Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama, Pedoman Berpikir Santri

147 views

Tak ada yang aneh bila kaum nahdliyin, baik kiai, ulama, santri, maupun pesantrennya tergolong sebagai kelompok masyarakat yang paling “adem” menyikapi berbagai aturan dan imbauan yang terkait dengan penyebaran virus Corona. Nyaris tak ada yang protes, atau bahkan memprovokasi, ketika pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan meminta masyarakat beribadah di rumah saja; salat Jumat diganti dzuhur di rumah saja, juga salat tarawih dan salah Id.

Rupanya, hal itu memang tak terlepas dari pola pikir kaum nahdliyin yang sudah terbangun sejak mula. Setidaknya, hal itu tergambar dalam buku warisan KH Achmad Siddiq, yang pernah menjadi Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Buku itu berjudul Pedoman Berpikir Nahdlatul ‘Ulama (alFikratan Nahdhiyyah), yang pertama kali diterbitkan pada 9 Oktober 1969.

Advertisements

Coba kita lihat pada halaman 33-34 buku klasik tersebut. Ada satu subbab yang diberi judul “Saddudz Dari’ah”, yang berarti kewaspadaan yang bersifat preventif. Dalam buku ini, saddudz dari’ah diartikan sebagai “menutup jalan ke arah bayaha”.

Dalam buku ini KH Achmad Siddiq menjelaskan bahwa semua hal atau perbuatan yang menimbulkan bahaya atau menimbulkan sesuatu yang terlarang, maka hukumnya juga terlarang (haram). Meskipun, perbuatan itu sendiri an sich (lidzatihi) semula tidak dilarang. Atas dasar itu, maka “jalan terang menuju bahaya harus ditutup.”

Prinsip saddudz dari’ah ini, menurut KH Achmad Siddiq, memang digunakan untuk menilai perbuatan itu sendiri, apakah akan berakibat baik atau buruk, tanpa mempermasalahkan niat dari perbuatannya. Artinya, perbuatan yang mendatangkan akibat buruk hukumnya dilarang meskipun niatnya baik. Niat baiknya mungkin akan tetap memperoleh pahala dan itu menjadi urusan Allah, tapi perbuatan yang mendatangkan keburukan atau bahaya hukumnya dilarang. Jalannya harus ditutup, demi kemaslahatan bersama.

Dalam buku ini juga dilengkapi contoh bagaimana prinsip saddudz dari’ah diterapkan. Misalnya, ada seseorang yang dengan ikhlas lillahi ta’ala mencaci maki patung-patung yang dituhankan oleh kaum penyembah berhala. Perbuatan dengan niat baik ini dengan sendirinya akan mendatangkan pembalasan serupa, kaum penyembah berhala membalas dengan mencaci maki Allah. Maka, meskipun niatnya baik, perbuatan mencaki maki patung itu dilarang.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan