Meski bagaimana pun dia adalah ayahku. Jika suatu kali engkau melintasi jalan Kalipang, kemudian menemukan seorang lelaki lusuh sedang berjalan mengais-ngais tumpukan sampah, berilah ia makan atau apapun yang dapat mengganjal perutnya dari kelaparan. Itu ayahku. Sekali lagi, dia adalah ayahku. Dia yang tak mau pulang dan tetap ingin mengais sampah di seberang jalan Kalipang.
Pernah suatu kali aku membujuknya untuk pulang, menanyakan alasan dia seputar sikapnya yang menjunjung ejekan pada keluarganya. Di luar nalar, spontan dia mengamuk, seakan-akan sukma lain berada dalam tubuhnya. Ia tidak mengenaliku sebagai putrinya. Ayahku menenteng besi yang biasa ia gunakan untuk mengais sampah, sambil mengacung-ngacungkannya ke arahku. Ia menyuruhku pulang dan melupakan dirinya sebagai ayahku. Entahlah, sesuatu apa yang dijulurkan Tuhan terhadap ayah.
Sebelumnya, tidak ada yang tau alasan pasti dia menjadi seperti itu. Hanya saja perlu diyakini, barangkali ini bagian dari cara Tuhan merias ayah dengan cinta.
Sebagian orang mungkin akan menghakimi pada kemungkinan-kemungkinan yang dialami oleh ayah, bahkan suatu ketika aku pernah mendengar obrolan sepasang kekasih yang sedang membicarakan ayah, “Kalau ditanya kapan terakhir kali mandi, mungkin jawabannya tahun penjajahan Belanda.” Kemudian mereka melepas tawa secara bersamaan. Semacam primadona yang tak pernah habis digunjingkan, sedang aku dipaksa setabah anak-anak bangsa Palestina yang mengalami deraan kekejaman Israel.
Tidak hanya sekali ketajaman lidah dari seorang teman, tetangga, bahkan dari orang terdekat pun juga ikut mengiris organ dalam bernama hati. Awal-awal aku menerima dengan amarah nada kebencian pada mereka, hingga kebiasaan itu mengubahku pada tabah paling dalam. Maka dari itu bisa kalian sebut aku sebagai pengecut! Atau seorang anak yang gugur dalam mempertaruhkan harga diri keluarga. Tetapi aku tak pernah sekarib dengan kebencian; pada seseorang yang telah menjadi alasan aku dilahirkan, meski alam membentangkan nasib buruk pada keluargaku.
Ini semacam mimpi buruk yang benar-benar terjadi, dan dialami ayahku beberapa tahun yang silam. Dari ingatan yang sebelumnya tidak bisa merekam kenangan, ayah sudah melumat kisah yang tak normal. Jadi aku bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini. Keadaan yang mendenguskan nasib kesedihan.
Sebelumnya aku juga tidak mengira kalau dia adalah ayahku. Meski beberapa orang terkadang dengan keusilannya memanggilku “anak pemulung”. Karena setiap kali aku menanyakan pada ibu, maka dengan gesit ibu akan menjawab, “Kau terlahir dari seorang lelaki tak mau bertanggung jawab.” Atau terkadang ibu akan menjawab, “Ayahmu sudah mati.” Begitulah setiap hari, seputar ayah tak pernah lupa kutanyakan pada ibu, hingga aku sampai pada belenggu rintihan tangis kata-kata ibu malam itu.
Waktu itu, aroma hujan masuk menembus dinding dan menyelinap melewati lubang-lubang kecil kamar, berpacu dengan suara tangis yang begitu dekat. Seperti mendengar desis ular, tiba-tiba ketakutan menjalar di jiwa perempuanku. Beberapa kali aku memanggil ibu, berteriak di antara gemuruh guntur dari hujan yang berkepanjangan. Tetapi tetap tidak ada jawaban dari ibu, mungkin suaraku tak mampu membangunkan lelapnya. Pikirku waktu itu.
Aku beranikan diri beranjak dari tempat tidurku. Berjalan tersuntuk, namun cepat didesak kekhawatiran. Gagang pintunya tidak terkunci, isaknya semakin jelas. Ibu rupanya tidak menyadari seseorang telah masuk ke kamarnya.
Suaraku tercekat, saat aku berada di belakang ibu. Aku mendengar ibu sedang mengutuk dirinya dalam penyesalan, sesekali juga terdengar nama suaminya yang tak lain adalah ayahku. Ya, ibu sedang menyesali dirinya atas pernikahannya dengan ayah.
Sesenggukannya tiba-tiba terdengar berhenti. Bayanganku di bawah lampu neon disadari oleh ibu, cepat-cepat ia mengemasi kesedihannya, merapikan raut muka sebisa mungkin sebelum menoleh ke arahku.
“Alina…”
Terdengar suaranya bergetar dan aku tak berani untuk sekadar menatap. Debarnya menyalar ke seluruh tubuhku.
“Kemarilah, Nak. Mendekatlah, akan kuceritakan misteri yang kusembunyikan darimu.” Setabah mungkin aku kembali memungut ketenangan yang tersandung isaknya, tapi bagaimana pun bentuk dari ketenanganku, yang terlihat tetaplah perih paling menyedihkan. Kemudian kata-katanya berubah menjadi jalan. Ibu mengajakku berkeliling menyusuri belukar masa lalu ayah.
***
Gema suara terdengar menakutkan, membuat orang-orang di sana menggigil. Membuat kaku, tak ubahnya peluru yang melesat mencari kematian, alias suara yang ingin membunuh kebenaran. Lepas begitu saja, tanpa pertimbangan dan belas kasihan. Pemiliknya hanya ingin pembenaran, hanya ingin patuh terhadapnya, meski ia tak setuju.
Aku menatapnya seperti pengkerdilan manusia, kecurangan yang berserakan dan kebenaran yang disembunyikan. Perang di kepala tak bisa membuat orang-orang tenang, pun mataku yang melihatnya, sempurna mencipta genangan air mata dan tumpah di antara kedip mata.
Ibu menunjuk pada kepingan yang lain. Ketidakadilan menjadi virus yang menyebar dalam lingkaran, dibalut pembenaran. Rupanya pemilik suara itu adalah lelaki yang sering aku tanyakan pada ibu. Tak ubahnya seorang raja. Begitulah yang aku lihat pada ayah.
“Apa kau masih kuat, Alina?” Aku menatapnya, memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan.
Ibu memastikan dan bilang bahwa serial ayah masih panjang. “Jika kau tidak kuat, bilang saja. Ibu akan cukupkan.” Padahal aku juga tahu bahwa ibu pasti juga terluka dengan masa lalunya. Ceritanya tak lain goresan yang ia usahakan untuk dilupakan. Namun sering gagal oleh kehadiranku. Aku semacam terowongan yang mampu mengajak ibu untuk menemui ingatannya terhadap ayah. Jadi usaha keras bagaimana pun yang dibangun oleh ibu, hasilnya tetaplah sama. Ibu tak mampu melupan sosok lelaki yang ia cintai.
Dulu, ayahku raja yang membentangkan kebebasan pada dirinya, hanya pada dirinya. Korbannya mereka, di mantra dengan kelicikan kemudian merampas kebebasan mereka. “Semua yang tidak mengikuti aturan akan kulaporkan kepadanya.” Suara anak buah ayah menutup pengumuman dengan memberi ancaman keras.
Ayah memang mempunyai beberapa anak buah. Tak banyak, namun mampu membekukan jamaah manusia yang mencoba melawan. Semua keinginannya harus menjadi peraturan, meski pada awalnya keinginan itu lahir dari sebuah pemikiran bawahannya. Ya, mereka sama saja, bahu membahu merobohkan ketenangan manusia lain yang tak mempunyai kekuatan. Aku melihat ayah tersenyum manis, sangat manis, manis sekali, persis seperti cara ayah tersenyum memenuhi hati ibu.
Perlu kalian ketahui bahwa hati ibu menjadi rapuh setiap kali melihatnya, bukan hanya ibu, katanya. Semua perempuan yang melihatnya akan menjadi melati yang mekar sebelum waktunya. Cuma kebetulan waktu itu jatuh ke pangkuan ibu, dan ayah melamarnya sebagai bentuk keseriusan soal cinta. Ibu membayangkan, hidup akan menjadi sempurna baginya, sebagai seorang nyai. Ia berani bertaruh pada bayangan masa depan, karena ia merasa bahwa seseorang yang melamarnya adalah lelaki yang baik. Itulah yang dibayangkan ibu sebelum waktu perlahan membangunkan kutukan untuk pergi menemui ayah.
Sebaya dengan ayah, aku lihat ia sibuk memilah sampah, membersihkan selokan dengan keringatnya, begitu tabah, mengangkat beberapa sampah yang menyumpat aliran air dan menggaruk debu-debu yang menjelma tanah keras. Ia seseorang yang mencintai kebersihan. Melihatnya membersihkan sampah seperti melihat ia sedang membersihkan hatinya sendiri. Lagi-lagi aku menyaksikan ayah sedang tersenyum, kali ini senyumnya ganjil.
“Bukankah itu Samsudin?” seorang temannya menimpali pertanyaan dengan nada yang terlampau meremehkan.
Tunggu-tunggu, bukankah Samsudin adalah seorang tokoh masyarakat di desa ini? Apakah ia benar-benar Samsudin? Lalu apa yang sebenarnya yang terjadi? Kenapa ia tiba-tiba membersihkan selokan? Sehimpun pertanyaan benar-benar membutuhkan jawaban. Aku ingin jawaban, hanya itu. Namun, ibu ingin menuntunku pada cerita yang lain.
Cerita baru mulai dituangkan, ibu sepertinya tidak terlalu peduli melanjutkan kisah sosok bernama Samsudin, meskipun aku menyela memberikan kode pertanyaan siapa Samsudin sebenarnya? Ia tak menghiraukan. Ia hanya fokus terhadap kisah ayah, karena dianggapnya akar masalah yang menimpa keluarga ini lahir dari mantan seorang pemimpin. Itu ayahku. Ibu menunjuk ke kiri kemudian mengajakku melihat ke kanan, dan aku terhenti pada satu tempat. Sebuah tempat yang menurutku tidak luas, namun juga tidak kecil, tempat yang kulihat beberapa orang sinis memandangnya. Di luar tertulis besar baleho Kantor Keamanan.
sumber ilustrasi: humaniora.id.