Setelah sekian lama terombang-ambing mengikuti arus sungai yang cukup deras tanpa pernah tahu bakal berakhir di mana, sebatang bambu mulai ngedumel, menyesali kelakuan orang yang telah menghanyutkannya.
Kendatipun orang tersebut tidak bermaksud membuangnya; malah sebaliknya bermaksud baik, menyedekahkannya—sebagaimana yang dikatakan orang tersebut saat hendak menghanyutkannya—, pertanyaannya kini kenapa dengan cara seperti ini? Kenapa tidak dengan cara sebagaimana biasa ia memberikan pada orang-orang yang membutuhkan bambunya? Seperti misalnya saat panitia pembangunan masjid atau tetangganya yang kurang mampu nembung membeli bambu-bambu yang tumbuh subur di pekarangan belakang rumahnya, ia memberikannya secara cuma-cuma—secukupnya.
Kemudian tepat di saat si bambu mulai mempersoalkan bagaimana cara orang bakal menemukannya apalagi memanfaatkannya—karena boleh jadi ia bakal terus hanyut hingga ke tengah samudra, di jarak seribu dua ratus dua puluh lima meter dari situ tampak seorang mandor melaporkan pada seorang kiai yang sejak tadi turut mengawasi persiapan pengecoran lantai dua bangunan pondok pesantrennya. Ia minta persetujuan kiai itu untuk memulai saja proses pengecoran kendati pada bagian di antara tiang paling kanan masih dibutuhkan dua atau tiga potong bambu untuk penopang. Menurut si mandor, hal ini tidak apa-apa, karena rangkaian bambu-bambu itu sudah cukup kuat, sementara orang yang disuruh membeli bambu sampai kini belum kembali dan apabila tidak segera dimulai takutnya proses pengecoran tidak selesai sampai sore nanti. Setelah tampak mempertimbangkan, kiai itu menyatakan untuk menunggu sebentar lagi orang yang disuruh membeli bambu kembali.
Sementara itu, di pertengahan jarak antara si bambu dan lokasi pembangunan itu, seorang lelaki hampir-hampir putus asa. Siang mulai menggeser pagi, akan tetapi seekor ikan pun belum ada yang minat memakan umpan di kailnya. Padahal ia sengaja mendatangi tepi sungai itu sejak selepas subuh tadi dengan anggapan akan banyak ikan lapar terpancing olehnya; padahal anak-anak dan istrinya di rumah sudah barang tentu menunggu hasilnya untuk lawuh makan mereka.
Kemudian, untuk mengetahui sebetulnya di situ ada ikan atau tidak ia menyebarkan umpan pada permukaan air. Tidak dinyana, serta-merta tampak ikan-ikan sebesar telapak tangannya saling berebut mencaplokinya. Ia kembali berharap kepada Gusti Allah Ta’ala: di antara ikan-ikan itu semoga ada yang jadi rezekinya. Kemudian ia mengalihkan kailnya ke tempat ikan-ikan tadi. Akan tetapi, setelah cukup lama ia menunggu, tetap saja belum ada seekor ikan pun terpancing.
Sempat terpikir olehnya, apakah mereka tahu sedang dipancing? Namun pikiran tersebut tidak berlangsung lama, tergeser gambaran betapa senang ikan-ikan tadi melahap umpan yang ia tebarkan. Dan kini ia baru menyadari bahwa ia merasa turut senang saat memberi mereka makan. Maka karena hari telah siang, ia tebarkan semua umpan yang tersisa. Hanya, kali ini ia niatkan sebagai sedekah untuk mereka. Untuk beberapa saat, sembari mengemas alat pancingnya, kecipak-kecipuk ikan-ikan itu sungguh membuatnya bahagia.
Setelah permukaan air kembali tenang, ia pun beranjak pulang. Namun baru beberapa langkah, ia mendengar suara benda jatuh ke tanah. Menoleh ke sumber suara itu ia terperangah begitu tahu rupanya itu seekor ikan yang mendarat dekat kakinya. Dan ia tambah terperangah menyaksikan cukup banyak ikan mencolot secara bersamaan kemudian mendarat dekat ikan itu. Takjub sembari berkali-kali mengucap syukur kepada Gusti Allah Ta’ala Yang Maha Pemurah, ia mewadahi ikan-ikan itu ke dalam ember. Namun kemudian, karena agaknya embernya tidak cukup untuk mewadahi semua ikan-ikan itu, ia berniat bakal mencemplungkan beberapa ikan kembali ke dalam sungai.
Sembari terus hanyut si bambu baru ingat beberapa hari lalu saat belum ditebang ia mendengar pemiliknya ngobrol dengan seorang tamu di teras belakang rumahnya. Si tamu bercerita tentang seorang kiai dari bagian timur pulau Jawa menganjurkan tamu-tamunya untuk bersedekah secara rahasia—sembunyi-sembunyi; tanpa diketahui oleh orang lain—untuk melatih diri ikhlas lillahi ta’ala. Seperti misalnya memasukan uang ke kotak amal di masjid atau menjatuhkan uang di pinggir jalan saat tidak ada orang lain. Apabila memang, demikan ia mulai ngedumel lagi, pemiliknya berniat sedekah rahasia dengannya, pertanyaannya: kenapa ia tidak menggeletakannya saja di pinggir jalan saat menuju sungai untuk kemudian bisa jadi bakal ditemukan oleh seseorang yang memanfaatkannya?
Saking serius benak si bambu memikirkan nasibnya sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa dirinya telah berhenti di pinggir kali karena tersangkut dahan pohon yang terjuntai ke sungai. Ia baru menyadari setelah seorang lelaki tampak mendekatinya dengan wajah amat gembira hingga-hingga, menurut si bambu, agak sukar digambarkan lewat kata. Betapa bermanfaatkah dirinya bagi lelaki itu, hingga ia memamerkan raut wajah sesenang itu? Ya, itu adalah lelaki yang baru saja mencemplungkan tiga ekor ikan ke dalam sungai.
Begitu melihat bambu itu sekonyong-konyong ia teringat beberapa hari lalu istrinya memintanya membuat jemuran pakaian karena jemuran yang lama bambunya mulai keropos. Maka atas berbagai rezeki yang datangnya tidak disangka-sangka ini, sebagai ungkapan syukur pada Dzat Pemberi Rezeki, ia ekspresikan lewat kegembiraan wajahnya sementara mulutnya berseru, “Alhamdulillah!” serentak bersamaan dengan ucapan hamdalah si bambu—tanpa terdengar oleh lelaki itu—atas apa yang ia alami yang sungguh di luar perkiraannya.
Kemudian “Subhanallah!” seru lelaki itu sembari memanggul si bambu menuju embernya—mendapati tiga ekor ikan yang boleh jadi ia lepaskan tadi mencolot bersama-sama untuk kemudian mendarat beberapa jarak darinya. Mungkin, demikian batin lelaki itu, ikan-ikan itu sudah ditetapkan oleh Gusti Allah Ta’ala Yang Maha Pemurah sebagai rezekinya. Maka ia pun mengambilnya untuk kemudian bergegas pulang.
Di tengah perjalanan, sembari terus melangkah, dari lokasi pembangunan itu ia mendengar seseorang menyatakan pada seseorang bahwa penjual bambu yang biasa mangkal di sekitar pasar tidak datang; bahkan ia telah mencari ke lain tempat, namun sebatang bambu pun tidak ia dapati. Sepertinya mereka sedang butuh bambu, gumam lelaki itu sembari benaknya mempertimbangkan untuk memberikan bambunya. Kendatipun ia membutuhkannya, namun sepertinya mereka lebih butuh, apalagi ini untuk pembangunan pondok pesantren, tempat pendidikan agama untuk generasi anak bangsa. Di samping itu ia baru saja memperoleh ikan cukup banyak yang dapat ia jual sebagian untuk membeli bambu. Maka ia mendekati mereka untuk kemudian memberikannya.
Sementara si mandor mengucap terima kasih padanya, lagi-lagi si bambu berseru—tanpa terdengar oleh orang-orang itu—penuh kekaguman, “Subhanallah!” Selain jelas kebermanfaatannya kini, rupanya di situ banyak bambu-bambu yang dulu tumbuh serumpun dengannya. Ia bakal menanyakan kabar mereka dan bagaimana cara mereka bisa sampai di sini; juga menceritakan perjalanannya yang, menurutnya, amat mengesankan ini.
Kesugihan, 9:49, 22 Juli 2021
Catatan: Cerpen ini merupakan Juara 1 Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Tingkat Nasional Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Agustus 2021.
ilustrasi: Bambo Bridge karya Affandi.