Kehidupan pesantren adalah kehidupan khusus. Artinya, semua kegiatan santri selama di pesantren ditentukan kode etik dan aturannya sendiri. Peraturan dan kode etik ini tidak bisa dipandang sebagai pengekangan atau pun pembatasan gerak santri. Melainkan sebagai pembiasaan dan pembentukan karakter serta kepribadian yang berakhlakul karimah, akhlak mulia. Proses pembuatan kode etik dan peraturan pun tidak lepas dari kredo-kredo syariat yang lazim dipelajari santri di pesantren. Pendek kata, menanamkan nilai-nilai agama dalam diri santri.
Meminjam istilah dalam ilmu psikologi, bahwa karakter bisa dibentuk dengan beberapa model: keteladanan, apresiasi, hukuman, dan pembiasaan. Hampir keempat model itu ada dalam pesantren.
Pertama, selain dengan secara bandongan dan sorogan, kiai juga mendidik lewat laku. Kiai sebagai role model atau prototipe tertinggi dalam pesantren memberi teladan seperti apa perilaku yang baik itu, akhlak yang mulia. Pasalnya, kiai lebih dahulu mengenyam pendidikan di pesantren dan mendapat pembelajaran dan pendidikan dari gurunya terdahulu, dan ilmu yang didapatnya itu diinternalisasikan ke dalam dirinya dan membentuk kepribadiannya. Ketika pulang kemudian mendirikan pesantren, integritas dan kepribadiannya telah paripurna. Layak menjadi uswah bagi santri-santrinya. Begitu mata rantai ini terus berjalan dan bergerak.
Kedua, apresiasi diberikan kepada para santri yang memiliki kemampuan dan kecerdasan lebih, demi upaya membangkitkan semangat para santrinya, baik si pelaku sendiri maupun santri yang masih menjadi penonton. Di pesantren saya, Mambaush Sholihin, setiap kali teman-teman santri mendapatkan juara lomba MQK (Musabaqah Qiraatul Kutub) akan disambut dan dirayakan pengasuh di Musala Akbar. Seluruh santri diminta mengikuti seluruh rangkaian acara apresiasi tersebut, bahkan tak jarang kegiatan belajar mengajar seketika diliburkan bila acara berlangsung di jam belajar mengajar. Pesan tersirat dan tersuratnya sama, sang juara semakin semangat, santri lain terdorong untuk lebih giat belajar supaya menjadi santri berprestasi.
Ketiga, hukuman diberikan kepada santri yang melanggar kode etik dan peraturan pesantren. Pesantrenku mewajibkan santri-santrinya memakai dua bahasa, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Satu minggu Bahasa Arab, satu minggu Bahasa Inggris, begitu terus bergiliran. Bila ketahuan santri berbahasa Jawa, Indonesia, Madura atau bahasa daerahnya masing-masing, karena memang santri di pesantren dari berbagai daerah, akan dikenai sanksi; berdiri di lapangan menghapalkan kosa kata, bila minggu Bahasa Arab maka kosakata Bahasa Arab, begitu sebaliknya. Semua bidang atau departemen memiliki pengurus masing-masing.
Keempat, pembiasaan dilakukan untuk melatih santri menjalankan kegiatan-kegiatan yang sudah ditetapkan. Tujuan utamanya supaya santri ringan melakukan hal-hal baik, terbiasa menjalankan perilaku baik, istiqamah menjalankan ibadah. Ada sholat tahajud, sholat dhuha, sholat maktubah dengan berjamaah, mengaji, dan lainnya. Hampir seluruhnya dilakukan santri, dan pengurus mengawasi demi berjalannya kegiatan itu. Pembiasaan ini diberlakukan dengan harapan kelak santri ketika pulang tetap melakukan hal-hal baik itu.
Kehidupannya khusus, pembelajarannya pun khusus. Pesantren memiliki sistem pembelajaran yang berbeda dengan sistem pembelajaran yang ada di sekolah formal. Di antara pembelajaran yang akrab di telinga santri adalah bandongan dan sorogan. Bahkan tak jarang memadukan konsep formal dan nonformal.
Bandongan yang merupakan sistem pembelajaran yang bersifat bersama dan diikuti banyak santri, pun bersifat umum. Mekanismenya; seorang kiai, gus, atau ustaz mengaji, istilah pesantrennya mbalang kitab tertentu dari disiplin ilmu tertentu. Para santri mendengarkan dan memaknai kitab yang dipegang.
Berbeda dengan tausiyah, ceramah, atau diskusi, bandongan lebih mengerucut pada aktivitas menelaah satu kitab khusus secara mendalam, membaca kalimat per kalimat dan memaknainya. Dibaca sampai khatam. Durasi bacanya bermacam-macam, tiap pesantren punya ciri khasnya sendiri-sendiri, kadang satu jam, ada yang dua jam, bahkan tiga jam lebih pun ada. Waktu belajarnya pun beraneka ragam, ada yang jam delapan pagi, bakda dhuhur, bakda ashar, atau bakda isya’. Harinya pun begitu, kadang sehari sekali, kadang satu minggu sekali ada pula yang satu bulan sekali.
Disiplin ilmu yang dikaji pun beraneka macam; fikih, tasawuf, gramatika (nahu), lingusitik (saraf) hingga hadis, tafsir, dan tarikh. Kiai atau pengampu ngaji model ini haruslah yang benar-benar menguasai, pakar, ahli atau alim allamah. Kitab dan pengarang (muallifnya) pun dikurasi dengan ketat. Biasanya pengasuh atau pengurus sudah menentukan kitab apa saja dan siapa pengarangnya yang layak dikaji dalam pesantren, terlebih dalam ngaji atau belajar model bandongan ini. Tidak berarti bacaan santri terbatas. Pesantren tetap mengizinkan santri-santrinya membaca banyak kitab di perpustakaan yang tersedia di dalam pesantren.
Bandongan sendiri bisa dikata bukan tradisi asli pesantren, ulama-ulama terdahulu sudah pernah mempraktikannya dalam kegiatan belajar megajarnya. Mereka akan membentuk halaqah (para santri mengelilingi guru yang akan membaca kitabnya). Guru akan membaca dan menyimak dengan saksama. Kemungkinan besar yang memegang kitab hanya gurunya, sebab mesin ketik, percetakan, dan kertas belum sebanyak dan semarak seperti abad ini.
Tradisi bandongan ini memang kurang meningkatkan daya kritis santri, sebab santri hanya mendengar penjelasan dari sang guru dan mencatatnya. Namun, sebagai penjagaan akan transformasi keilmuan yang sah, pemahaman yang terjaga ketersambungannya, tidak sesat apalagi menyesatkan, bandongan tetap penting dan patut dipertahankan sebagai tradisi pembelajaran di pesantren. Bahkan sebagai ciri khusus pembelajaran yang dimiliki pesantren, demi mencetak kader-kader yang unggul dan menjadi penerus dakwah Rasulullah.
Penekanan utama dalam keilmuan pesantren adalah tersambungnya mata rantai keilmuan dari satu guru ke gurunya lagi sampai kepada Rasulullah saw.