Umat beragama di Indonesia, khususnya Islam, sedang merayakan keragamaannya. Di mana pun dan kapan pun label agama selalu dikenakan. Di pojok-pojok kota, di pos-pos ronda, di pakaian-pakaian pemuda dan lainnya diterai label-label agama. Bahkan agama dijadikan ukuran dalam proses seleksi di banyak hal. Beasiswa, jabatan, kepegawaian, pekerjaan, sekolah adalah segelintir variabel yang terselip agama di dalamnya.
Halalisasi produk yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun demikian. Tak hanya hijab, makanan, festival, dan bahkan kulkas pun wajib dilabeli halal.
Tak kalah masifnya, wisata halal pun turut ramai berterbaran di mana-mana. Festival yang dilabeli syari, kos atau perumahan syariah, memenuhi penglihatan kita di dunia nyata maupun di dunia maya.
Namun dari segelintir persoalan itu, pakaian adalah salah satu dari sekian banyak ‘perayaan agama’ yang paling masif. Pasalnya, pakaian tidak hanya dikenakan, tapi juga dimobilisasi, dipolitisasi ,dan diberi nilai tertentu. Ketika pakaian syar`i dikenakan oleh seorang politikus, akan muncul nilai kesalehan yang dibangun oleh masyarakat. Hal ini menandakan bagaimana sesuatu dapat dimodifikasi, dipercantik demi label-label dan niat tertentu yang kadang kala tak sejalan.
Dengan jumlah yang tak sedikit, umat Muslim di Indonesia sangat taat dalam menjalankan ibadah. Hal itu terbukti, misalnya, dengan maraknya kegiatan religius seperti pengajian, zakat, dan ziarah ke tanah suci.
Namun dari segelintir ‘perayaan agama’ ini tidak sejalan dengan maraknya tindakan korupsi di negeri ini. Sejalan dengan ini, Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghazali menganggap korupsi tidak hanya merupakan dosa besar, namun juga dapat merusak tatanan sosial.
Bahkan analisa dari Rober W, Hefner dalam Shari`a and Citizenship in Indonesia (2011) mengatakan, salah satu faktor dari suburnya korupsi di Indonesia ialah tidak ada kesesuaian antara ajaran moral agama dan struktur birokrasi serta politik di Indonesia.
Namun, hemat penulis, saduran Hefner tidak tepat secara sempurna. Hal itu mempertimbangkan posisi moral sebagai sumber atas tindakan manusia. Karenanya, jika seseorang tetap melakukan tindak kejahatan, berarti ia tidak memosisikan moral agama sebagai pijakan.
Memang, tidak hanya korupsi, kejahatan-kejahatan lainnya yang tak sedikit jumlahnya juga hadir di tengah-tengah ‘perayaan agama’. Kekerasan seksual di lembaha-lembaga pendidikan agama menjadi salah satu persoalan yang kini ramai dan tidak mudah untuk ditangani. Alih-alih mencegah kekerasan seksual, ruang agama justru juga menyumbang jumlah kasus menjadi semakin banyak.
Memang, inkonsistensi antara ajaran agama dan perilaku umat beragama menjadi tantangan yang musykil bagi umat beragama. Nyatanya, tak sedikit kasus kekerasan seksual yang menyeret para pemuka agama sebagai pelaku.
Belum lagi kasus-kasus kecil yang tak kalah amoralnya seperti penipuan berkedok sedekah, investasi, bisnis islam, pembangunan masjid, solidaritas islam, bantuan untuk saudara muslim, dan lain sebagainya.
Ali Syariati melalui Tanggung Jawab Cendekiawan Muslim (2001) menganggap persoalan-persoalan ini berakar pada pendidikan agama yang hanya fokus pada aspek ritual dan simbolik. Di mana aspek ibadah menjadi inti dari pendidikan, sedangkan aspek sosial yang notabene menjadi tempat berinteraksinya masyarakat secara luas malah menjadi subordinat.
Namun, hemat penulis, tanpa bermaksud menghakimi, terdapat faktor lain yang turut menyumbang tumbuh suburnya persoalan-persoalan lain. Bagi penulis, umat beragama (Islam) di Indonesia disibukkan dengan urusan ‘kulit’ agama. Dalam artian, sesuatu yang tidak menyentuh esensi dari ajaran agama itu sendiri, namun hanya berada pada wilayah permukaan.
Seperti sibuknya umat untuk meng-kotak-kotakan label halal-haram, syar`i tidak syar`i, muslim-kafir, dan lain sebagainya. Hal ini tentu tidak akan menyentuh esensi dari ajaran agama. Pasalnya, aspek ekstrinsik ini akan mengelabuhi dan dijadikan alat untuk menipu khalayak ramai. Dengan tampilan fisik baik bukan berarti orang itu bertindak secara baik. Dengan mengenakan hijab panjang bukan berarti keimanannya pun dalam.
Demikian, perlunya kita untuk mengobati luka akan kepongahan ekstrinsik kita seraya mengembalikan pendidikan pada esensi dari ajaran agama itu sendiri.