangga, atau bahkan desa-desa lain yang agak jauh dari Konoha-ha. Biasanya, untuk memenuhi permintaan dari desa-desa yang agak jauh, ia menyuruh anak-anaknya untuk mengantarkan kayu-kayu bakar pesanan tersebut. Bahkan, jika persediaan kayu bakar mulai menipis, satu keluarga itu bersama-sama merambah hutan. Mereka mencari dahan-dahan kayu jati untuk dipotong-potong menjadi kayu bakar. Jika umumnya keluarga-keluarga lain menggantungkan mata pencaharian dengan bertani atau beternak, keluarga ini memilih menjadi tukang kayu bakar. Tapi justru dengan keuletan menjalankan usaha kayu bakar itu, keluarga yang dulunya miskin ini menjadi lebih berada. Lebih berkecukupan dibandingkan dengan tetangga-tetangganya, dari orang-orang sedesanya. Dengan itu keluarga ini mulai punya nama, tak dipandang sebelah mata.
***
Pak Bores sudah lama sakitan-sakitan. Lurah yang sudah sangat uzur itu hanya bisa terbaring di ranjang. Praktis, Konoha-ha seperti tanpa lurah. Meskipun begitu, orang-orang desa Konoha-ha belum punya niat segera memilih lurah baru. Sebab, belum ada tanda-tanda siapa yang layak menggantikan posisi Pak Bores. Adapun, Mbah Roso, tetua desa, juga belum memberikan isyarat apa-apa. Ia belum memperoleh pertanda. Padahal, kepada Mbah Roso, Pak Bores juga sudah berpesan agar segera dicarikan penggantinya.
“Aku sudah tua, sudah sakit-sakitan, Mbah. Sudah saatnya ada yang menggantikan. Aku sudah ikhlas. Ajaklah orang-orang bicara untuk mencari siapa yang pantas, ” pinta Pak Bores ketika Mbah Roso bertamu.
Malam itu, sepulang dari membesuk Pak Bores, Mbah Roso duduk sendirian di pelataran rumahnya. Ia duduk bersila dalam kegelapan. Sendirian, Mbah Roso seperti akan menghabiskan malam di pelataran rumahnya. Hanya sesekali ditemani percikan bara dari rokok keretek yang jarang diisapnya. Ketika rokoknya padam, ia menengadah ke langit. Saat itulah tubuhnya yang ringkih berjingkat. Ia melihat cahaya biru kehijauan, melesat cepat dari arah rumah Pak Bores menuju ke Selatan, lalu jatuh dan hilang di dalam kegelapan. Mbah Roso berdiri, lalu berjalan ringan mengikuti arah jatuhnya cahaya biru kehijauan tersebut. Beberapa lama kemudian Mbah Roso berhenti, ternyata persis di depan rumah Sanepoyono yang sepi.
“Pulungnya ke sini…,” Mbah Roso mendesis sambil melangkah pulang.
Esok paginya, kabar Mbah Roso melihat pulung itu sudah mulai tersebar dari rumah ke rumah, juga melalui pematang-pematang sawah. Beberapa petani yang berpapasan di pematang sawah pun berhenti sejenak untuk memperbincangkan kabar Mbah Roso melihat pulung itu.
“Jadi kita akan segera punya lurah baru ya Kang?”
“Iya.”
“Iya kalau yang ketiban pulung mau.”
“Tidak mau bagaimana, itu kan takdir.”
“Namanya orang, siapa tahu…”
***
Sanepoyono, yang sudah lebih sering secara bisik-bisik dipanggil dengan nama Pak Lurah Nepo, telah cukup lama hanya bisa tergolek di ranjangnya. Ia belum setua Pak Bores ketika dulu pendahulunya itu sakit dan kemudian mangkat. Mungkin karena bekerja terlalu keras dan tak kenal waktu untuk membangun desanya, Pak Lurah Nepo akhirnya jatuh sakit. Beruntung, sejak awal menjadi lurah, ia sudah mengangkat anak-anaknya sebagai perangkat desa untuk membantu menjalankan tugas-tugasnya. Karena itu, ketika ia jatuh sakit, roda pemerintahan desa tetap berjalan karena semua sudah dikendalikan oleh anak-anaknya. Tidak seperti Pak Bores yang tidak mewariskan apa-apa kepada anak-anaknya.
Malam itu, Mbah Roso yang sudah semakin uzur akhirnya membesuk Pak Lurah Nepo. Dengan bertumpu pada sebatang tongkat, sendirian Mbah Roso berjalan tertatih-tatih memasuki rumah Pak Lurah Nepo. Tuan rumah hanya sendirian tergolek di ranjang ditemani lampu temaram. Ketika Mbah Roso duduk di samping ranjang, Pak Lurah Nepo membuka mata.
“Mbah…”
Mbah Roso memegang tangan Pak Lurah Nepo. Mulutnya tak mengeluarkan suara, tapi bibirnya berkomat-kamit. Mbah Roso memejamkan mata.
“Mbah… anak-anakku sudah kulatih menjalankan tugas-tugas lurah. Biarlah satu di antara mereka nanti menjadi penggantiku, jika waktunya tiba. Tinggal Mbah Roso sampaikan pada warga desa.”
Mbah Roso mendesis pelan, membuka matanya, menatap tajam wajah Pak Lurah Nepo. “Pak Lurah, aku belum melihat pulungnya. Pulung itulah yang jadi pandu.”
“Tak perlu menunggu pulung untuk itu Mbah.”
“Hah? Maksudmu, Konoha-ha dipimpin orang tanpa dasar pulung? Apa kata anak cucu kita nanti?’
“Mereka akan melupakannya Mbah.”
Hening. Kemudian Mbak Roso undur diri tanpa memberikan jawaban. Pak Lurah Nepo hanya bisa memandangi punggung tetua desa itu sampai tubuhnya hilang ditelan malam.
Malam itu, sepulang dari membesuk Pak Lurah Nepo, Mbah Roso tidak langsung masuk ke rumahnya. Ia memilih duduk sendirian di pelataran. Ia duduk bersila dalam kegelapan. Sendirian, Mbah Roso seperti akan menghabiskan malam di pelataran rumah. Ketika tubuhnya diterpa angin yang kian dingin, mata Mbah Roso terbuka lebar, lurus menatap ke arah rumah Pak Lurah Nepo. Persis di saat itulah, ia melihat cahaya biru kehijauan melesat cepat dari atas rumah Pak Lurah Nepo. Cahaya itu berputar-putar sebentar di atas rumah Pak Lurah Nepo, kemudian meluncur semakin tinggi, sampai ditelan awam hitam. Mbah Roso kehilangan jejak, tidak tahu pulung itu jatuh di mana.
Esok paginya, kabar Mbah Roso melihat pulung namun kehilangan jejaknya itu sudah mulai tersebar dari rumah ke rumah, juga melalui pematang-pematang sawah. Beberapa petani yang berpapasan di pematang sawah pun berhenti sejenak untuk memperbincangkan kabar Mbah Roso kehilangan jejak pulung itu.
“Desa kita kehilangan pulung ya Kang?”
“Iya. Kita akan dipimpin orang yang tak punya pulung.”
“Desa kita bisa jadi tertawaan orang nanti.”
“Mau bagaimana, kalau itu sudah takdir.”