Panca Kesadaran Santri Nurul Jadid

26 views

Jika Indonesia punya Pancasila sebagai dasar negara, santri Pondok Pesantren Nurul Jadid punya Panca Kesadaran sebagai pedoman berperilaku.

Panca Kesadaran tersebut dicetuskan sendiri oleh KH Zaini Mu’im, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Lima prinsip dalam Panca Kesadaran tersebut harus menjadi pegangan seluruh santri Nurul Jadid. Tak hanya itu, setiap santri menghafal dan menjadikannya pedoman sebagai seorang santri.

Advertisements

Lima poin dalam Panca Kesadaran tersebut adalah, pertama,al-Wa’yu ad-Din (Kesadaran Beragama). Artinya, setiap santri mempunyai tanggung jawab untuk memperluas pemahaman keagamaannya. Kesadaran ini merujuk pada kitab karangan Kiai Zaini, Nadzmu Syu’abil Iman.

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa kesadaran beragama mencakup kepada tiga aspek, yaitu akidah, ibadah, dan akhlak.

Akidah berarti keyakinan serta pembenaran bahwa Allah merupakan Tuhan yang Esa dan hanya Dia satu-satunya zat yang berhak disembah; bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan utusan yang terakhir dan tidak ada nabi lagi setelahnya. Setiap perkara yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan kebenaran dan harus dipercaya baik berupa Al-Qur’an maupun Hadis. Masyhurnya dikenal dengan kalimat syahadat.

Ibadah mempunyai makna bahwa para santri dalam melaksanakan ibadahnya berpacu kepada syariat yang telah ditetapkan, seperti halnya salat, puasa, zakat, dan haji. Kiai Zaini menuturkan bahwa manusia tidak mempunyai wewenang untuk mengadakan ibadah selain yang telah disyariatkan oleh Allah. La ya’budullaha illa bima syuri’a (tidak boleh menyembah Allah kecuali dengan cara yang telah disyariatkannya).

Hal tersebut juga berarti bahwa santri Nurul Jadid harus mempunyai tata krama dan sopan santun yang adiluhung seperti yang diajarkan Nabi Muhammad yang diutus untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak tidak hanya berkaitan dengan pribadi, namun juga lingkungan sosial, berperilaku baik kepada masyarakat, amar makruf nahi munkar, dan berbagai tindakan mulia lainnya.

Kedua, al-Wa’yu al-ilmi (Kesadaran Berilmu). Para santri harus mencari ilmu seumur hidupnya, bukan sebatas waktu di pondok pesantren. Kiai Zaini mengkategorikan ilmu ke dalam dua bagian: ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.

Kedua ilmu tersebut harus dipelajari oleh para santri dengan tujuan ilmu agama dapat bahu membahu dengan ilmu pengetahuan umum, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang bagus. Mengkombinasikan keduanya, tidak hanya fokus kepada ilmu agama saja, sebab ilmu pengetahuan umum juga dibutuhkan pada suatu waktu.

Bahkan Kiai Zaini pernah mengutip pendapat Albert Einstein, walaupun bagian agama dan ilmu umum terpisah antara satu dengan lainnya, namun antara keduanya terdapat hubungan yang kuat. Ilmu tanpa agama lumpuh dan agama tanpa ilmu buta.

Aktualisasi kesadaran berilmu di Pondok Pesantren Nurul Jadid, diterapkan pada semua sektor pendidikan sejak bangku sekolah dasar sampai dunia perkuliahan.

Ketiga, al-Wa’yu al-Hukumi wa as-Syu’bi (Kesadaran Berbangsa dan Bernegara). Tidak dapat dimungkiri bahwa ulama dan santri juga terlibat dalam kemerdekaan Indonesia, ikut berperan mengusir penjajah dari tanah air. Bahkan, salah satu motif ulama dalam mendirikan Nahdlatul Ulama adalah untuk menciptakan semangat juang dan cinta tanah air.

Dalam konteks itu, para kiai bekerja sama berperan aktif bersama masyarakat dan santri untuk menjaga keutuhan negara dari perpecahan dan konflik. Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia kemudian berhasil dipukul mundur dan hal tersebut menjadi bukti tentang cinta tanah air dari kalangan pesantren.

Kiai Zaini yang juga ikut berjuang melawan Belanda dengan semangat dan daya juangnya membela tanah air. Semangat berbangsa dan bernegara tersebut kemudian diwariskannya kepada para santri. Santri harus mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjaga keutuhan negara. Bagi santri, cinta tanah air merupakan bagian dari bukti keimanan (hubbul wathon minal iman).

Keempat, al-Wa’yu al-Ijtima’i (Kesadaran Bermasyarakat). Pesantren dan santri tidak boleh menjauh dari masyarakat. Pesantren harus melebur dengan masyarakat. Sebab, tidak dapat dinafikan bahwa keberadaan pesantren lahir di masyarakat. Pesantren merupakan bagian dari masyarakat. Relasi yang dihasilkan masyarakat akan merasa mempunyai pesantren dan sebaliknya pesantren mempunyai masyarakat.

Ketika keduanya saling mendukung, maka bentuk kegiatan yang diadakan pesantren akan didukung oleh lingkungan sekitar. Nilai-nilai dakwah Islam juga lebih mudah disampaikan kepada masyarakat. Berbanding terbalik jika terdapat kesenjangan antara pesantren dan masyarakat. Ruang gerak pesantren akan menjadi sempit dan nilai dakwah akan sulit berkembang.

Kelima, al-Wa’yu an-Nidzomi (Kesadaran Berorganisasi). Organisasi merupakan bagian yang penting bagi para santri dan pesantren. Keberadaan organisasi yang efesien dan efektif dapat menguatkan esensi pesantren, terlebih agama Islam.

Karena itu, Kiai Zaini menuntut para santri untuk mempunyai kesadaran dan kemampuan dalam mengelola organisasi. Untuk itu, di pesantren para santri juga diberi wadah untuk mengelola organisasi seperti Forum Komunikasi Santri Daerah (FKS-D), organisasi sekolah maupun kampus, bahkan organisasi yang mempunyai relasi ke luar pesantren.

Panca Kesadaran Santri merupakan pedoman yang harus dimiliki santri Nurul Jadid sebagai pembeda dengan orang lainnya. Para santri juga mempunyai kewajiban untuk terjun dan berkiprah di masyarakat dengan bekal Panca Kesadaran Santri tersebut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan