Tak ada yang aneh bila kaum nahdliyin, baik kiai, ulama, santri, maupun pesantrennya tergolong sebagai kelompok masyarakat yang paling “adem” menyikapi berbagai aturan dan imbauan yang terkait dengan penyebaran virus Corona. Nyaris tak ada yang protes, atau bahkan memprovokasi, ketika pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan meminta masyarakat beribadah di rumah saja; salat Jumat diganti dzuhur di rumah saja, juga salat tarawih dan salah Id.
Rupanya, hal itu memang tak terlepas dari pola pikir kaum nahdliyin yang sudah terbangun sejak mula. Setidaknya, hal itu tergambar dalam buku warisan KH Achmad Siddiq, yang pernah menjadi Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Buku itu berjudul Pedoman Berpikir Nahdlatul ‘Ulama (al–Fikratan Nahdhiyyah), yang pertama kali diterbitkan pada 9 Oktober 1969.
Coba kita lihat pada halaman 33-34 buku klasik tersebut. Ada satu subbab yang diberi judul “Saddudz Dari’ah”, yang berarti kewaspadaan yang bersifat preventif. Dalam buku ini, saddudz dari’ah diartikan sebagai “menutup jalan ke arah bayaha”.
Dalam buku ini KH Achmad Siddiq menjelaskan bahwa semua hal atau perbuatan yang menimbulkan bahaya atau menimbulkan sesuatu yang terlarang, maka hukumnya juga terlarang (haram). Meskipun, perbuatan itu sendiri an sich (lidzatihi) semula tidak dilarang. Atas dasar itu, maka “jalan terang menuju bahaya harus ditutup.”
Prinsip saddudz dari’ah ini, menurut KH Achmad Siddiq, memang digunakan untuk menilai perbuatan itu sendiri, apakah akan berakibat baik atau buruk, tanpa mempermasalahkan niat dari perbuatannya. Artinya, perbuatan yang mendatangkan akibat buruk hukumnya dilarang meskipun niatnya baik. Niat baiknya mungkin akan tetap memperoleh pahala dan itu menjadi urusan Allah, tapi perbuatan yang mendatangkan keburukan atau bahaya hukumnya dilarang. Jalannya harus ditutup, demi kemaslahatan bersama.
Dalam buku ini juga dilengkapi contoh bagaimana prinsip saddudz dari’ah diterapkan. Misalnya, ada seseorang yang dengan ikhlas lillahi ta’ala mencaci maki patung-patung yang dituhankan oleh kaum penyembah berhala. Perbuatan dengan niat baik ini dengan sendirinya akan mendatangkan pembalasan serupa, kaum penyembah berhala membalas dengan mencaci maki Allah. Maka, meskipun niatnya baik, perbuatan mencaki maki patung itu dilarang.
Maka, atas dasar prinsip saddudz dari’ah itu, para kiai dan ulama serta para santrinya seakan tidak kaget dan gagap ketika pemerintah memberlakukan protokol Covid-19. Jika tetap salat berjamaah di masjid akan mendatangkan bahaya, maka atas dasar prinsip saddudz dari’ah itu, beribadah di tengah keramaian atau kerumunan merupakan perbuatan yang dilarang.
Dalil Perjuangan dan Hukum
Buku Pedoman Berpikir Nahdlatul ‘Ulama ini telah diterbitkan dua kali. Pertama kali diterbitkan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jember pada 1969. Untuk kedua kalinya, pada 1972 diterbitkan oleh Forum Silaturrahmi Sarjana Nahdlatul Ulama (FOSNU) Jawa Timur.
Buku ini cukup sederhana, bersampul hijau polos dan terdiri dari 49 halaman. Namun, isinya masih banyak dipedomani kaum nahdliyin hingga kini. Buku ini terdiri atas lima bagian, yaitu Moqoddimah, Dalil Perjuangan dan Dalil Hukum, Lima Dalil Perjuangan, Lima Dalil Hukum, dan Penutup.
Dalam Muqoddimah, KH Achmad Siddiq menjelaskan posisi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi dalam peta politik global saat itu, di mana melalui globalisasi peradaban Barat terus mendesakkan pengaruhnya ke negeri-negeri Timur, terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sedini itu, KH Achmad Siddiq mengajak warga nahdliyin untuk mengenali karakter peradaban Barat agar tidak terpedaya olehnya.
Setelah itu, barulah buku ini menetapkan alasan-alasan serta dalil-dalil perjuangan bagi warga nahdliyin agar dapat survive dan memperjuangkan Islam ahlusunah waljamaah di Indonesia. Yang dimaksud dengan lima dalil perjuangan adalah patokan-patokan pikiran di dalam menanggapi soal perjuangan di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan lain-lain, penyusunan program perjuangan, dan pelaksanaan program perjuangan. Lima dalil perjuangan dimaksud meliputi Jihad Fisabilillah, Izzul Islam Wal Muslimin, At Tawasshuth/Ittidal/At Tawazun, Saddudz-dzari’ahj, dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Itulah pedoman kaum nahdliyin dalam berjuang.
Setelah Lima Dalil Perjuangan, buku ini membahas Lima Dalil Hukum. Yang dimaksud dengan lima dalil hukum adalah patokan-patokan pikiran yang dipergunakan Imam-Imam Mujtahid di dalam berijtihad/beristimbath tentang masalah-masalah hukum agama Islam, terutama oleh Imam-Imam Madzhab Syafii.
Setelah melakukan pembahasan mendalam, dalam buku ini KH Achmad Siddiq kemudian menyimpulkan adanya lima dalil hukum yang dipedomani kaum nahdliyin dalam mengambil suatu pendapat hukum. Kelima dalil hukum dimaksud adalah (1) Segala sesuatu dinilai menurut niatnya; (2) Bahaya harus disingkirkan; (3) Adat-kebiasaan dikukuhkan (sebagai sumber hukum); (4) Sesuatu yang sudah yakin tidak boleh dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan; dan (5) Kesukaran (kemasyakatan) membuka kelonggaran.
Sungguh, meskipun ditulis pada era 1960-an, pokok-pokok isi buku masih sangat relevan dengan dinamika umat Islam Indonesia saat ini.