Pencegahan Terorisme: Antara Represi dan Akomodasi

127 kali dibaca

Terhitung sejak terbukanya kran kebebasan yang merupakan ilham dari reformasi serta tragedi runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) pada tahun 2001, membuat isu mengenai terorisme muncul lagi pada permukaan.

Sejatinya, pada masa awal kemerdekaan, terdapat gerakan yang condong mengarah pada tindak terorisme. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosuwiryo adalah salah satunya. DI/TII berupaya untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) yang didasari pada perjanjian Renville mengenai wilayah Jawa Barat yang diakui oleh Belanda (Zulfahri, 2020).

Advertisements

Secara lebih mendalam, Yudi Zulfahri dalam bukunya yang berjudul Bayang-bayang Terorisme Potret Genealogi dan Ideologi Terorisme di Indonesia” (2020) menyuguhkan analisa menarik seputar gerakan terlarang ini.

Sebut saja, peristiwa Komando Jihad, gerakan DI di Jateng, lahirnya Jama’ah Islamiyah, kelompok Al-Qaeda Indonesia, fenomena ISIS dan simpantisannya di Indonesia, hingga lahirnya JAD. Juga, tentang peta ideologi pelaku terorisme itu sendiri di Indonesia.

Tak kalah menarik, Yudi Zulfahri juga menyinggung mengenai strategi menanggulangi terorisme di Indonesia. Memang, secara a priori, tindak terorisme memiliki dampak yang begitu mendalam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari berjatuhannya korban, polarisasi sosial dan penurunan investasi dan pariwisata merupakan segelintir dampak gerakan terorisme.

Dengan mengutip Mantan Kepala BNPT, Saud Usman Nasution, Yudi Zulfahri menjelaskan bahwa strategi untuk menanggulangi terorisme di Indonesia dilakukan dengan dua cara yakni pendekatan kekuatan (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach) (Zulfahri, 2020:172).

Dengan menyitir pendapat Aljunied (2011), Zulfahri menyebut bahwa pendekatan kekuatan melibatkan penggunaan fisik untuk mencegah rencana destruktif para teroris layaknya melakukan aksi pengeboman. Upaya ini dilakukan oleh aparat keamanan yang cenderung bersifat jangka pendek dan tentunya harus memerhatikan prinsip-prinsip HAM dan asas praduga tidak bersalah (Zulfahri, 2020:172).

Dalam hal penahanan pun dilakukan secara lebih khusus dibanding pelaku-pelaku kasus kejahatan lainnya. Para pemimpin, ideolog, dan provokator aksi terorisme dipisahkan dengan sel tahanan lainnya. Pasalnya, jika mereka dijadikan satu dengan tahanan lainnya ditakutkan akan melakukan kaderisasi di dalam tahanan. Sedangkan pengikut ditempatkan secara bersama-sama dengan pengikut lainnya (Zulfahri, 2020:174).

Sementara itu, pendekatan lunak, sebagai alternatif dari pendekatan kekuatan berporos pada program deradikalisasi dan disengagement. Pendekatan ini berupaya untuk melepaskan ideologi yang masih menyelimuti para pelaku serta menghentikan penyebaran ideologi yang dianutnya.

Namun, menyitir laporan Sidney Jones selaku Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyebut bahwa upaya rehabilitasi yang dilakukan pemerintah untuk menangani para pelaku tindak teror yang telah dibebaskan dari penjara ternyata gagal (Zulfahri, 2020:176). Bagi Al Chaidar (2016), hal ini dikarenakan para pelaku tersebut tidak memiliki ketrampilan dan pekerjaan pada akhirnya mereka bergabung kembali pada jaringan terorisme.

Di satu sisi, negara juga memiliki regulasi guna melawan atau menanggulangi terorisme. Sebut saja, UU Anti Terorisme dan PP No. 77 Tahun 2019 Tentang Pencegahan Terorisme. Walaupun demikian terdapat berbagai regulasi lainnya yang mengatur tentang hal tersebut seperti Perpres No. 46 Tahun 2010 Tentang BNPT, UU Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Terorisme, dan lain sebagainya. Namun dipilihlah dua regulasi di atas sebagai representasi utuh atas beragam banyaknya peraturan mengenai pencegahan terorisme.

UU Anti Terorisme lahir secara kilat paska kejadian pengeboman di Surabaya pada Mei tahun 2018. Memang, dalam UU tersebut dominan pembahasan mengenai pencegahan terorisme namun juga mencakup berbagai hal yang berpihak pada hak asasi manusia. Hal itu menjadikan cakupan UU tersebut meluas hingga pada persoalan hak korban atas aksi terorisme, medis, psikologis dan psikososial hingga rehabilitasi.

Namun, mengenai definisi terorisme menjadi persoalan yang begitu musykil untuk diselesaikan. Pasalnya, unsur-unsur kejahatan terorisme yang dimuat dalam UU tersebut tidak memuat motif secara spesfik. Sehingga mencerminkan dimensi politik yang lebih luas (Bagir & Ahnaf, 2022).

Fakta sejarah bahwa banyaknya pelaku terorisme yang beragama Islam membuat partai oposisi utama saat itu (Gerindra, PAN, dan PKS) mendesak untuk memasukkan gerakan separatisme di Papua sebagai kategori terorisme.

Setahun setelah UU Anti Terorisme diterbitkan, disahkan pula Peraturan Pemerintah mengenai Pencegahan Tindah Pidana Terorisme dan Perlindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Pembahasan mengenai Kontra Radikalisasi dan Deradikalisasi dibahas cukup panjang dalam PP ini.

Secara garis besar, upaya pencegahan dalam PP ini dapat diartikan sebagai transformasi ideologi atau keyakinan para pelaku atau yang terlibat dalam tindak terorisme. Moderat, Nasionalisme (bahkan Patriotisme) dan Kearifan Lokal menjadi alternatif utama bagi transformasi ideologi terorisme (Bagir & Ahnaf, 2022).

Namun, berdasar pada laporan Bagir & Ahnaf (2022) menyebut bahwa isitlah radikalisme memiliki arti yang berbeda terhadap siapa dan bagaimana konteks itu berbicara. Sehingga hal ini berimplikasi pada pelabelan ‘radikal’ terhadap individu atau komunitas yang kritis terhadap pemerintah atau dianggap mengganggu stabilitas negara.

Dengan begitu, pemerintah seyogyanya melihat dimensi ekstremisme secara lebih luas dengan pertimbangan berbagai hasil penelitian yang menyatakan bahwa motivasi seseorang untuk terlibat dalam gerakan ini sangat kompleks dan tidak dapat digeneralisir secara serampangan. Jika pemerintah tidak berhati-hati dalam menanggulangi radikalisme yang nantinya akan mengarah pada terorisme, maka malah dapat memperburuk kategorisasi radikalisme. Sehingga pemerintah justru bertindak secara represif dan menindas terhadap individu atau kelompok yang dianggap radikal serta memperkuat wajah moderat melalui berbagai akomodasi yang nyatanya mengarah pada penundukan.

Data Buku:

Judul Buku: Bayang-bayang Terorisme: Protet Genealogi dan Ideologi Terorisme di Indonesia
Penulis: Yudi Zulfahri
Penerbit: Pustaka Milenia
Tahun Terbit: 2020
Tebal: xii+ 204 Halaman
ISBN: 978-623-9335-60-1

Multi-Page

Tinggalkan Balasan