Pesantren merupakan dunia penuh simbol. Identitas santri pun terbentuk melalui interaksi dengan simbol. Menjalani hidup juga melalui pemahaman atas simbol-simbol. Dari bacaan teori interaksionisme simbolik kita bisa tahu bagaimana simbol-simbol itu bekerja di dunia pesantren.
Teori interaksionisme simbolik adalah pendekatan sosiologi yang menekankan pentingnya simbol dan makna yang dibentuk oleh individu dalam berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Dalam kerangka ini, manusia bertindak berdasarkan makna yang mereka berikan terhadap simbol-simbol yang mereka temui, dan makna tersebut diciptakan melalui interaksi sosial.
Pendekatan ini sangat relevan ketika diterapkan dalam konteks kehidupan di pesantren, terutama dalam melihat bagaimana santri membangun makna dari simbol-simbol yang ada di dalam kehidupan pesantren dan bagaimana simbol-simbol tersebut mempengaruhi cara mereka berinteraksi.
Di pesantren, kehidupan sehari-hari dipenuhi dengan berbagai simbol yang mempengaruhi bagaimana santri memandang dunia dan bagaimana mereka berperilaku.
Salah satu simbol paling mendasar adalah pakaian. Seragam santri, misalnya, sering kali tidak hanya dilihat sebagai pakaian sehari-hari, tetapi memiliki makna lebih dalam yang berkaitan dengan kesederhanaan, disiplin, dan identitas sebagai bagian dari komunitas pesantren. Setiap kali seorang santri mengenakan seragam tersebut, ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang murid yang tunduk pada aturan pesantren dan bagian dari tradisi keagamaan yang mereka pelajari.
Selain itu, bahasa yang digunakan di pesantren juga memiliki makna simbolik. Penggunaan bahasa Arab atau istilah-istilah keagamaan dalam percakapan sehari-hari bukan sekadar bentuk komunikasi, tetapi juga simbol dari pengetahuan agama yang tinggi dan penghormatan terhadap ilmu. Ketika seorang santri menggunakan kata-kata Arab dalam interaksi mereka, hal tersebut mencerminkan tingkat pemahaman mereka terhadap ajaran agama dan menjadi bagian dari identitas mereka sebagai pelajar agama.
Interaksi antar-santri dan santri dengan kiai juga sarat dengan simbol. Dalam hubungan antara santri dan kiai, sikap hormat menjadi simbol yang sangat kuat. Mengucapkan salam, mencium tangan kiai, dan mendengarkan dengan saksama setiap ajaran yang disampaikan merupakan tindakan-tindakan simbolik yang menunjukkan ketundukan dan penghormatan.
Bagi santri, kiai bukan hanya seorang guru, tetapi simbol dari otoritas spiritual yang harus dihormati. Tindakan-tindakan ini diinterpretasikan sebagai bentuk ibadah dan penghormatan, sehingga memperkuat makna spiritual yang terkait dengan kehidupan sehari-hari di pesantren.
Teori interaksionisme simbolik menjelaskan bahwa makna dibangun melalui interaksi sosial, dan ini sangat terlihat dalam proses pembelajaran di pesantren. Kitab kuning, misalnya, adalah simbol pengetahuan agama yang mendalam. Bagi santri, mempelajari kitab kuning bukan hanya tentang memahami isi teksnya, tetapi juga tentang mengambil bagian dalam tradisi panjang ulama dan menginternalisasi nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kitab tersebut menjadi simbol dari koneksi dengan masa lalu, dengan generasi ulama yang telah mempelajarinya sebelum mereka.
Simbol-simbol lain dalam proses pembelajaran adalah ritual-ritual yang dijalankan secara rutin, seperti pengajian, tadarus, atau doa bersama. Setiap ritual ini memiliki makna simbolik yang berbeda-beda bagi santri.
Pengajian, misalnya, dapat dianggap sebagai simbol dari pencarian ilmu, sementara tadarus bisa menjadi simbol dari kedekatan dengan Al-Qur’an. Melalui interpretasi mereka terhadap simbol-simbol ini, santri bukan hanya memahami ajaran agama secara kognitif, tetapi juga secara emosional dan spiritual.
Interaksionisme simbolik juga menjelaskan bahwa individu membentuk identitas diri melalui interaksi dengan simbol-simbol di sekitar mereka. Dalam konteks santri dan pesantren, identitas diri mereka sebagai pelajar agama dibangun dari interpretasi terhadap simbol-simbol yang ada di lingkungan pesantren.
Misalnya, gelar santri sendiri adalah simbol yang sarat makna. Menjadi santri bukan hanya tentang belajar ilmu agama, tetapi juga tentang menjadi bagian dari komunitas dengan nilai-nilai tertentu, seperti kesederhanaan, kemandirian, dan kedisiplinan.
Identitas santri terbentuk melalui interaksi mereka dengan sesama santri dan dengan kiai, serta melalui bagaimana mereka menginternalisasi simbol-simbol yang ada dalam kehidupan pesantren.
Selain itu, posisi hierarkis dalam pesantren juga memiliki makna simbolik yang kuat. Santri senior, atau yang dikenal sebagai “santri kibar,” memiliki otoritas simbolik di mata santri junior. Mereka diinterpretasikan sebagai individu yang lebih berpengetahuan dan lebih berpengalaman dalam menempuh kehidupan pesantren. Interaksi antara santri junior dan senior tidak hanya diwarnai dengan rasa hormat, tetapi juga menjadi sarana bagi santri junior untuk belajar tentang apa yang diharapkan dari mereka sebagai anggota komunitas pesantren.
Dengan menggunakan pendekatan interaksionisme simbolik, kita bisa lebih memahami bagaimana kehidupan di pesantren diwarnai oleh makna simbolik yang kaya. Setiap tindakan, ritual, dan interaksi dalam pesantren tidak hanya sekadar tindakan fisik, tetapi juga sarana untuk membentuk makna dan identitas. Melalui simbol-simbol yang ada, santri belajar tentang siapa diri mereka, peran mereka dalam komunitas, dan bagaimana mereka harus bertindak sebagai pelajar agama.
Bagi para sosiolog yang tertarik pada kehidupan di pesantren, interaksionisme simbolik memberikan kerangka yang berguna untuk meneliti bagaimana santri membentuk makna melalui interaksi sehari-hari. Pendekatan ini membantu kita melihat bahwa pesantren bukan hanya tempat untuk belajar agama, tetapi juga ruang di mana simbol-simbol religius dan sosial saling berkelindan, membentuk cara santri memandang dunia dan posisi mereka di dalamnya.
Teori interaksionisme simbolik memberikan perspektif yang kaya dalam memahami kehidupan santri di pesantren. Melalui interpretasi mereka terhadap simbol-simbol seperti pakaian, bahasa, kitab, dan ritual, santri membentuk makna yang mendalam tentang identitas dan peran mereka. Kehidupan pesantren menjadi sebuah ekosistem simbolis di mana setiap tindakan dan interaksi memiliki makna yang lebih dalam, membantu santri tidak hanya belajar tentang agama, tetapi juga tentang bagaimana menjadi individu yang berkontribusi dalam komunitas mereka. Dalam konteks ini, pesantren adalah lebih dari sekadar institusi pendidikan; ia adalah ruang simbolik yang membentuk cara santri melihat dunia dan berinteraksi dengan sesama.