Sejalan dengan laju perubahan dan pembangunan di segala bidang, telah terjadi pelbagai pertumbuhan yang sangat pesat di segala sektor kehidupan, termasuk bidang kebudayaan dan pendidikan masyarakat Indonesia, tak terkecuali pesantren. Keadaan tersebut mendorong transformasi pendidikan pesantren yang sangat tajam dan dahsyat dari waktu ke waktu.
Pakar sejarah mencoba menelusuri historisitas adanya atau berdirinya pesantren pertama kali dan dari mana permulaannya. Beberapa mengatakan pesantren merupakan indigenous (tradisi asli) Nusantara. Beberapa lagi mengatakan warisan para ulama abad pertengahan. Esai ini sedang tidak menyoal perbedaan pendapat terkait sejarah berdirinya pesantren, melainkan membahas karakteristik dan pola pendidikannya.
Karakteristik awal pesantren secara umum kurang lebih mencakup beberapa hal ini: 1) pesantren tidak menggunakan batasan umur bagi santri-santri; 2) pesantren tidak menetapkan batas waktu pendidikan, karena pendidikan di pesantren bersifat pendidikan seumur hidup, long life education; 3) santri di pesantren tidak diklasifikasikan dalam jenjang-jenjang menurut usia, siapa pun yang ingin belajar dari tingkat lapisan masyarakat apa pun dapat menjadi santri; 4) santri boleh bermukim di pesantren sampai kapan pun atau bahkan bertempat tinggal di dalam pesantren selamanya; 5) pesantren tidak memiliki peraturan administrasi tetap.
Beberapa pakar mencoba memilah dan mengidentifikasi ciri khas pesantren. Dari penelusuran ditemukan tiga tipologi pesantren, terkait karakteristik dan polanya. Disebutkan istilah pesantren tradisional atau salaf, pesantren modern, dan pesantren komprehensif. Penyoalan istilah ini tidak akan dibahas, barangkali ada yang ingin menyangkal, saya persilakan. Penjelasannya sebagai berikut.
Pesantren tradisional lebih cenderung mempertahankan bentuk aslinya seperti hanya mengajarkan kitab-kitab kuning, pola pengajarannya menggunakan metode bandongan atau halaqah dan sorogan, penjelasan terkait kedua model pengajaran ini ada di tulisan selanjutnya. Tidak menggunakan kurikulum sebagaimana sekolah formal, melainkan hak prerogratif kiai bersama para pengurus pesantren.
Pesantren modern setingkat lebih luas cakupannya, untuk tidak mengatakan lebih unggul. Menerima dan menerapkan konsep pendidikan formal dan tetap mempertahankan pendidikan atau pengajaran tradisional. Mendirikan bangunan untuk sekolah SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan Perguruan Tinggi. Diniyah pun diikutkan dalam legal-formal peraturan Kementrian Agama. Mendapat ijazah. Selain tetap mempertahankan mengaji di musala atau masjid.
Beberapa pesantren melakukan perubahan sistem pendidikan dari tradisional menjadi modern karena sebagaimana yang tertuang dalam paragraf awal, laju perubahan, perkembangan zaman, dan pembangunan negara menuntut adanya kontekstualisasi. Perubahan harus direspons, bukan dihindari apalagi ditolak. Jargon ini menjadi dasar perubahan itu.
Pesantren saya, misalnya, Mambaush Sholihin, dahulu kala, awal berdiri hanyalah kegiatan mengaji Al-Quran dan kitab kuning di musala. Lambat laun sejalan usia bertambah, kemampuan semakin meningkat baik dari sektor ekonomi, SDM, maupun kepribadian (jiwa dan spiritualitas) Romo Kiai sendiri, membangun infrastruktur sebagaimana sekarang berdiri. Membuka sekolah formal; mendirikan Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan perguruan tinggi. Dengan tetap mempertahankan tradisi lama, mengaji bandongan Ihya Ulumuddin dan kitab fikih, iqna’ di musala bersama Romo Kiai H Masbuhin Faqih dan terkadang digantikan putra beliau, Agus Huda.
Selain itu, menerapkan wajib dwi bahasa. Berbicara memakai Bahasa Arab dan Inggris. Qiila wa qiila, kabar dari mulut ke mulut, pesantren ini mengambil tiga konsep unggul dari tiga pesantren. Segi kitab kuning merujuk ke Pesantren Langitan Tuban. Segi modern, kedisiplinan, dan bahasa dari Pesantren Gontor. Segi wirid atau amaliah harian dari pesantren asuhan al-‘Arif Billah Kiai Usman al-Ishaqi.
Perpaduan, untuk menghindari istilah perubahan, antara tradisional dan modern ini memunculkan sebuah adagium yang berbunyi, al-Muhafadhoh ‘ala al-Qadiimi al-Ashlah wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Shoolih. Artinya, memegang, mempertahankan, dan menjaga tradisi dahulu yang lebih baik dan mengambil, mengakomodasi, dan mencontoh tradisi baru yang baik.
Untuk ciri pesantren yang terakhir, pesantren komprehensif, memiliki sedikit perbedaan dengan dua tipologi sebelumnya. Pesantren tipe ini masih mengadopsi dua model sebelumnya, klasik yang diwakili ngaji kitab kuning, namun hanya dengan model bandongan atau halaqah, dan terus mengembangkan pendidikan formalnya, sistem persekolahan terus dikembangkan. Bedanya, pesantren tipe ini juga menerapkan atau mengaplikasikan pendidikan keterampilan, misalnya menulis dan desain grafis.
Saya pernah masuk dan mengenyam di pesantren tipe terakhir ini. Klasifikasi pesantren Baitul Kilmah asuhan kiai muda Aguk Irawan MN ke dalam tipe terakhir itu, pasalnya, awal mula berdiri pesantren divisikan sebagai pesantren penulis. Semua santri wajib menulis dan menelurkan karya. Di sela-sela menulis, usai maghrib diadakan ngaji kitab kuning secara bandongan. Sekarang, pesantren ini mendirikan SMK Peradaban Desa sebagai basis formalnya.
Perkembangan pesantren dalam hal pendidikan formal yang paling mutakhir ialah Ma’had Aly. Statusnya setara dengan perguruan tinggi pada umumnya. Penjelasan detail terkait konsep dan karakteristik pendidikan Ma’had Aly ada dalam tulisan terakhir esai ini.
Kurang lebih, penjelasan terkait karakteristik dan pola pendidikan pesantren telah dianggap cukup. Tentu, penjelasan dan data-data terkait tema ini terbuka untuk digugat dan dibantah. Secuil pengetahuan penulis terkait dunia pesantren, khususnya segi pendidikan pesantren ini, semoga bermanfaat.