Dengan wajah keruh Toha membuang satu per satu semangka-semangkanya ke dalam jurang. Berkali-kali Toha mendengus kasar untuk mengusir bau busuk yang menyundut-nyundut hidungnya. Teriris hatinya mengingat musibah yang bertubi-tubi menimpanya.
Hampir setiap hari Toha dimarahi dan dimaki habis-habisan oleh pelanggan-pelanggannya karena semangka yang dibeli mereka saat dibelah dagingnya seperti kapas, berwarna hitam, berbau busuk, dan dikerubungi ulat-ulat menjijikkan meskipun kulitnya masih tampak hijau segar.
Bukan hanya itu, kemarin, Toha juga kehilangan uang sebesar tiga puluh juta. Uang itu hilang secara misterius. Padahal, tempat penyimpanan uang itu tidak ada yang tahu kecuali Toha dan orang yang paling dekat dengannya. Uang itu dibungkus dengan plastik dan dikubur ke dalam tanah di samping lincak di dalam kontrakannya. Rencananya, uang itu akan Toha gunakan untuk mendaftar haji tiga bulan lagi.
Setelah selesai membuang semangka-semangka itu, Toha bergegas pulang dengan langkah lunglai. “Pate’! (1)” umpat Toha dengan tangan terkepal lantas meludah ke tanah dengan kasar.
Sesampainya di sebuah toko tua yang ia sewa untuk dijadikan tempat mendagangkan semangka sekaligus tempat penginapannya selama berbulan-bulan, Toha membuka songkok hitamnya lantas merebahkan tubuhnya di atas lincak. Toha kipas-kipaskan songkok hitam itu pada tubuhnya yang dibanjiri keringat sambil menoleh pada tumpukan semangka di sampingnya.
Nanar Toha menatap tumpukan semangka itu yang hanya tinggal beberapa biji. Tadi, Toha telah memeriksa satu per satu semangka-semangkanya untuk mengetahui dagingnya normal atau tidak dengan cara mengetuk, menimbang, bahkan sampai membelahnya. Dan hasilnya, hanya semangka-semangka yang ditumpuk itu yang positif normal. Mungkin hanya sepuluh buah.
“Cong, ini ada kiriman nasi lagi, Cong!”
Toha terperanjat, buru-buru mengenakan songkok hitamnya dengan cepat. Seorang nenek yang sudah membungkuk tiba-tiba saja berdiri di depannya dengan menenteng plastik berisi sebungkus nasi. Tidak asing lagi baginya, nenek itu adalah Nyi Marsina, seseorang yang rutin mengantarkan nasi kuning padanya sejak seminggu yang lalu setiap senja.
Toha berdiri lantas meraih sebungkus nasi itu dari tangan Nyi Marsina sambil berucap terimakasih. Nyi Marsina mengangguk kaku. Senyumnya pun kaku.
“Ayo mampir dulu, Nyi,” tawar Toha.
“Enggak, Cong, masih ada pekerjaan,” suara Nyi Marsina seperti derak bambu tua yang akan tumbang, serak. Toha pun mengangguk paham.
“Mari,” tambah Nyi Marsina lantas beringsut dengan langkah yang teramat lambat. Toha melihat luka lebam pada betis dan leher nenek itu.
Sepeninggal Nyi Marsina, Toha bergegas masuk ke dalam toko tua itu. Dimakannya sebungkus nasi kuning di atas lincak beralas kardus yang ia jadikan sebagai tempat tidur, salat, makan sekaligus ruang tamu. Setelah itu, Toha berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi itu berlantai tanah, bertabir karung bekas yang dibentangkan pada penyangga bambu. Kalau siang kepanasan, kalau hujan airnya tembus ke bak mandi.
Begitulah kehidupan Toha saat berdagang semangka di luar kota. Meskipun di kampung Toha bisa dikatakan kaya, tapi, sesungguhnya, ia tak pernah merasakan kemewahan itu. Sebab, Toha jarang ada di rumah. Hanya anak dan istrinya yang merasakan kemewahan itu. Prinsipnya, biarlah dirinya apello koneng; bekerja keras dan hidup dengan penuh kesusahan dan kemelaratan, yang penting, anak dan istrinya bisa hidup senang penuh kebahagiaan. Katanya, itulah jiwa suami orang Madura yang sesungguhnya.
Dulu, Toha terbilang saudagar yang sukses. Dari hasil penjualan semangka, Toha berhasil membaluti lantai rumahnya dengan keramik putih mengilap, juga dinding yang berlapis batu marmer setengah badan. Dari luar, rumah Toha tampak mewah dengan cat hijau kombinasi putih salju. Bahkan, tahun lalu Toha telah membeli sebuah mobil berwarna putih yang kata orang-orang di kampungnya ketika berjalan bunyi mesinnya tidak kedengaran. Belum lagi anaknya yang merupakan satu-satunya orang yang mempunyai sepeda motor matik di kampungnya. Dan, saat Toha pulang kampung untuk merayakan lebaran Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi, Toha tidak lupa untuk membagi-bagikan kerudung, baju, songkok ataupun sarung pada seluruh tetangganya sebagai ungkapan rasa syukur.
Setelah selesai mandi dan salat maghrib, Toha mengaji surat Yasin karena kebetulan malam jumat manis. Toha khususkan pada babaja-babaja-nya (2). Biasanya, kalau ada di rumah, Toha akan berziarah ke makam-makam para leluhurnya dengan membawa serta anak dan istrinya. Setelah salat magrib, Toha akan apangaji dengan mengundang beberapa tetangga dan keyaji (3). Duduk melingkar, di tengahnya ada rasol (4) yang bersanding dengan damar (5).
Setelah itu, Toha masih membaca surat al-Fil dengan sangat khusuk hingga kepalanya menunduk. Pembacaan surat itu oleh Toha ditujukan pada seseorang yang telah membikin ulah padanya. Ketika sampai pada ayat keempat yang berbunyi “tarmiihim”, Toha mengulanginya berkali-kali dengan jari telunjuk yang menunjuk-nunjuk seolah sedang menusuk-nusuk sesuatu dan matanya semakin erat terpejam. Konon, jika sudah dibacakan surat al-Fil, orang itu akan ditimpa lekas musibah, atau jika tidak, orang itu akan segera sadar. Jika mencuri, barang curiannya akan segera dikembalikan. Jika menggunakan ilmu hitam, orang itu akan segera sadar dan menghentikan perbuatannya.
Setelah selesai, Toha bergegas menuju kontrakan Dulla untuk menceritakan masalah yang sedang dialaminya. Siapa tahu Dulla bisa memberikan solusi. Sebenarnya, Dulla sudah mengetahui hal itu, sebab kabar itu telah menyebar luas dan diceritakan dari mulut ke mulut orang.
Dulu, sebelum juga berdagang semangka, Dulla adalah sopir pikap. Mengangkut satu setengah sampai satu ton semangka Toha dari kampung. Tapi, beberapa minggu yang lalu, Dulla mengatakan bahwa dirinya akan berhenti menjadi sopir pikap. Dulla juga ingin menjadi saudagar sukses seperti Toha.
Toha senang mendengarnya, dan mendukungnya dengan meminjamkan uang cukup banyak sebagai modal awal. Kemudian Toha menawari Dulla sebuah toko yang tak terpakai untuk dijadikan tempat berdagang semangka sekaligus tempat tinggalnya. Lokasinya hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari lokasi toko yang ditempati Toha. Dulla sangat senang mendengarnya. Toha juga senang.
Setelah ikut berdagang semangka, Dulla rutin memberi Toha sebungkus nasi kuning setiap senja yang diantar oleh Nyi Marsina yang kata Dulla dipekerjakan sebagai tukang pengikat semangkanya. Toha senang akan hal itu. Meskipun mampu membeli nasi sendiri, tapi itulah bentuk penghormatan atas pemberitaan orang lain.
“Kita settong dhara (6), Cak!” kata Toha pada Dulla suatu waktu. Begitulah jiwa kemaduraan, saling membantu sesama saudara. Namun jangan sesekali menjatuhkan harga diri orang Madura, apalagi sampai merendahkan agama atau keluarga, maka celuritlah jalan keluarnya. Bukannya keras, tapi tegas!
“Bagaimana semangka-semangkamu bisa berubah aneh seperti itu, Cak? Para pelangganmu pun enggan untuk membeli lagi,” tanya Dulla tanpa basa-basi setelah menyambut kedatangan Toha.
Toha tak menjawab, hanya menggeleng lantas duduk di atas lincak, di samping tumpukan semangka.
“Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus tahu siapa orang itu dan segera balas dendam!” kata Toha kemudian yang dipungkasi dengan pukulan cukup keras pada lincak yang didudukinya hingga membuat Dulla terperanjat. Dulla menelan ludah seperti seseorang yang ketakutan.
Terjadilah percakapan panjang antara keduanya. Berkali-kali mereka menepuk bagian tubuhnya yang digigit nyamuk. Cuaca cukup dingin hingga mereka membungkus tubuhnya dengan sarung. Mereka tidak mengobrol di dalam. Kata Dulla, di dalam masih ada perbaikan dinding dan juga atap. Toha penasaran. Sebab, sejak pertamakali Dulla menginjakkan kaki di tempat itu, Toha tidak pernah masuk ke dalam toko tua itu. “Masih diperbaiki,” begitulah jawaban Dulla.
Dari percakapan panjang itu, mereka sepakat untuk meminta air yang sudah dibacakan mantra pada salah satu kiai atau dukun atau entahlah apa itu namanya. Air itu akan dibagikan-bagikan pada orang-orang. Konon, jika air itu mendarat di perut orang yang disasar, alias yang sudah berbuat ulah pada Dulla, maka perut orang itu akan kembung dan bengkak. Bisa-bisa, jika Allah berkehendak, bila sudah sampai tiga hari, orang itu akan sekarat.
Mula-mula Dulla tidak setuju, sebab menurutnya tidak baik menggunakan cara yang seperti itu. Dulla menyarankan untuk menggunakan cara yang lain saja. Namun, keinginan Toha tak tergoyahkan. Toha tetap bersikukuh untuk menggunakan cara seperti itu.
“Iya tidak apa-apa. Tapi, mohon maaf, saya besok mau pulang kampung. Istri saya akan memeriksakan kandungannya yang sudah berusia sembilan bulan,” putus Dulla kemudian. Toha mengangguk paham. Toha turut mendoakan.
Meski angin bertiup pelan, malam terasa mencekam dengan kilatan petir yang mengerikan. Gelap menyeramkan. Langit diselimuti awan. Tak ada sinar bulan, lampu-lampu pun padam. Suara klakson berbagai macam kendaraan di depan warung Toha saling bersahutan, mencipta kebisingan. Burung gagak yang hinggap di atas bangunan berlantai empat di sebelah warung Dulla itu tak henti-henti berkoak-koak seperti sedang mengabarkan kematian. Di sekitarnya, kunang-kunang berterbangan. Sedang di dalam, Toha tersenyum kemenangan. Toha duduk di atas lincak di dalam kontrakannya sembari menghisap sebatang rokok ditemani secangkir kopi. Toha yakin, air itu akan memakan korban.
“Mati kau se pate’!” lantang Toha bersuara.
Tiga hari yang lalu, Toha telah membagi-bagikan air itu dengan modus air khatmi qur’an. Namun, Toha sangat menyayangkan, Dulla tidak bisa mendampinginya. Sebab, tak lama setelah itu, Dulla langsung pulang kampung yang telah katanya ditelepon ayahnya. Tidak lupa, Dulla juga membawa air itu satu botol untuk menghindar dari buruk sangka meskipun itu tidak mungkin.
“Biar semuanya sama, air ini akan saya minum ketika sampai di rumah, biar langsung sakarat nanti,” kata Dulla, bercanda.
Toha menggeleng sambil tertawa dan menepuk pundak Dulla. “Semoga masalah ini cepat selesai, Cak!” ucap Dulla pada Toha sebelum pulang.
Kring….!
Ponsel Toha berdering.
“Iya, siapa?”
“Ini saya Juminten, Kak, istrinya Dulla.”
“Oh, iya ada apa, Lek?”
“Su-su-ami saya meninggal, Kak!”
“Apa?!”
Toha langsung mematikan ponselnya. Napasnya tersengal-sengal. Matanya membulat seolah ingin keluar dari kelopaknya. Toha berlari dengan tergesa-gesa menuju warung Dulla. Dan, di sana Toha melihat warung dan semangka-semangka Dulla telah dikerubungi ulat-ulat menjijikkan yang jumlahnya entah. Toha bergegas masuk ke dalam warung itu. Sebisa mungkin Toha menghindar agar kakinya tidak menginjak ulat-ulat menjijikkan itu. Setelah beberapa kali, akhirnya Toha berhasil mendobrak pintu.
Sesampainya di dalam, di atas lincak yang terletak di sebuah ruangan yang penuh dengan jaring laba-laba, dengan bantuan senter HP-nya, Toha menemukan tampah rotan yang berisi jajan genna’ (7), beberapa macam kembang dan taburan beras kuning yang juga sudah dikerubungi ulat-ulat.
Toha mengepalkan tangannya sangat kuat, matanya terbelalak setelah melihat foto istrinya saat masih remaja yang di belakangnya bertuliskan: engko’ esto ka ba’na, Le’ (8) bersanding dengan fotonya sendiri yang bagian wajahnya ditusuk-tusuk. Di sebelah tampah itu, Toha menemukan sebuah nota pembelian sepeda motor dan juga kulkas sebesar tiga puluh juta. Belum selesai, Toha dikejutkan dengan sosok Nyi Marsina yang sudah terkapar tak berdaya penuh darah. Tubuhnya diikat dan mulutnya dibekap di pojok ruangan, di belakang lemari itu.
Tiba-tiba terbayang di benak Toha bagaimana sesungguhnya Dulla seperti semangkanya yang dagingnya seperti kapas, berwarna hitam, berbau busuk dan kerubungi ulat-ulat menjijikkan meski kulitnya masih tampak hijau segar dan selalu menarik perhatian.
Annuqayah, 22/02/2022
Catatan:
1. pate’: anjing
2. babaja: leluhur
3. keyaji: kiai kampung
4. rasol: tampah atau wadah berisi nasi, telur, aneka makanan tradisional, kuah, dan satu lembar uang
5. damar: pelita
6. settong dhara: satu darah
7. jajan genna’: makanan tradisional yang lengkap tujuh macam.
8. engko’ esto ka ba’na, Le’: aku sayang kamu, dik.
ilustrasi: affandi; pinterest.