Tidak ada yang tahu dari mana pengemis itu berasal. Setiap azan Isya, pengemis itu selalu duduk di samping masjid Baitul Muttaqin. Semua orang yang berangkat ke masjid untuk berjamaah pasti melihatnya. Pengemis itu berpakaian compang-camping dan bertopi anyaman bambu. Jenggotnya putih panjang menjuntai. Wajahnya putih bersih. Tangan kanannya memegang tongkat.
Bila salat Isya telah usai dan semua jemaah keluar, pengemis itu tetap duduk di situ sambil tangan kanannya memegang tongkat. Semua orang tidak ada yang heran padanya karena sudah menjadi kebiasaan. Awal kemunculannya di samping masjid itu, banyak jamaah yang mengusirnya, tetapi ia abai dan tidak menghiraukan.
Ketika baru dua malam di samping masjid, Wigono mengusirnya. Namun, ia diam saja, tidak menghiraukan ucapan Wigono yang bernada tinggi seperti marah. Dia justru tersenyum pada Wigono. Sebab itu Wigono mengatakan kepada para jamaah bahwa pengemis itu adalah orang gila. Pada akhirnya, semua jemaah salat Isya memaklumi pengemis itu untuk tetap di masjid.
Menjelang salat Subuh, pengemis itu berdiri dari duduk dan berjalan ke tempat wudhu. Setelah wudhu, ia memasuki masjid dan melaksanakan salat dua rakaat. Ia menunggu para jamaah datang dengan duduk bersila di pojok kiri paling belakang masjid. Setelah beberapa menit ia duduk, Mbah Kamuli datang dan mengumandangkan azan Subuh, lalu melantunkan pujian.
Pengemis itu lalu berdiri dan melaksanakan salat dua rakaat. Mbah Kamuli yang melantunkan pujian, diam-diam selalu memperhatikan gerak-gerik pengemis itu. Dia tahu, setelah Subuh, pengemis itu hilang entah kemana. Tidak ada yang mengetahui. Dan seperti itulah setiap hari yang telah berjalan sebulan di masjid Baitul Muttaqin. Maka sebab itu, Mbah Kamuli ingin tahu, ke mana si pengemis itu bersembunyi bila siang hari,dan dengan cepatnya bila azan Isya’ ia telah duduk di samping masjid Baitul Muttaqin.
Jika telah iqamat, pengemis itu maju dan salat berjamaah. Selama sebulan, ia selalu menjadi makmum Mbah Kamuli karena tidak ada jamaah lain yang hadir. Setelah salat, Mbah Kamuli memimpin wiridan sambil menghadap ke pengemis. Dan Mbah Kamuli terperanjat karena wajah pengemis itu bercahaya. Mbah Kamuli ketakukan dan menghentikan bacaan. Tetapi pengemis itu tiba-tiba tersenyum kepadanya bersamaan luruhnya cahaya silau di wajahnya.