Panggung Kaum Sarungan Membangun Negeri

140 views

Saya teringat dengan visi duniasantri, yang tertera di halaman depan dengan jelas: “Visi Membangun Negeri.” Demikian pula ketika di awal pembukaan hari jadi jejaring dunia santri, melalui sambutan yang disampaikan oleh Halim Pohan, bahwa kegitan ini sebagai pengejewantah dari gerakan kaum santri, kaum sarungan yang peran serta terhadap pembangunan negera tidak dapat diabaikan.

Monolog “Negeri Sarung” yang menjadi puncak dalam kegiatan hari jadi duniasantri yang ke-3, merupakan kegitan yang menasbihkan eksistensi santri dalam kemerdekaan dan pembangunan. Menurut Halim Pohan, ada tiga arah tujuan dalam kegiatan jejaring duniasantri ini.

Advertisements

Ketiganya adalah pengembangan literasi, pengembangan keahlian, dan pengembangan kemandirian ekonomi santri. Masih menurut Halim Pohan, di platform web duniasantri.co, saat ini ada 1,167 kontributor, 1,2 juta pembaca dari 102 negara, 2667 naskah, 5 ribu lebih naskah masuk yang belum dipublikasikan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perkembangan literasi duniasantri cukup signifikan dan membanggakan.

Acara Monolog Negeri Sarung yang dikamandoi oleh Atiqotul Fitriyah sebagai pembawa acara, diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebagai warga negara yang memiliki semangat nasionalisme, tentu akan selalu menunjukkan sikap dan karakter rasa cinta tanah air, termasuk dengan menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia.

Selanjutnya adalah pembacaan doa, yang dalam hal ini dipimpin oleh KH Achmad Solichan, Kasubdit PMU & Ketua Masjid UI Depok. Doa awal dimaksudkan agar kegitan ini berjalan dengan baik, lancar, dan tidak ada aral rintangan yang mengadang.

Monolog Negeri Sarung bekerja sama dengan Makara Center Universitas Indonesia, dihadiri oleh Nyai Shinta Nuriyah Wahid (istri Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Indonesia ke-4), KH Said Aqil Siradj (mantan Ketua PBNU), Wakil Ketua DPR RI (HC) Rachmat Gobel, Wakil Ketua Umum MUI KH Marsudi Syuhud, Ngatawi Al-Zastrow, Dr Bondan Moyoso, Wakil Gubernur Jawa Tengah Gus Taj Yasin Maimun, dan lain-lainnya. Dalam acara ini diadakan performence dari Inayah Wulandari Wahid, Ngatawi Al-Zastrow, Kaisar Nuno, para santri, dan kelompok musik santri Ki Ageng Ganjur.

Dalam sambutannya, Direktur kemahasiswaan UI Badrul Munir berharap bahwa acara Monolog Negeri Sarung memberikan manfaat bukan saja kepada para santri, tetapi juga mereka yang memiliki perhatian terhadap santri dan pesantren. Lebih jauh, Badrul Munir juga berharap bahwa dari kalangan santri akan lahir teknokrat, bisnismen, tokoh-tokoh bangsa, dan profesi-profesi lainnya. Pesantren telah bertransformasi dari tradisional ke modern, dari ortodoks ke pandangan kebaruan.

Sementara itu, Rachmat Gobel, mengatakan, “Jejaring duniasantri merupakan komitmen untuk membangun negeri melalui kesantrian dan kepesantrenan.” Anggota Dewan ini menyatakan bahwa dari kalangan santri akan lahir nilai-nilai kebaikan dan kebermanfaatan dalam kehidupan secara komprehensif.

“Menggali tanpa menanam kembali, adalah sebuah persoalan,” demikian Rachmat Gobel melanjutkan. Bahwa santri sudah seharusnya menjadi pioner terdepan dalam membangun ekonomi kemandirian. Selain memanfaatkan yang ada, kita juga harus merawat keberadaan agar ke depan kehidupan tetap berjalan sesuai dengan kodratnya.

Testimoni Monolog Negeri Sarung

Sementara itu, KH Said Aqil Siradj, menjelaskan, bahwa sebagai seorang santri harus mengembangkan jaringan sosial, kapitalisme budaya, dan peradaban. Karena santri telah berkomitmen dengan semangat perjuangan untuk menegakkan kalimat kebangsaan dan keagamaan. Ketika sebuah kehidupan dilandasi oleh dasar agama yang kuat, maka kehidupan itu akan bermuara ke tempat yang semestinya. Diridhai dan dirahmati oleh Allah swt.

“Kajian kitab kuning tidak boleh dan tidak akan pernah tenggelam dalam peradaban Islam,” demikian KH Said Aqil Siradj menambahkan terkait dengan eksistensi kitab turas. Menurutnya, kitab kuning adalah dasar pokok yang tidak boleh hilang dari peradaban. Karena nilai-nilai yang terkandung di dalam kitab kuning akan senantiasa menjadi cahaya dalam kehidupan sosial.

Sedangkan, Gus Taj Yasin Maimoen mengatakan, “Monolog Negeri Sarung adalah acara yang ingin menguatkan eksistensi pesantren. Memakai sarung tidak ketinggalan zaman tetapi merupakan karakter di dalam ranah kepesantrenan.”

Ditegaskannya, kaum sarungan, atau para santri yang biasanya memakai sarung mampu berkontribusi bagi bangsa dan negara di segala aspek kehidupan.

Pada kesempatan yang sama, KH Marsudi Syuhud, mengatakan, “Sarung menutup aurat, santri wajib diajari cara memakai sarung, rukun Islam, dalam hal ini industri, butuh industri sarung.”

Maksudnya, untuk mendapatkan sarung sebagai penutup aurat diperlukan industri untuk membuat sarung. Maka mempelajari industri termasuk dalam rukun Islam, setidaknya sebagai wasilah untuk menutup aurat. “Mala yatimmul wajib illa bihi fahua wajib, sesuatu yang menyempurnakan kewajiban maka hukumnya juga wajib.”

Dr Ahmad Syafiq, Ketua Abdurrahman Wahid Center, mengatakan, “Kolaborasi antara UI dan jejaring duniasantri adalah sebagai simbol bahwa dunia akademik dan santri lebih dapat saling mendalami untuk kebaikan bersama.”

Monolog Negeri Sarung ini diadakan di Universitas Indonesia, artinya antara lembaga akademik umum dengan akademik keislaman terjalin keakraban untuk sama-sama membangun kebaikan dan kemaslahatan.

Performence Monolog

Dalam acara ini, pokok kegiatan adalah penampilan (performance) dari Inayah Wulandari Wahid, Ngatawi Al-Zastrow, Kaisar Nuno, para santri, dan Ki Ageng Ganjur.

Inayah Wahid sebagai tokoh utama berprofesi sebagai penjual sarung. Suatu monolog yang sangat apik karena di dalamnya disentil hal-hal yang terjadi dalam keseharian. Ada utang piutang, ada celana cingkrang, mau benar dan menang sendiri, ustaz-ustaz selebritas, dan lain sebagainya.

Di dalam monolog ini juga ada pembacaan puisi oleh Lulu Il Asshafa yang membacakan puisi dengan judul “Percakapan Sarung dan Jilbab.” Selain itu juga dibacakan puisi dengan judul “Munajat untuk Negeri Sarung.”

Saya melihat bahwa pembaca puisi ini benar-benar menjiwai terhadap puisi ditilik dari gerak tubuh dan mimik muka yang begitu serasi. Itu sekilas menurut saya bahwa Lulu Il Asshafa termasuk pembaca puisi yang baik dan berpengalaman.

Dalam monolognya, Inayah Wahid mengatakan, “Santri saat ini lebih mendalam shopingnya daripada ngajinya.” Tentu hal ini sebagai kritikan terhadap karakter santri yang cenderung abai terhadap ajaran pesantren. Meskipun tidak sepenuhnya benar, akan tetapi nilai-nilai pesantren yang telah kusut harus dibenahi demi keberadaan pesantren itu sendiri.

Hingga kemudian, Inayah menyitir sebuah nazham dalam kitab Ta’limul Muta’allim: ada 6 hal yang harus dipenuhi untuk menjadi pencari ilmu yang sesungguhnya. Yaitu, (1) Cerdas (berakal), (2) Antusias (hobi belajar), (3) Sabar (gigih dan tabah), (4) Biaya (sarana-prasarana), (5) Bimbingan guru, dan (6) Waktu lama.

Masih menurut Inayah, mencuci sarung dengan baik agar dapat digunakan untuk menjalankan syariat adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, jangan pernah diabaikan untuk mencuci isi sarung dan isi peci agar tidak terjadi hal-hal yang merusak kehidupan itu sendiri. Kesucian isi sarung jauh lebih penting daripada sarung an sich. Meskipun kesucian sarung juga harus diperhatikan demi kemaslahatan ibadah kepada Allah swt.

Sementara itu, Ngatawi Al-Zastrow, mengatakan bahwa nasionalisme bagi santri merupakan hal yang sudah biasa dan berakar kuat di dalam jiwa. Sehingga nasionalisme di kalangan pesantren tidak perlu diragukan lagi. Tentu saja bentuk-bentuk cinta terhadap tanah air diwujudkan dengan ragam kegiatan dan program. Pada dasarnya apapun bentuk kegitan senyampang untuk membangun negeri dan tidak mengganggu orang lain, maka hal itu sah untuk diimplementasikan dalam kehidupan.

Monolog Negeri Sarung diakhiri dengan nyanyian lirik lagu kebinnekaan. Lagu-lagu daerah dikumandangkan dengan kekhasannya masing-masing. Sebuah metafor dari keberagaman dan bermacam adat dan budaya, namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semoga Monolog Negeri Sarung menjadi momentum agar nilai-nilai etik dalam duniasantri tetap menjadi dasar utama untuk diaplikasikan dalam kebersamaan. Wallau A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan