Mengingat masa-masa menuntut ilmu di pondok pesantren memang membuat candu. Dari mulai dibangunkan dari tidur di waktu sepertiga malam, makan di atas nampan, sampai momen ketiduran saat ngelogat, dan masih banyak lagi.
Nah, sambil bernostalgia masa-masa menjadi santri, di sini saya akan membahas sedikit tentang menuntut ilmu. Khususnya bagi para penuntut ilmu dari kitab karangan Imam al-Ghazali, Bidâyah al-Hidâyah, yang banyak sekali dikaji di beberapa pondok pesantren. Kitab ini juga cocok dipelajari bagi semua kalangan, terutama bagi pemula, karena pembahasannya yang cenderung mudah dipahami.
Tapi sebelum itu, mari kita sedikit mengenal lebih dalam seorang tokoh ulama besar ini, ahli fikih dan tasawuf yang dikagumi banyak ulama dan kaum muslimin. Imam al-Ghazali dijuluki mujaddid (pembaharu) abad ke-5 Hijriyah. Banyak ulama memuji sosoknya sebagaimana diulas dalam buku Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali karya Ustadz Wildan Jauhari.
Imam al-Ghazali bernama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid at-Thusi as-Syafi’i. Gelarnya al-Ghazali ath-Thusi, merujuk nama ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya, yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (kini Iran). Sedangkan, gelar as-Syafi’i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi’i.
Kitab Bidâyah al-Hidâyah ini disyarahi salah satunya oleh Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantanî, seorang ulama terkemuka yang berasal dari Kota Banten, dan diberi judul Maraqi al-Ubudiyyah. Isinya adalah menjelaskan tentang adab dan nasihat-nasihat Imam al-Ghazali kepada para penuntut ilmu agar tidak salah menetapkan niat dalam mencari ilmu.
Berikut salah satu pesan Imam al-Ghazali dalam kitab Bidâyah al-Hidâyah:
فَاعْلَمْ اَيُّهَا الْحَرِيْصُ الْمُقْبِلُ عَلَى اقْتِبَاسِ الْعِلْمِ الْمُظْهِرُ مِنْ نَفْسِهِ صِدْقَ الرَّغْبَةِ وَ فَرَطَ التَّعَطُّسِ اِلَيْهِ أَنَّكَ اِنْ كُنْتَ تَقْصِدُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ الْمُنَافَسَةَ وَ الْمُبَاهَاتِ وَ التَّقَدُّمَ عَلَى الْأَقْرَانِ وَ اسْتِمَالَةَ وُجُوْهِ النَّاسِ اِلَيْكَ وَ جَمْعَ حِطَامِ الدُّنْيَا فَاَنْتَ سَاعٍ فِيْ هَدَمِ دِيْنِكَ وَ اِهْلَاكِ نَفْسِكَ وَ بَيْعِ اٰخِرَتِكَ بِدُنْيَاكَ فَصَفَقَتُكَ خَاسِرَةٌ وَ تِجَارَتُكَ بَائِرَةٌ وَ مُعَلِّمُكَ مُعِيْنٌ لَك عَلٰى عِصْيَانِكَ وَ شَرِيْكٌ لَكَ فِيْ خُسْرَانِكَ وَ هُوَ كَبَائِعِ سَيْفٍ مِنْ قَاطِعِ طَرِيْقٍ كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَعَانَ عَلٰى مَعْصِيَةٍ وَ لَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ كَانَ شَرِيْكًا لَهُ فِيْهَا
Artinya: “Maka ketahuilah wahai orang yang sangat tertarik menuntut ilmu, yang menunjukkan dirinya benar-benar ingin dan sangat haus terhadap ilmu, Sungguh apabila dengan menuntut ilmu engkau bermaksud bersaing, membanggakan diri, mengungguli teman-teman, menarik perhatian manusia dan mengumpulkan harta benda dunia, maka engkau sedang bergerak meruntuhkan agamamu, membinasakan dirimu sendiri, dan menjual akhiratmu dengan dibayar dunia. Maka transaksimu merugi, perdaganganmu bangkrut, pengajarmu adalah penolong kedurhakaanmu, serta partnermu dalam kerugianmu sambil ia seperti orang yang menjual pedang kepada begal sebagaimana Baginda Nabi Muhammad saw bersabda ‘Siapa pun yang menolong kedurhakaan walau dengan sepotong kalimat, maka ia adalah partner baginya dalam kedurhakaan itu’.”
Pesan ini menunjukkan betapa pentingnya memperbaiki niat sebelum menuntut ilmu, tujuannya agar mendapat ilmu yang bermanfaat dan diridai oleh Allah. Nabi Muhammad pun selalu berdoa:
اللَّهمَّ اِنِّي اَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَعَمَلٍ لَا يُرْفَعُ وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ
Artinya” “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, amal yang tidak diterima, dan doa yang tidak didengar.”
Menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Bidâyah al-Hidâyah, terdapat tiga golongan manusia dalam menuntut ilmu. Pertama, seseorang yang menuntut ilmu dengan niat untuk dijadikan bekal akhirat, dan hanya mengharapkan rida Allah. Ini termasuk golongan orang-orang yang beruntung.
Kedua, seseorang yang menuntut ilmu dengan niat memanfaatkan ilmu tersebut untuk kehidupan yang singkat, sehingga ia bisa memperoleh kemuliaan, kedudukan, dan harta di dunia, padahal ia menyadari dalam hatinya bahwa niatnya mencari ilmu yang seperti itu adalah keliru dan hina.
Maka orang yang seperti ini termasuk golongan orang-orang yang dikhawatirkan nasibnya di akhirat. Orang-orang seperti ini termasuk ke dalam kelompok orang yang hukumnya diperinci, jika ia sempat bertobat sebelum ajal tiba. Kemudian, jika ia kemudian berilmu dan beramal dengan memperbaiki niatnya, maka ia akan masuk golongan orang yang beruntung. Tetapi, jika ajalnya tiba sebelum sempat bertobat, maka nasibnya di akhirat tergantung kepada Allah.
Ketiga, seseorang yang sudah diperdaya oleh setan. Ia pergunakan ilmunya untuk kepentingan dunia, serta membanggakan diri dengan ilmu dan kedudukannya, dan menyombongkan diri dengan jumlah pengikutnya yang banyak.
Pencari ilmu seperti ini, ilmunya dijadikan modal untuk meraih tujuan duniawi. Berbeda dengan golongan yang kedua, orang pada golongan ini mengira bahwa dirinya mulia di sisi Allah. Dan tidak sedikit pun merasa salah dengan niat dan apa yang telah diperbuatnya. Karena ciri-cirinya dan kepandaian berbicaranya yang seperti ulama, padahal ia begitu tamak kepada dunia, maka orang-orang seperti ini termasuk golongan orang yang celaka, orang yang rusak. Tobat pun sudah tidak diharapkannya karena ia menyangka termasuk orang-orang yang baik, padahal ia termasuk orang-orang yang rugi.
Ini termasuk orang-orang seperti yang dikhawatirkan oleh Rasulullah berkata:
اَنَا مِنْ غَيْرِ الدَّجَّالِ اَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الدَّجَّالِ فَقِيْلَ وَمَا هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ عُلَمَاءُ السُّوْءِ
Artinya: “Ada yang paling aku takutkan dari kalian dibandingkan Dajjal. Lalu para Sahabat bertanya, ‘apa itu wahai Rasulullah SAW?’ ‘Ulama Sû`, jawab Nabi.”
Kenapa mereka ditakutkan tinimbang Dajjal? Sebab, Dajjal sudah jelas memang bertujuan untuk menyesatkan manusia. Sementara, orang alim yang seperti ini meskipun lisan dan perkataannya memalingkan manusia dari dunia, tapi tidak tercermin pada amal perbuatannya sendiri.
Padahal, perilaku lebih fasih dibanding ucapan atau perkataan. Sebab, watak manusia itu meniru pada perilaku. Maka, manusia lebih terpengaruh dengan apa yang dilihat dari perilaku dan tindakan daripada apa yang diucapkan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan jauh lebih besar daripada perbaikan yang disebabkan oleh ucapan. Itu artinya pengaruh perilaku lebih kuat ketimbang pengaruh ucapan.
Karena itu, Imam al-Ghazali berpesan kepada para pencari ilmu, “Jadilah kalian golongan yang pertama, hati-hatilah jangan sampai kalian masuk pada golongan yang kedua. Karena banyak orang yang selalu menunda-nunda tobatnya untuk memperbaiki niatnya dalam mencari ilmu hingga ajal menjemputnya, maka rugilah kalian. Awas-awas, jangan pernah kalian masuk dalam golongan ketiga, sebab jika engkau masuk pada golongan ini, maka tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan dan ditunggu kebaikannya.”
Itulah mengapa Rasulullah menjadi uswatun hasanah karena akhlaknya dalam konsep dan perilakunya. Seimbang atas apa yang diucapkannya dengan yang diperbuat. Rasul melakukan apa yang didakwahkan, bahkan seringkali terlebih dahulu mencontohkan melakukan sesuatu sebelum menyampaikannya.
Wallahu a’lam.