Pawang Hujan

307 views

Dari tadi sore langit belum juga kunjung berhenti menurunkan hujan. Sesekali suara guntur menggelegar memecah kesunyian malam. Sesekali pula kilat menyambar, menyinari kelamnya alam pedesaan tanpa lampu listrik. Bersamaan hujan deras tadi sore lampu juga ikut padam. Kabarnya ada salah satu tiang listrik tepian jalan yang tumbang. Aku baru pulang dari rutinan tahlil malam Jumat. Dan rumahku tampak gelap. Ketika aku membuka pintu suasana sepi menyergapku. Ada sinar redup di kamar. Bercahayakan lilin temaram membuat malam terasa syahdu. Dua anakku sudah terlelap dalam tidur. Aku segera merebahkan badan. Kudekap istriku erat.
“Kamu nggak kedinginan, Dik?” godaku.
“Enggak, selimutku tebal begini Mas, mana mungkin dingin?” Dia menjawab ketus, tangannya melepas dekapanku. Entah kenapa dia malah geser menjauhiku.
“Tapi aku masih dingin, apalagi lilinnya bersinar redup. Enaknya dipeluk.”
“Makanya beli lampu kayak punya Mbak Lita. Terang. Cukup di-charge bisa dipakai berulang kali. Nggak takut kebakaran. Tetanggaku di kota sana mati terbakar karena lilinnya jatuh ke kasur,” istriku kembali memberi jawaban bernada protes.
“Nanti kalau ada rezeki kita beli ya,” jawabku, kembali merapatkan dekapan.
Sial. Dia kembali menjauhiku.
“Jangan dekat-dekat Mas, badanku terasa meriang. Pilek. Hidungku tersumbat, terasa pengap dan sumpek.”
“Meriang? Merindukan kasih sayang?” gurauku.
Tak ada jawaban. Selimut tebal justru membuntal sekujur tubuhnya dengan sempurna. Tak tahu kenapa, aku kesal.
“Malaikat melaknat seorang istri yang menolak ajakan suami. Bukan untuk apa, tapi ini adalah hadits Nabi. Tak ingin aku melihat istriku dilaknat malaikat sepanjang malam,” aku bernasihat menyitir hadits Nabi, sebuah nasihat untuk para istri sekaligus pembelaan untuk para suami.
“Tak ada nafkah, tak ada jatah. Itu ungkapan Bu Nyai Muzayanah pas di pondok dulu,” tangkisnya cepat. Aku menelan ludah.
“Apa kamu merasa tak mendapat nafkah dariku?” Ah, aku mulai emosi. Benar-benar malam Jumat yang tak sesuai harapan.
“Aku nggak bilang gitu. Udah ah Mas. Bening lagi kurang enak badan nih. Flu,”
Hatiku mencelos melihat istriku malah memunggungiku, malam-malam Jumat begini.
“Kok tiba-tiba flu? Kamu habis dari mana seharian tadi? Jangan-jangan kena koro…”
“Seharian ke mana? Momong anakmu, Mas. Kamu yang seharian nggak pulang. Udah nggak bantu apa-apa. Pulang tangan hampa pula, kecut. Kecut banget Mas!”
“Lho … Lhoo. Seharian aku rapat para pemuda, bahas tasyakuran dan pengajian di masjid merayakan terbebasnya desa kita dari korona. Bukankah sejak awal nikah kita bertujuan untuk sama-sama berjuang menjunjung agama-Nya? Kamu lupa nasihat kiai kita pas di pondok dulu itu?”
“Bukannya lupa. Tapi Mas juga harus ingat dan paham keadaan. Coba lihat lilin itu Mas,” pintanya.
Aku melihat lilin redup itu penuh penasaran. Apa maunya istriku ini?
“Memanga kenapa? Nggak ada yang aneh. Cuma lilin redup yang dikerumuni laron, apanya yang istimewa?” sahutku.
“Nah itu! Kamu tahu Mas, kenapa lilin harganya murah? Nggak istimewa? Padahal dia juga bermanfaat,” tanya Bening, istriku. Suaranya yang tertahan di hidung terdengar indah di telingaku. Tapi malam ini dia sedang menjengkelkan.
“Karena dia harus mengorbankan dirinya sendiri untuk menyinari orang lain.”
Kulihat laron-laron itu beterbangan di sudut-sudut kamar.
“Nah. Harusnya Mas dapat mengambil pelajaran dari lilin itu. Kālau selama ini Mas sibuk memancarkan cahaya untuk orang lain di luar sana. Harusnya tengok rumah sendiri dulu. Apakah rumahmu sudah cukup terang?”
Aku menelan ludah, merasa tertampar.
“Sudah beberapa hari yang lalu gas LPG habis. Hujan-hujan aku harus cari utangan ke rumah Mak Lik sampai kena flu. Harusnya Mas paham itu. Bersinarlah dulu di dalam rumah sebelum menyinari dunia di luar sana.”
Menangis. Wanita yang kunikahi sepuluh tahunan yang lalu itu menangis tersedu. Dan mataku nanar memandang ke arah lilin yang semakin redup. Mungkin istriku benar, cahayaku seredup lilin itu. Dan telah kukorbankan cahaya dalam rumah ini. Hujan semakin menderas. Kupejamkan mataku untuk menutup redupnya dunia.
Sepulang menjajakan kerupuk sore berikutnya kulihat istriku sedang menyuapi anakku yang kedua. Aku melangkah tanpa tenaga. Segan untuk menghampiri mereka. Beberapa hari tidak menjajakan kerupuk ternyata langgananku banyak yang beralih ke pedagang lain. Lagi-lagi hari yang kecut terpapar di hadapanku.
“Ada undangan!” teriakannya menghentikan langkahku. Akhirnya aku menghampiri mereka. Kukecup pipiku anakku.
“Disuruh bantu hajatannya Pak Ramin,” ucapnya tanpa melihatku.
“Resepsi anaknya yang jadi bidan desa itu?” tanyaku.
“Nggak tahu, iya paling. Sudah, mandi dulu sana. Gantian.”
Dan aku turuti perintahnya.
Sembari ke kamar mandi aku menyalakan kompor untuk menjerang air. Sepertinya kopi panas terasa pas di suasana dingin seperti ini. Di luar sana lagi-lagi terdengar suara rintik hujan. Naas, kompor tak menyala. Ternyata LPG memang habis. Kutengok ada bekas abu dan kayu bakar di depan tungku. Aku lantas ke kamar mandi. Namun kemudian langkahku terhenti.
“Kālau mau buat kopi ambil air di kuali! Di atas tungku!” teriak istriku dari teras depan. Rupanya dia mendengar aku berkali-kali memutar petikan untuk menyalakan kompor.

* * *

Advertisements

Dua minggu berikutnya suasana rumah Pak Ramin ramai sekali. Tamu-tamu dari jauh berdatangan menghadiri resepsi pernikahan anaknya yang sempat tertunda karena adanya wabah korona beberapa waktu yang lalu. Karena saking banyaknya, tamu yang datang sampai harus mengantre di jalan. Suara dangdut koplo islami terus berdetak mengiringi hilir mudik tamu di senja hari. Pak Ramin terlihat sibuk menyambut para tamu yang terus berdatangan itu. Aku dan teman-teman duduk santai di samping rumah karena penyajian makanan dilayani sendiri oleh pihak catering. Namun tiba-tiba saja turun hujan yang cukup deras. Tamu-tamu itu kalang kabut. Antrean panjang para tamu tadi memaksakan diri masuk ke tenda. Suasana jadi ricuh.
Lalu ada seseorang menepuk bahuku.
“Ustadz Hasan. Minta tolong ya. Sepertinya hujan ini tidak wajar. Deras sekali. Sampai membuat orang-orang kalang kabut begitu. Atap tenda banyak yang bocor pula. Ustadz kan yang memagari doa agar tidak hujan pas ada pengajian di desa kemarin. Demi kakak saya. Panjatkan doa itu lagi Tadz, biar reda hujannya,” pinta Mas Tomin, adik kandung Pak Ramin.
Aku terdiam. Tidak mengiyakan dan tidak pula menolak. Aku tahu, doa tolak hujan ini hukumnya makruh. Tapi melihat kondisi seperti ini aku jadi berpikir ulang. Kulihat tenda tempat resepsi tampak kacau. Orang-orang berebut tempat teduh. Hujan memang deras sekali. Padahal tadi mendungnya tidak begitu tebal. Entah kenapa tiba-tiba turun hujan sedemikian derasnya. Pak Ramin tampak panik. Melihatnya membuatku merasa iba. Bismillah. Akhirnya aku panjatkan doa itu. Sesuai ijazah dari guruku doa itu kutiup di ujung sebilah bambu lalu kutanam bambu itu pada tempat yang teduh. Kupesankan agar tak ada orang yang mencabut bambu itu sampai acara selesai. Alhamdulillah. Selang beberapa saat kemudian hujan pun reda. Kekacauan pun pelan-pelan berubah normal kembali.
Berkat jasa doa itu Pak Ramin memberiku amplop tebal berisikan uang. Aku tak kuasa menolaknya. Dan akibatnya binar-binar cerah kulihat di wajah istriku. Seketika muka masamnya beberapa hari ini pudar entah ke mana. Ia belanjakan uang itu untuk keperluan dapur dan membelikan jajan kedua anakku. Tidak itu saja, setelah kejadian di rumah Pak Ramin tadi orang-orang menyebutku sebagai pawang hujan. Dan karena musim hujan kali ini bersamaan pula dengan datangnya musim kawin maka aku sering sekali dipanggil orang untuk memberikan doa tolak hujan. Tak pernah gagal aku memanjatkan permintaan agar Tuhan mengutus para malaikat menghalau datangnya hujan. Namaku pun kian tenar.
Sepulang mengajar ngaji dan jamaah salat di musala kulihat ada mobil bagus terparkir di depan rumahku. Jarang sekali ada tamu membawa mobil ke rumah seperti itu. Aku gendong anakku yang pertama dan langkahku semakin cepat. Hanya ada istri dan anak kedua yang masih balita di rumah.
“Begini Ustadz, minggu depan ada tabligh akbar di kecamatan. Sedangkan tiap hari masih turun hujan deras begini,” ucap tamuku yang ternyata pejabat kecamatan itu ketika aku telah duduk menjamunya.
“Kedatangan kami kemari untuk minta bantuan supaya Ustadz Hasan berkenan memagari doa agar pengajian itu bisa lancar, karena yang hadir dari seluruh warga se-kabupaten Ustadz. Banyak sekali,” ucapnya kemudian
“Bukankah pengajian itu untuk mencari rahmat-Nya? Sedangkan hujan adalah rahmat Tuhan yang sangat agung?” tukasku, penuh basa-basi. Istriku melirik tak senang.
Satu dari kedua tamuku itu tertawa renyah. Entah apa maksudnya.
“Hujan yang terlalu deras bisa jadi musibah Tadz. Para pengunjung yang datang dari tempat yang jauh juga kasihan kalau harus diguyur hujan selama pengajian. Bisa-bisa malah pulang sebelum pengajian dimulai,” ucapnya lagi.
Aku persilahkan mereka meminum teh yang sudah terhidang di meja.
“Baiklah Pak. Demi kebaikan bersama, insyaallah nanti saya akan datang ke sana. Tepatnya tiga minggu lagi dari sekarang ya?” sahutku.
“Benar Ustadz,” jawabnya. “Ini sebagai ungkapan terima kasih kami,” dia memberiku amplop tebal. Lagi-lagi aku tak kuasa menolak. Mereka pun kemudian pulang setelah maksud dan tujuannya selesai.
“Itu acara besar Mas,” pepet istriku. Aku tersenyum. Kuserahkan amplop tadi padanya. Amplop itu dibukanya. Dan demi langit dan bumi, kulihat raut wajahnya seketika bertambah cerah.
“Ini uang muka Mas. Nanti pasti ada yang lebih banyak seusai acara. Ini acara kecamatan lho Mas. Bukan main-main,” ucapnya lagi.
“Kalau ada lagi, nanti aku beli gelang ya,” senyumnya merekah meluluhkanku.
Dan benar saja. Tabligh akbar yang di selenggarakan di lapangan kecamatan itu dibanjiri ribuan orang. Lautan manusia berpakaian putih-putih membanjiri lapangan dan ruas-ruas jalan sekitarnya. Ini sungguh acara besar. Dai kondang datang memberikan ceramah. Para jamaah itu terlihat antusias. Walapun banyak pula diantara mereka yang sepanjang acara hanya sibuk berbelanja di area yang memang sudah disiapkan oleh pihak pemerintah kecamatan sebagai tempat bazar.
Mendung tebal berarak menaungi bumi. Hawa dingin menyeruak. Suasana berubah gelap. Aku mulai khawatir. Mendung gelap yang bergumpal-gumpal semakin banyak yang berdatangan. Kulihat ke belakang panggung bambu yang telah kutiupi doa itu masih menancap dengan kokoh di tempatnya. Aku berharap-harap cemas. Dan rintik-rintik hujan kemudian turun membasahi bumi beserta semua keriuhan ini. Kurapalkan lagi doa-doa tolak hujan bersamaan rasa cemas yang kian menggerogoti hatiku. Tak seperti biasanya, hujan justru turun semakin deras. Titik-titik hujan itu membesar dan semakin banyak jumlahnya. Para pengunjung semburat. Yang sibuk di area bazar lari tunggang langgang. Namun demikian banyak di antara jemaah itu yang masih setia duduk di tempatnya menyimak pengajian.
“Jangan pernah lari dari rahmat Tuhan,” ujar Sang Dai itu.
Aku kembali menengok bambu yang kutanam di belakang panggung. Hujan masih turun dengan derasnya. Bambu semakin kutanam ke dalam tanah. Dan aneh, hujan semakin turun berderai. Aku mengambil sebilah bambu lagi dan segera kububuhi doa lalu kutanam tidak jauh dari bambu yang pertama.
“Bagaimana ini Ustadz? Hujan semakin deras. Acara tabligh akbar kacau. Dagangan di area bazar basah,” teriak orang yang waktu itu datang ke rumahku.
Di tempatku berdiri aku tidak bisa menjawab apa-apa. Baju serta tubuhku telah basah kuyup. Tubuhku mulai kedinginan.
“Apa kubilang? Cari dukun pawang hujan saja. Bukan ustadz amatiran. Kamu selalu tak mau menerima saranku,” ucap temannya.
“Bagaimana Ustadz? Bisa diredakan nggak hujannya? Apa perlu kami carikan tiang bambu?” cercanya dengan nada kecewa.
Aku menengadahkan kepala, melihat langit. Butir-butir hujan berjatuhan tak terkira jumlahnya. Semakin lama semakin keras menampar wajahku. Dan tiba-tiba kuingat pesan kiaiku ketika memberikan doa tolak hujan kala itu.
“Pakai doa ini ketika sedang keadaan mendesak saja. Mungkin kamu akan dipuji banyak orang. Tapi kamu tak boleh goyah. Jangan sekali-kali menuhankan doa, apalagi menuhankan diri sendiri. Dan jangan sekali-kali pakai doa ini semata-mata untuk kepentinganmu. Untuk mencari dunia,” tutur kiaiku penuh kelembutan. Air mataku meleleh bersamaan dengan derasnya hujan itu.
“Bagaimana?” ucap orang itu lagi, mendesakku.
“Maaf Pak. Saya bukan Tuhan,” tukasku sembari melangkah pergi.

Mentaraman, 20 Juni 2020

Multi-Page

Tinggalkan Balasan