Pancasila adalah konklusi yang final bagi ideologi bangsa Indonesia. Pancasila terbentuk atas penggalian nilai-nilai kehidupan penduduk Nusantara secara luas selama berabad-abad lamanya. Bentuk perjuangan yang mendasari ruh Pancasila sudah dilakukan sejak era pra-modern oleh pahlawan-pahlawan daerah (Diponegoro, Cut Nyak Dien, Tuanku Imam Bondjol, dll), hingga perlawanan yang diusung secara kolektif oleh organisasi-organisasi pergerakan pada era modern (Budi Utomo, Muhammadiyah, Serikat Islam, Nahdlatul Ulama, dll).
Kenyataan sejarah yang sangat panjang, tentu dirintangi dengan banyak dilema yang menyertainya. Finalisasi Pancasila yang sudah diproklamasikan sejak 18 Agustus 1945 menemui bermacam-macam perlawanan untuk melengserkannya dari tatanan ideologi bangsa. Dulu pernah ada kelompok yang berupaya untuk mengganti dengan komunisme. Belakangan, hal serupa dilakukan oleh kelompok yang mengusung paham khilafah, yang mencoba mengusung syariat Islam sebagai pedoman ideologi bangsa.
Dr Phil Sahiron, pakar tafsir dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam sebuah webinar pada Jumat (19/6), menuturkan bahwa keinginan untuk mengganti Pancasila terinisiasi oleh kelompok-kelompok kecil. Saudara-saudara muslim Indonesia yang berusaha menggantikan ideologi Pancasila, berpandangan bahwa hal yang mengandung kebenaran hanya berasal dari al- Quran dan Hadits.
Memang hal itu sangat dibenarkan apabila dimasukkan kedalam konteks ke-islam-an. Namun, ia menyayangkan pandangan tersebut yang terkesan terlalu sempit. Kelompok tersebut dinilai belum melihat Islam secara penuh dan fundamental, yang memberikan ruang bagi nilai-nilai yang ma’ruf. Ma’ruf yang dimaksud di sini adalah metode memahami nilai-nilai yang baik.
Konsep Ma’ruf
Beberapa pandangan dari para ulama mewarnai defisini dan makna tentang ‘urf atau ma’ruf. Dalam kitab al Kasysyaf (2:545), karya az Zamakhsyari (w. 538 H), salah seorang tokoh Mu’tazilah kenamaan pada bidangnya, mengurai makna dari dua kata tersebut. Az Zamakhsyari mengambil ayat pada Q.S. al A’raf (7) 199 yang berbunyi,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
Artinya:
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
Pada ayat di atas, az Zamakhsyari menyatakan bahwa kata ‘urf itu berarti,
المعروف و الجميل من الأفعال
Artinya:
“Perilaku-perilaku yang dikenal dan baik/indah.”
Senada dengan argmentasi itu, Abu Hayyan (w. 744 H) dalam al Bahr al Muhit (4:444), salah seorang mufassir Sunni, mengungkap makna ‘urf yang berbunyi,
المعروف و الجميل من الأفعال و الأقوال
Artinya:
“Perbuatan dan perkataan yang dikenal dan baik/indah.”
Namun pada tempat lain, namun masih dalam al Kasysyaf (1:463) az Zamakhsyari juga mengungkap makna lain dari ‘urf. Ia mengatakan bahwa,
المعروف الوجه الذي يحسن في الشرع و المروعة
Artinya:
“Ma’ruf adalah bentuk perilaku yang baik menurut syara’ dan muru’ah (kewibawaan).”
Representasi Ma’ruf terhadap Pancasila
Merujuk pada pemaknaan kata ‘urf atau ma’ruf tersebut, maka dapat ditarik sebuah penegasan bahwa ma’ruf adalah segala bentuk nilai kebaikan yang berkesesuaian dengan syariat dalam konteks wahyu maupun akal manusia. Al Quran memberikan ruang bagi sebuah kebaikan serta kemaslahatan yang tercipta dari akal manusia selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dalam hal ini, Pancasila harus kita representasikan bersama menjadi sebuah produk pemikiran manusia yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan. Tentu sebuah kemaslahatan diusung dari nilai-nilai yang baik, terbukti dengan poin-poin dari tiap sila yang ada, mengandung inti sari nilai keislaman. Nilai inilah yang selanjutnya diwariskan secara turun temurun hingga menjadi sebuah budaya/adat/tradisi berupa konsep berpikir atau berideologi dengan Pancasila.
Kaitannya dengan ushul fiqh, tradisi atau budaya yang sudah mengakar pada elemen masyarakat mempunyai peluang untuk menjadi sebuah pijakan dalam berpedoman (hukum). Hal ini berbanding lurus dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi,
العادة محكمة
Artinya:
“Tradisi (dapat dijadikan) sumber hukum.”
Rasul Pelopor Konsep Ma’ruf
Dalam banyak literatur sejarah Islam, Rasulullah SAW berhasil membangun sebuah peradaban yang berdasar atas ragam kebangsaan dan pluralitas agama. Nabi Muhammad SAW dinilai sebagai sosok paling berpengaruh dalam proses pembentukan masyarakat Madinah.
Praktik yang direalisasikan Rasulullah SAW adalah penyesuaian nilai-nilai kemaslahatan atas dasar konsensus. Beliau berhasil memadukan ragam corak kemasyarakatan dalam satu lingkup kehidupan bersama. Produk yang paling nyata dari bukti ini adalah nomenklatur Piagam Madinah (Mitsaq al Madinah; The Medinan Charter).
Keragaman penduduk yang berasal dari beberapa pemeluk agama seperti Islam, Yahudi, Nasrani, dan Majusi bersepakat untuk hidup dalam satu pemerintahan. Rasulullah SAW sebagai seorang pemimpin negara dianggap menjadi salah seorang republikan yang sudah menerapkan nilai-nilai demokrasi atas dasar pluralitas berabad-abad tahun yang lalu.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW menempati pribadi yang menjadi panutan seluruh umat manusia, khususnya pemeluk agama Islam. Tentu kita mengetahui bahwa Rasulullah adalah sumber khazanah keilmuan Islam yang berasal dari wahyu maupun ketetapan-ketetapan beliau sendiri. Pernyataan ini mengarahkan kita pada sebuah konklusi bahwa Rasulullah meneladankan kepada umat manusia untuk bisa menerima nilai-nilai kebaikan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan yang lebih luas.
Rasulullah pun memberikan putusan bahwa suatu kebolehan untuk mengambil nilai-nilai yang sudah menjadi kebiasaan atau adat/tradisi ke dalam sebuah perjanjian. Hal ini berdasar atas hadits riwayat Muslim Nomor 4595 yang berbunyi,
عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً
Artinya:
Dari Jubair bin Muth’im dia berkata; Rasulullah bersabda, “Tidak ada perjanjian persahabatan (persekutuan) -yang melanggar syari’at- di dalam Islam. Karena, tidaklah persahabatan dan persekutuan manapun yang telah ada pada masa Jahiliah (dalam kebaikan), kecuali semakin diperkokoh oleh Islam.”
Jadi, pada kesimpulannya, Islam mengapresiasi sekaligus menghargai sebuah komitmen yang dibentuk atas kesepakatan bersama, selama masih dalam koridor ketentuan syari. Hal ini tercermin pada nilai-nilai Pancasila yang sudah mendarah daging menjadi sebuah kebiasaan dan tradisi berpikir bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tentu kenyataan ini sesuai dengan konsep ma’ruf yang bermakna sebuah produk yang baik dan dikenal oleh kebanyakan orang.
Wallahu A’lam bi as Showaab.